[Nasional-m] Belrusak Bikin Rusak Masyarakat

Ambon nasional-m@polarhome.com
Mon, 25 Nov 2002 23:08:24 +0100


SUARA PEMBARUAN DAILY
----------------------------------------------------------------------------
----

EKSKLUSIF

HIV/AIDS di Papua (1)

Belrusak Bikin Rusak Masyarakat
Oleh wartawan "Pembaruan" Nancy Nainggolan



PEMBARUAN/NANCY NAINGGOLAN

YATIM PIATU - Anak-anak yatim piatu diasuh nenek mereka (paling kanan)
akibat merajalelanya penyakit HIV/AIDS di Merauke, Papua. Anak-anak itu
menjadi yatim piatu menyusul kematian orangtua mereka yang terjangkit
HIV/AIDS tahun 2001.


SEJUMLAH lelaki dan perempuan asyik mengobrol sembari duduk di bangku, di
depan rumah berdinding papan di belakang Rumah Sakit Umum Daerah Merauke,
Papua, sore itu. Anak-anak kecil bermain di jalan sempit di depan rumah
tersebut. Ada empat rumah di situ, dan semua tanpa jendela.

Rumah-rumah itu berlantai tanah dan papan. Di tiap rumah terdapat empat
hingga enam kamar. Suasana di kamar terasa sumpek, karena hanya diterangi
lampu pijar 15 Watt. Di remang-remang kamar itulah tiap hari usaha pelacuran
kelas teri dijalankan. Masyarakat setempat menyebut kawasan itu sebagai
Belrusak, singkatan dari belakang rumah sakit.

Julukan Belrusak yang diberikan masyarakat agaknya sangat pas, karena dari
tempat itulah awal suatu kerusakan. Dari tempat-tempat pelacuran seperti
inilah kasus serangan penyakit Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune
Deficiency Syndrome atau HIV/AIDS menghantam Merauke, dan Provinsi Papua
umumnya. Hasil survei Dinas Kesehatan Kabupaten Merauke 1992-2002
menunjukkan kasus HIV/AIDS di Merauke mencapai 509.

Rumah-rumah pelacuran itu terlihat bebas beroperasi. Satu di antaranya milik
Ny Mentel (44) asal Kediri. Di rumahnya terdapat enam kamar, masing-masing
dilengkapi dipan dan kasur yang warnanya kusam.

Di ruang depan rumah itu terpampang sejumlah poster bergambar kondom memuat
pesan kampanye pencegahan HIV/AIDS. Poster itu agaknya hanya menjadi
lembaran kertas, karena tak digubris para pencari kenikmatan syahwat.
Buktinya, tiap hari ada saja tamu yang datang ke situ mencari kupu-kupu
malam.

Para pelacur memasang tarif Rp 50.000 plus sewa kamar Rp 5.000 sekali
kencan. Tarif itu berlaku bagi penikmat asal Indonesia. Sedangkan bagi orang
asing, misalnya Thailand, tarifnya Rp 100.000 ditambah sewa kamar Rp 9.000.

"Ramainya mulai pukul tujuh sampai sepuluh malam," ungkap Dian, pelacur yang
mengaku berasal dari Solo. Perempuan berbadan gemuk dan berkulit gelap ini
mengaku belum setahun melacur di situ. Penghasilannya bisa mencapai Rp
300.000 hingga Rp 500.000 sehari bila sedang ramai pengunjung. Uang itu dia
pakai untuk menopang kehidupan rumah tangganya.

Ibu dua anak itu mengaku paham betul risiko yang dia hadapi sebagai pelacur.
Ia mengaku tahu bahaya penyakit HIV/AIDS. Itu sebabnya, ia selalu meminta
pelanggannya memakai kondom tiap kali kencan. Gilanya, Dian mendapat
dukungan suaminya, seorang tukang ojek sepeda motor bernama Misni. Lelaki
asal Banyuwangi, Jawa Timur itu, hilir-mudik ketika Pembaruan mewawancarai
istrinya, belum lama ini.

Bagi orang normal, kehidupan yang dijalani suami-istri itu jelas sangat
aneh. Tetapi, di Belrusak hal itu dianggap biasa. Buktinya pelacur lain
bernama Desi juga mendapat "restu" suaminya, Eko Cahyono asal Parangtritis,
Yogyakarta.



Menurut Eko, sebetulnya ia keberatan istrinya menjadi pelacur. Kisah mereka
berawal dari kedatangan pasangan itu ke Muting, Merauke, sebagai
transmigran, 1997. Mereka mendapat rumah dan tanah dua hektare. Di tempat
itulah mereka memulai hidup sebagai petani. Sayangnya hasil bertani sering
kali tidak laku dijual. Sementara dua anak mereka yang diasuh orangtua Eko
di Yogyakarta membutuhkan uang untuk berbagai keperluan.

Dalam keadaan hidup serba kekurangan itulah, Desi tergoda ajakan temannya
untuk "bekerja" di Belrusak. Sejak itu Desi menjadi pelacur.

"Semula saya heran kenapa istri saya sering ke sini dan bisa mengirim uang
hingga delapan ratus ribu rupiah seminggu kepada anak-anak," kata Eko.
Setelah mencari tahu ke sana-sini, Eko akhirnya mendapati istrinya telah
menjadi pelacur. Ia segera membawa istrinya kembali ke Muting. Tetapi, tidak
berapa lama kemudian istrinya kembali ke Belrusak. Eko kembali menyusul
istrinya ke tempat itu dan kemudian menetap di situ, karena alasan kesulitan
uang. Di salah satu kamar itu mereka tinggal. Di kamar itu pula Ny Desi
melayani para pencari kepuasan seks. Kehidupan yang benar-benar rusak.


