[Nasional-m] Sandyakalaning Komunisme Di Cina

Ambon nasional-m@polarhome.com
Tue, 26 Nov 2002 22:02:47 +0100


  Sandyakalaning Komunisme Di Cina
@ Antara Gai Ge Kai Fang Dan San Ge Dai Biao
Oleh Kodrat Wahyu Dewanto

Rabu, 27 November 2002


Ekonomi Cina yang etatisme di masa Mao Zedong kini ditinggalkan.
Liberalisasi ekonomi telah melahirkan kaum wirausahawan. PKC sendiri
memperkirakan saat ini terdapat 113.000 anggota partai yang menjadi
wirausahawan.

Mereka adalah pembayar pajak yang signifikan kepada negara. Mereka menjadi
katup pengaman bagi Cina yang setiap tahun harus menyediakan pekerjaan bagi
sekitar 8 juta angkatan kerja baru.

Pendapatan perkapita buruh pada BUMN Cina saat ini telah meningkat. Dari
yang sebelumnya hanya sekitar 9.115 yuan menjadi 54.772 yuan atau sekitar
Rp. 59.391.000. Jumlah BUMN berkurang secara drastis dari 102.300 buah
menjadi 46.800 buah, dengan keuntungan yang justru meningkat menjadi 238
miliar yuan (sekitar Rp. 252 triliun) dari sebelumnya yang hanya 74 miliar
yuan.

Produk Domestik Bruto (GDP) Cina tahun ini diperkirakan mencapai 10 triliun
yuan atau meningkat sebesar 8 persen jika dibandingkan dengan tahun lalu.
Sementara jumlah keseluruhan impor dan ekspor untuk tahun ini diperkirakan
akan mencapai 600 miliar dolar AS. Kontrak investasi langsung asing ke
daratan Cina pun mencapai rekor tertinggi, yakni lebih dari 50 miliar dolar
AS.

Pengalaman melaksanakan reformasi ekonomi itu tentu menjadi pelajaran
penting bagi pembaruan dalam bidang politik. Para pemimpin Cina tampaknya
menyadari bahwa suatu kendali sangat ketat dalam bidang politik di
tengah-tengah liberalisasi ekonomi dapat melahirkan problematik sosial
politik yang serius. Masyarakat yang telah menikmati kemajuan ekonomi akan
mudah frustrasi jika aspirasi politiknya tidak dikanalisasi dengan baik dan
diberi peranan yang signifikan dalam perpolitikan negara.

Di sinilah arti penting dari teori San Ge Dai Biao. Jika kemudian teori itu
masuk dalam anggaran dasar PKC, hal itu menunjukan bahwa para elit Cina
merasa bahwa inilah saat yang tepat untuk melakukan perubahan di bidang
politik.

Walaupun masih malu-malu kucing, Cina tampak makin menjauhi ideologi
komunisme dan mulai meniti jalan demokrasi, entah praksis demokrasi seperti
apa yang nantinya akan diterapkan di Cina. Sikap malu-malu kucing tampak
dalam alasan Jiang Xemin bahwa San Ge Dai Biao dilakukan sebagai kelanjutan
dan perkembangan alamiah dari Marxisme-Leninisme, pemikiran Mao Xedong
(Maoisme), dan teori Deng Xiaoping (Dengisme). Bagimana dapat dikatakan
hanya sekadar perkembangan alamiah kalau kaum kapitalis borjuis menurut
faham dasar komunisme adalah negosiasi dari kaum proletar (buruh dan
petani).

Pengertian komunisme sebagai ide yang berasal dari Marx maupun tujuan
Komunisme sebagai gerakan politik (Marxisme-Leninisme) tidak pernah
meramalkan bahwa tatanan masyarakat yang akan dicapai adalah model teori San
Ge Dai Biao seperti dilukiskan oleh Jiang Zemin sebagai "Sosialisme
Berkarakteristik Cina." Tujuan akhir komunisme adalah suatu tatanan
masyarakat tidak berkelas. Walaupun Jiang Zemin tidak menjelaskan secara
kongkrit bentuk tatanan masyarakat yang dituju, kita dapat menafsirkannya
sebagai suatu tatanan masyarakat harmonis yang hidup dalam sebuah simbiose
mutualistik antara kaum buruh, petani, dan wirausahawan dalam bingkai
kehidupan yang demokratis. Kalau itu yang terjadi, sebenarnya itulah
gambaran masyarakat kapitalis humanis atau dalam istilah lain masyarakat
sosialis demokrat, seperti yang sekarang menjadi kecenderungan alamiah di
negara-negara Barat yang dulunya dikenal sebagai negara kapitalis.

