[Nasional-m] Zakat Fitrah Entaskan Kemiskinan

Ambon nasional-m@polarhome.com
Sun, 24 Nov 2002 22:07:11 +0100


Suara Karya

Zakat Fitrah Entaskan Kemiskinan
Oleh MN Harisudin

Senin, 25 November 2002
Sebagaimana di ujung akhir bulan Ramadhan tahun-tahun sebelumnya, umat Islam
sejak dini mencanangkan zakat fitrah, sebentuk amal sosial-praktis yang
menjadi kewajiban setiap muslim yang mampu. Zakat fitrah, yang waktunya
telah ditentukan, dipandang merupakan amal penghabisan sebagai penyucian
jiwa akhir muslim. Pun, zakat ini dipandang amal-penyempurna, atas amalan
selama bulan suci. Karenanya, keberadaan zakat bagi seorang muslim, adalah
meniscaya adanya.

Hanya saja, fungsi sosial zakat fitrah, selama ini, masih belum tampak
menonjol. Paling maksimal, ia (zakat fitrah) hanya berfungsi karitatif,
hanya menyelesaikan persoalan lahiriyah, permukaannya per sekian. Zakat ini,
tidak sampai mengarah pada dataran subtansial; mengerahkan seluruh energinya
pada pengentasan kemiskinan yang menjadi ruh atau spiritnya semula. Zakat,
dalam bentukan ini adalah "mandul" karena sama sekali belum mampu
menghadirkan fungsi sosialnya.

Dalam konteks Indonesia, bentukan zakat yang "mandul" diperparah lagi dengan
organisasi dengan kinerja buruk, mengakibatkan tidak saja 'kekaburan'
sasaran, akan tetapi juga 'ketidaktepatan' mana prioritas yang hendak
dituju. Kekaburan berikut ketidaktepatan karena organisasi yang buruk,
menjadi tipologi umum badan amil zakat di seantero nusantara. Sehingga, dari
tahun ke tahun, kehadiran badan amil zakat ini tidak menunjukkan hasil yang
menggembirakan. Dus, amanat fungsi sosial zakat yang diembannya kian jauh
dari kenyataan.

***

Seharusnya, persoalan di atas tidak terjadi jika -- istilah saya -- diajukan
revitalisasi atas zakat fitrah. Revitalisasi ini menyangkut dua hal; makna
dan instrumen. Revitalisasi makna zakat fitrah, berlandas-tumpu atas aras
filosofiknya. Tidak sebagaimana alur pikir normatif mengenai zakat, landas
filosofik mempertanyakan eksistensi zakat fitrah; mengapa harus ada zakat
fitrah? Apakah kehadirannya dirasa perlu dalam tata-sosial muslim? Dan lalu,
apa juga fungsi yang diembannya jika keberadaannya diakui di dunia muslim?

Jawabannya; zakat fitrah meniscaya adanya karena (ia) menjadi bagian -- yang
integral dengan zakat mal -- dalam hal distribusi pendapatan. Bahwa siapa
pun sepakat tentang adanya tata-sosial yang timpang; kaya-miskin,
dzalim-madzlum, kuat-lemah (Hasan Hanafi:1981), adalah sebuah argumen logis
mengapa harus dimulai dari zakat. Lebih gamblangnya, karena sebuah struktur
sosial yang senantiasa tidak adil (unjust) menyebabkan seseorang
termiskinkan.

Islam, melalui seperangkat aturannya, mafhum jika struktur sosial ini tidak
serta-merta mudah dimusnahkan. Merobohkan struktur sosial secara
revolusioner, dalam angan-angan Islam, adalah hal yang utopis. Karena, yang
demikian sama halnya, dengan mengingkari sunnatullah. Sunnatullah menegaskan
selalu ada jurang ekonomi antarkelas sosial yang berbeda. Dengan ini, maka
yang dikembangkan Islam bukanlah kesamaan ekonomi, akan tetapi kesamaan
sosial.

Dalam rangka kesamaan sosial, Islam menedaskan pentingnya kesempatan yang
sama dalam pemerataan distribusi kekayaan. Kata kunci (key word) "pemerataan
yang sama", oleh Islam, disinambungkan dengan gagasan kewajiban zakat bagi
setiap muslim yang mampu. Zakat, dalam koridor ini, bukan merupakan rasa
belas kasih orang kaya (the have) terhadap mereka yang miskin (the poor).
Tapi, lebih merupakan kewajiban yang meniscaya karena dalam harta setiap
orang yang mampu terdapat hak kaum miskin. (QS. Ad-Dzariyat:9). Paling
tidak, dengan zakat, timbunan harta di segelintir elite kaya senantiasa akan
berkurang. (QS.Al-Hasyr: 7). Karenanya, menjadi logis, jika yang diemban
utama dalam zakat adalah misi keadilan sosial (social justice). Tidak salah,
jika dalam misi ini, perombakan struktur menuju tatanan yang berkeadilan
sosial dijadikan cita ideal Islam sepanjang zaman.

