[Nasional-m] Hadiah Rakyat bagi Konglomerat

Ambon nasional-m@polarhome.com
Sun, 24 Nov 2002 21:41:50 +0100


Jawa Pos
Senin, 25 Nov 2002

Hadiah Rakyat bagi Konglomerat

Pembebasan sejumlah obligor bandel oleh pemerintah menimbulkan kontroversi.
Langkah tersebut dianggap telah menghilangkan rasa keadilan. Lantas, mengapa
pemerintah tetap nekat? Berikut analisis pengamat hukum ekonomi INDRA
SAFITRI.

Sepekan silam, pemerintah membikin sebuah keputusan berani, yakni
membebaskan empat obligor dari tuntutan hukum (release and discharge).
Mereka adalah Sudwikatmono (eks Bank Surya) yang memiliki utang Rp 1,88
triliun dan Ibrahim Risjad (eks Bank RSI) yang memiliki utang Rp 636,8
miliar. Dua obligor itu meneken perjanjian penyelesaian kewajiban pemegang
saham (PKPS) versi Master of Settlement and Acquisition Agreement (MSAA).

Juga The Nin King (eks Bank Danahutama) dan Liem Hendra (eks Bank Budi
Internasional) yang masing masing memiliki utang Rp 18,06 miliar dan Rp 17,6
miliar. Mereka berdua meneken PKPS- akta pengakuan utang (APU). Keputusan
itu diberikan karena mereka dianggap sudah melunasi seluruh kewajibannya
meskipun melewati batas waktu yang ditentukan.

Obligor lain peneken MSAA yang dikabarkan segera bebas adalah Soedono Salim
(eks BCA), Sjamsul Nursalim (eks BDNI), dan Mohammad "Bob" Hasan (eks BUN).
Sementara itu, Usman Admadjaja (eks Bank Danamon), Kaharudin Ongko (eks
BUN), dan Samadikun Hartono (Bank Modern) saat ini masih menunggu nasib.
Mereka bertiga meneken Master Refinacing and Notes Issuance Agreement
(MRNIA).

Mau tidak mau, suka atau tidak suka, persoalan yang menggelayuti dalam
penyelesaian kewajiban utang sejumlah obligor besar (konglomerat) pasti akan
ada batas akhir. Terutama bagi obligor yang merasa telah membereskan apa
yang selama ini disepakati. Krisis ekonomi negeri ini telah membangkitkan
sensitivitas kita soal keadilan. Terutama yang berhubungan dengan perilaku
ekonomi konglomerasi yang penuh dengan fasilitas yang sarat dengan korupsi,
kolusi, dan nepotisme (KKN).

Karena itu, antipati publik selalu besar dan bersifat reaktif tentang apa
saja yang berhubungan dengan kebijakan atau keputusan pemerintah untuk
memberikan keringanan kepada pengutang-pengutang kelas kakap tersebut.
Penyebabnya, sejak awal persoalan itu tidak diselesaikan secara
sungguh-sungguh, jujur, dan adil. Selain itu, banyak indikasi dan perilaku
yang mengisyaratkan bahwa mereka masih tidak mau secara sungguh-sungguh
mempertanggungjawabkan atas apa yang diterima dan dinikmati.

Belum lagi sederet skandal yang dipertontonkan sebagian pemilik bank yang
punya utang segudang yang lebih baik memilih untuk menghilang daripada harus
mengurusi kewajiban di Indonesia. Urusan untuk tetap mengontrol kerajaan
bisnisnya yang tak diserahkan atau luput dari penciuman Badan Penyehatan
Perbankan Nasional (BPPN) cukup dilakukan di negeri jiran. Bertumpuknya
kegeraman tersebut menjadi-jadi ketika pengadilan ternyata lebih berpihak
untuk membebaskan sebagian di antara mereka yang sudah sempat menjadi
pesakitan di pengadilan.

Akumulasi untuk tidak mempercayai keberpihakan sistem politik dan hukum
terus bergulir sepanjang periode pemerintahan pasca-Soeharto. Terutama sikap
lembek dan model penyelamatan yang sarat dengan KKN terhadap konglomerat
tertentu. Namun, rasa tidak suka kita terhadap sumbangan para konglomerat
yang telah membebani kesengsaraan negeri ini hendaknya tidak sampai
menghapuskan realitas yang memang ada dan harus kita terima.

Banyak realitas yang menghantui dan merongrong keinginan kita semua agar
setiap obligor dapat mempertangung jawabkan secara maksimal atas apa yang
telah mereka perbuat. Pertama, tentang realitas bahwa BPPN yang seharusnya
menjadi garda terdepan untuk memastikan kembalinya uang rakyat itu sejak
awal sudah diracuni dengan ketidakberesan yang berasal dari internal maupun
eksternal.

Kedua, soal realitas tentang lemahnya posisi pemerintah dalam
perjanjian-perjanjian PKPS. Baik yang MSAA (perjanjian tentang penyelesaian
BLBI dan dengan jaminan aset), MRNIA (perjanjiaan penyelesaian BLBI dengan
jaminan aset dan pribadi), maupun APU.

Sudah lama menyesakkan dada kita terutama bila mengingat adanya kecurigaan
soal kelemahan tersebut yang disebabkan adanya konspirasi yang disengaja.
Ketiga, tentang kenyataan betapa "penakutnya" dan "bancinya" langkah
penegakan hukum terhadap para penikmat uang Orde Baru itu yang
pemberitaannya sudah menjadi santapan harian kita.