Indikasi mulai terjadinya reformasi politik di Cina sangat nyata. Bukan
hanya kaum kapitalis yang diterima dalam PKC, tetapi eksperimentasi
pemilihan yang demokratis pun mulai diimplementasikan di tataran grass root
di wilayah pedesaan. Sedangkan di level elit kekuasaan, regenerasi
kepemimpinan nasional berhasil dilangsungkan dengan mulus seperti yang
ditunjukkan oleh hasil Kongres Ke-16 PKC.

Itulah untuk pertama kalinya dalam sejarah kekuasaan PKC sejak berdirinya
RRC tahun 1949 bahwa peralihan kekuasaan dilaksanakan secara mulus tanpa
diwarnai gejolak dan berdarah-darah. Sebab, ketika Deng Xiaoping mengambil
alih kekuasaan partai setelah Mao Zedong meninggal, hampir semua lawan-lawan
politiknya digelandang ke pengadilan dan "disimpan" dalam bui. Demikian juga
yang terjadi saat Jiang Zemin tampil menjadi pimpinan PKC.

Yang menarik, proses-proses regenerasi dilakukan dengan semangat menjaga
keutuhan bangsa dan negara, serta menyampingkan kepentingan kelompok atau
faksi-faksi. Jiang Zemin (76) menyerahkan estafet kepemimpinan Sekjen PKC
kepada Hu Jintao (59). Sedangkan jabatan Presiden Cina dijadwalkan akan
diserahkan oleh Jiang Zemin kepada Hu Jintao bulan Maret tahun depan, dalam
sidang tahunan Kongres Rakyat Cina.

Sikap lilo legowo dalam menyerahkan estafet kepemimpinan kepada yang lebih
muda benar-benar ditunjukkan oleh para senior pemimpin Cina seangkatan Jiang
Zemin seperti Li Peng, Zhu Rongji, Li Ruihuan, dan Wei Jianxing. Mereka rela
pensiun dari posisinya.

Namun, dalam regenerasi itu Jiang Zemin masih diberi keistimewaan, yakni
dipilih kembali sebagai Ketua Komisi Militer Pusat PKC untuk 5 tahun ke
depan. Sedangkan Hu Jintao menjadi salah satu wakilnya. Dengan tetapnya
Jiang Zemin memimpin lembaga yang full power mengendalikan militer Cina,
maka tetaplah dia menjadi pemimpin yang paling berpengaruh dan berkuasa di
Cina. Dalam posisi itu, memungkinkan Jiang Zemin tetap memegang kendali
kuat --walaupun di belakang layar-- jalannya reformasi politik Cina yang
dilakukan Hu Jintao ke depan.

Melihat mulusnya proses suksesi kepemimpinan itu menunjukkan munculnya
sebuah nasionalisme baru Cina yang tidak lagi didasarkan kepada kekejian
perjuangan kelas seperti di masa lalu. Jiang Zemin dengan Jiangisme-nya kini
menggiring PKC meninggalkan akar proletariatnya untuk mencari dukungan yang
lebih luas, termasuk dari kelompok kaya baru di Cina.

Jiangisme ceto welo-welo menunjukkan bahwa bagi elit pemimpin Cina sekarang
sudah tidak signifikan lagi, apakah itu komunisme, sosialisme, atau
kapitalisme. Seperti ungkapan Deng Xiaoping yang sangat terkenal, "...tidak
penting kucing itu hitam, putih, atau belang, tetapi yang penting adalah
asalkan kucing itu bisa menangkap tikus." Ini adalah sebuah pragmatisme.
Jika demikian, ke depan kita akan melihat Cina yang nasionalis, pragmatis,
dan kapitalistik.

Pertanyaannya, masih layakkah PKC menyandang nama sebagai partai komunis,
sementara ideologi komunis yang murni telah ditinggalkannya? PKC kini
hanyalah sekadar nomenklatur, sementara isi dan ruhnya bukan lagi komunis.

Inilah bukti bahwa komunisme di Cina telah berada pada masa senja kala, dan
akan segera tenggelam dan ditinggalkan orang. Inilah sandyakalaning
komunisme di Cina. Seharusnya, PKC sekarang lebih berani mengatakan,
"Selamat tinggal Komunisme!" ***

(Penulis adalah wartawan harian Suara Karya).