Hingga Pedalaman

Selain Belrusak, terdapat tempat pelacuran lain di Merauke yang disebut
Yobar. Tempatnya terpencil dan jalan menuju ke situ gelap-gulita, karena
tidak dilengkapi lampu penerangan. Di kanan-kiri jalan hanya ada semak
belukar. Menjelang Yobar ada kuburan sehingga suasananya menyeramkan. Di
Yobar terdapat sejumlah rumah yang diterangi cahaya lampu remang-remang.

Pelacuran juga berlangsung klub malam dan bar di pusat kota Merauke. Namun,
di tempat-tempat hiburan ini pelacuran dilakukan secara terselubung. Salah
satu pemilik klub malam itu, Anwar, mengaku mempekerjakan 16 pramuria di
klubnya. Mereka semua bisa dikencani pengunjung. Para pramuria itu berasal
dari Jawa Timur dan Makassar. Tarif mereka bisa mencapai Rp 150.000 sekali
kencan.

"Mereka tidak mendapat gaji," kata Anwar. Mereka mendapat upah Rp 50.000
semalam. Selain itu mereka komisi Rp 2.000 dari tiap botol minuman yang
terjual. "Di sini orang kuat minum, bisa sampai 20 botol bir," papar Anwar
yang sudah sepuluh tahun mengelola klub malam Romantika.

Praktik pelacuran di Kabupaten Merauke, juga berlangsung di kawasa
pedalaman. Misalnya di Desa Eci, Kecamatan Assue. Di situ terdapat Hotel J
berlantai tiga, yang dijadikan tempat praktik. Setiap enam bulan sekali para
Pelacur datang dari Surabaya dan Indramayu ke situ. Mereka dikontrak selama
enam bulan oleh pengelola hotel.

Praktik pelacuran di pedalaman itu dibekingi oknum TNI. Selain itu juga
karena bisnis kayu gaharu yang lumayan bagus. Kayu gaharu, bahan minyak
wangi dan dupa itu, diburu para cukong dari Batam dan Surabaya. Mereka
sepuluh hari sekali datang ke Eci untuk mengangkut kayu gaharu dengan kapal.
Harga kayu itu mencapai Rp 3,5 juta hingga Rp 7 juta per kilogram. Sering
kali para pelacur dibayar dengan kayu gaharu.

Seorang dokter bernama Kalber Panjaitan mengungkapkan, perburuan kayu gaharu
sekarang sudah berpindah dari Kecamatan Agats ke Kecamatan Assue. Para
pelacur masuk ke Assue melalui Timika, Agats, dan Atsy. Dokter puskesmas
setempat, dr Pratono, setiap bulan memeriksa kesehatan para pelacur itu.
Awal Oktober lalu sebanyak enam dari 78 pelacur kedapatan terjangkit HIV.

Para pelacur yang selesai masa kontraknya, kebanyakan tidak langsung pulang
ke Surabaya atau Indramayu. Mereka beroperasi di warung remang-remang. Ada
pula yang ikut penduduk setempat mencari kayu gaharu ke hutan. Itu sebabnya,
pelacuran kemudian merambah hingga ke hutan-hutan di Merauke. Banyak
penduduk asli yang kemudian terjangkiti penyakit mematikan itu. Tahun lalu
malahan ada suami istri yang meninggal setelah terjangkit HIV/AIDS. Lima
anak pasangan itu, Erik (10), Onurus (8), Martha (6), Germanus (4) dan Mira
(1,5) sekarang menjadi yatim piatu. Sekarang anak-anak itu diasuh nenek dan
tante mereka dalam kehidupan serba pas-pasan.

Koordinator Umum Komisi Penanggulangan AIDS Daerah (KPAD) Merauke, drg Yosef
Rinta MKes menuturkan, sejak tahun 1927 di daerah itu sudah ada penyakit
kelamin menular. penyakit itu, granuloma inguinale, disebabkan bakteri Gram
negatif. Ketika itu penduduk setempat disuntik massal oleh pastor
Vetriendre.

Menurut Yosef, penduduk setempat tertular HIV/AIDS dari orang asing.
Penyakit mematikan itu diperkirakan dibawa nelayan Thailand. Meskipun
kampanye mencegah HIV/AIDS gencar dilaksanakan, banyak warga yang tetap saja
bergaul dengan pelacur.

Bupati Merauke Johannes Gluba Gebze sampai pasrah menghadapi perilaku
masyarakatnya. Menurut dia, masyarakat Merauke tinggal menunggu mukzijat
Tuhan, karena banyak orang yang tidak peduli terhadap bahaya HIV/ AIDS.

Tentang upaya menutup tempat-tempat pelacuran, Johannes menegaskan tidak
bakal menjamin kasus HIV/ AIDS bakal menurun. Ia menyayangkan sikap para
dokter (Departemen Kesehatan) yang baru mengambil tindakan setelah HIV/AIDS
menjadi masalah besar.

Yang menyedihkan, pasien HIV/AIDS dirawat dengan layanan seadanya di Rumah
Sakit Umum Daerah Merauke. Mereka ditempatkan di bangsal yang terpisah
dengan pasien penyakit lainnya. *

----------------------------------------------------------------------------
----
Last modified: 25/11/2002