Keempat, tentang realitas bahwa ketidakpastian nasib obligor tersebut
menjadi lahan pemerasan, baik dalam skala kecil maupun besar. Hal itu sudah
menjadi rahasia umum. Kelima, ini yang paling ironis, realitas bahwa
minusnya keberpihakan pemerintah (dahulu dan sekarang). Termasuk sebagian
besar wakil-wakil rakyat (DPR) kita untuk segera menyelesaikan beban
persoalan secara tuntas tanpa harus menciptakan lebih banyak luka
ketidakadilan di tengah masyarakat.

Ongkos yang harus kita pikul dalam soal menghitung harta, membereskan, dan
memberikan ketenangan hidup kepada para pengutang kakap itu sudah demikian
besar. Mulai mengidupkan BPPN dan mematikannya, membayar konsultan, ongkos
suap-menyuap, ongkos beperkara, dan sederet beban lain yang tak terhitung.
Yang pasti, hilangnya kepercayaan masyarakat, investor, dan dunia
internasional soal kepastian dan penegakan hukum harus segera dikembalikan.
Munculnya isu soal release and discharge merupakan sesuatu yang sangat wajar
tidak hanya bagi obligor yang merasa sudah menyetorkan uang maupun aset
mereka, tetapi juga bagi pemerintah sekarang.

Yang perlu dicermati dalam hal rencana ini adalah soal materi yang akan
tertuang di dalamnya. Termasuk hal-hal yang menyangkut batasan-batasan
wewenang pemerintah dan implikasinya terhadap status dari penyelesaian yang
telah dilakukan para obligor tersebut untuk masa yang datang. Ada implikasi
yang dapat menimbulkan persoalan baru bilamana pemberian "kuitansi" bebas
tersebut hanya semata-mata dikaitkan dengan materi perjanjian yang pernah
dibuat dengan setiap obligor. Mengingat, banyak produk hukum secara langsung
atau tidak langsung memuat sejumlah ketentuan berkaitan dengan persoalan
yang berakar pada penuntasan dan penyelesaian praktik ekonomi yang secara
tidak terpuji merupakan bagian dari korupsi, kolusi, dan nepotisme masa
lalu.

Selain itu, penggunaan istilah pemberian pembebasan dari tuntutan hukum
memiliki potensi yang di belakang hari dapat menimbulkan interpretasi yang
mengundang pemahaman berbeda. Akibatnya, persoalan ini tidak dapat
diselesaikan secara tuntas. Lebih bermasalah lagi jika bobot penyelesaian
obligor tersebut tidak sepenuhnya berada dalam koridor hukum. Walaupun yang
akan ditindaklanjuti pemerintah itu tetap merupakan sebuah keputusan
politis.

Obligor-obligor yang terkait dengan perjanjian dengan pemerintah adalah
sebagian besar di antara penerima terbesar bantuan likuiditas Bank Indonesia
(BLBI) yang ditempatkan di bank-bank milik kelompok usaha mereka sendiri.
Ini berarti ada keterkaitan antara status penyelesaian obligor yang terkait
dengan BLBI dan skandal BLBI yang sampai saat ini kita belum melihat adanya
pertanggungjawaban soal itu. Apakah pemberesan para obligor yang terkait
dengan BLBI berarti persoalan BLBI sudah dianggap selesai dan kesalahannya
sudah dipikul oleh masing-masing pengutang yang pernah menerima dana
tersebut? Hal lain yang patut diperhatikan adalah soal bagaimana rasio
ekonomis serta pertimbangan hukum dari release and discharge tersebut bukan
merupakan sebuah keputusan yang sarat untuk kepentingan pengutang besar.

Untuk dapat mengimbangi antara rasio penyelesaian utang debitor kakap dan
membangun sistem penegakan hukum, terutama yang terkait dengan praktik kotor
di bidang ekonomi yang terjadi selama ini, siapa pun pemerintahannya, apakah
yang sekarang maupun yang akan datang, hendaknya tetap tidak mengesampingkan
upaya-upaya penyelesaian hukum maupun tindakan lain terhadap mereka yang
ikut andil dan terlibat kekisruhan dari utang-utang obligor itu.

Persyaratan untuk memutihkan dosa-dosa mereka hanya diberikan kepada
pengutang yang memang benar-benar memiliki iktikad baik dan tidak terbukti
di belakang hari masih menyimpan harta hasil jarahannya yang kemudian
melakukan reinkarnasi dalam bentuk lain.

Pemerintah, agaknya, tidak memiliki banyak pilihan dalam berhadapan dengan
para konglomerat yang jumlahnya tak lebih dari sepuluh jari itu. Hendaknya
pemerintah dapat memberikan keyakinan kepada publik bahwa rencana atau
keputusan yang akan ditelurkan untuk para obligor memang benar-benar sebuah
keputusan yang berpihak pada kepentingan pemulihan ekonomi, kepastian hukum,
dan semata-mata didasarkan pada pilihan yang terbaik bagi rakyat negeri ini.
Seandainya release and discharge diberikan, itu berarti rakyat telah
memberikan hadiah kepada konglomerat melalui tangan pemerintah yang sekarang
atau yang akan datang. Sebuah hadiah yang diberikan kepada mereka yang
pernah menjadi bagian dari penyebab berbagai beban dan impitan yang saat ini
kita hadapi. (Indra Safitri)