Pengentasan kemiskinan, adalah sebuah medium pertama dan utama dalam
penegakan tata sosial yang berkeadilan. Seluruh energi dalam zakat,
semestinya diabdikan untuk pengentasan kemiskinan. Karenanya, pilihan --
dalam domain pembahasan kali ini -- zakat fitrah jenis produktif (dalam
bentuk pemberian modal misalnya), daripada zakat konsumif sudah seharusnya
dijadikan rujukan utama. Demikian ini karena Islam menghargai usaha-usaha
produktif manusia, yang dalam Islam dilukiskan sebagai "karunia Tuhan". (QS.
Al-Jumu'ah, 9-10).

Pun, paralel dengan ini, Islam juga mendorong manusia agar berfaedah bagi
dirinya sendiri dari kesempatan yang banyak sekali diberikan untuk berusaha
produktif sebagai karunia Tuhan yang tak berhingga. (QS. al-An'am: 10,
Ibrahim: 34 dan QS. al-Hijr: 19-20). Pun, melihat catatan sejarah, Nabi
Muhammad SAW sendiri lebih memilih memberikan kapak daripada kayu terhadap
seorang yang miskin. (Sunan Ibnu Majah: I: 338). Melihat ini, tampak bahwa
yang dikehendaki Islam adalah zakat produktif karena lebih berupaya
mengentaskan kemiskinan struktural umat.

Revitalisasi lain, yang juga urgen dilakukan adalah tentang organisasi zakat
fitrah. Organisasi zakat fitrah, yang saya maksud di sini, adalah amil-amil
zakat yang berserakan secara mandiri di berbagai pelosok negeri. Secara
umum, organisasi ini bergerak secara tidak terkoordinasi, antarsatu dan yang
lainnya. Ciri utama lainnya; bahwa organisasi hanya seolah untuk memenuhi
kewajiban syar'i dalam menunaikan zakat. Sehingga, organisasi harus bubar
ketika selesai pelaksanaan zakat fitrah.

Organisasi ini, dipandang tidak profesional - selain lantaran bekerja
setahun sekali - juga tidak memiliki visi dan misi yang jelas. Apalagi, visi
dan misi keadilan sosial, sebagaimana telah diungkapkan di atas, ia tidaklah
built-in dalam organisasi zakat fitrah. Organisasi ini bergerak seolah tanpa
ruh yang melandasinya, menyebabkan sasaran yang dituju kurang mengena.
Seringkali, dijumpai zakat fitrah yang teruntuk kaum miskin, diambil alih
oleh mereka yang lebih mampu secara finansial. Atau pula, zakat fitrah yang
semestinya terdistribusi secara merata kepada "atsnafus tsamaniyah" (QS.
at-Taubah: 60) secara tidak sadar diambil oleh amil-amil yang juga merasa
sebagai mustahik zakat.

***

Dalam pada itu, beberapa langkah musti dilakukan, baik oleh amil zakat
ataupun umat Islam, dalam menghadapi pelaksanaan zakat fitrah.

Pertama, peneguhan visi dan misi zakat fitrah yang berkeadilan sosial
sebagai basic utama umat Islam dalam memahami zakat. Lebih lanjut, visi dan
misi ini disosialisasikan kepada seluruh umat, untuk dijadikan sebagai
'pedoman aksi' dalam melaksanakan zakat fitrah. Dengan begitu, terdapat
kemauan kuat umat Islam, dalam penyelenggaraan pengentasan kemiskinan
khususnya, penegakan tata sosial yang berkeadilan umumnya.

Kedua, mengembalikan ruh keadilan sosial dan pengentasan kemiskinan ke dalam
organisasi-organisasi badan amil zakat fitrah. Secara tidak langsung,
langkah kedua juga mengharuskan organisasi-organisasi zakat fitrah untuk
senantiasa merapatkan barisan sepanjang tahun, memantapkan visi, misi,
strategi maupun taktik yang akan digunakan. Pun, senantiasa diadakan
pertemuan koordinasi antara jaringan amil zakat yang ada, sebagai komparasi
dan juga memantapkan sasaran-sasaran prioritas yang hendak dituju.
Profesionalitas kerja harus pula diperlihatkan badan-badan amil zakat
fitrah, sebagai hal yang inheren, dalam pembangunan organisasi tersebut.

Ketiga, menghendaki aneka eksperimentasi bentuk zakat produktif sebagai
produk unggulan dalam organisasi-organisasi zakat fitrah. Demikian ini perlu
dikembangkan mengingat lebih mendekatkan pada upaya pengentasan kemiskinan
secara total. Kalkulasi sederhana penduduk muslim Indonesia, andaikan hanya
100 juta (dari totalitas 200 juta) yang membayar zakat fitrah dengan zakat
2,5 Kg beras seharga Rp 8.000 per orang, bisa dibayangkan berapa modal yang
akan diperoleh? Berapa pula, orang tiap tahun yang dapat dientaskan dari
jurang kemiskinan dengan modal miliaran rupiah tersebut? ***

(Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana (S2
IAIN Sunan Ampel Surabaya, dosen Sekolah Tinggi
Agama Islam Negeri Jember).