[Nasional-m] Mencegah Penyebaran HIV/AIDS

Ambon nasional-m@polarhome.com
Fri, 29 Nov 2002 22:19:04 +0100


http://www.suarakarya-online.com/news.xtp?category_id=51&news_id=53055

Mencegah Penyebaran HIV/AIDS
@ Menyambut Hari AIDS Sedunia, 1 Desember 2002
Oleh Singgih B Setiawan

Sabtu, 30 November 2002
Masih ingat tentang pesan penggunaan kondom yang ditayangkan di berbagai
media cetak maupun elektronika di Indonesia beberapa waktu lalu. "Kenakan
kondom atau kena!" begitu salah satu pesannya. Isi tayangan pesan-pesan
tersebut menginformasikan tentang pentingnya pencegahan penularan infeksi
seksual, termasuk HIV/AIDS.

Apalagi telah disadari bahwa tingkat penularan HIV/AIDS di Indonesia bukan
pada tahap prevalensi rendah lagi, sudah memasuki tingkat epidemi yang lebih
serius. Depkes mengestimasi ada sekitar 80-120 ribu orang sudah tertular HIV
di Indonesia. Ini mengindikasikan penularan HIV/AIDS terus berlangsung.
Walaupun upaya pencegahan sudah lama dilakukan, masih rendah tingkat
perilaku yang melindungi dari risiko tertular HIV/AIDS.

Itu sebabnya pula, setiap 1 Desember, masyarakat di seluruh belahan bumi ini
diingatkan kembali akan bahaya HIV/AIDS melalui peringatan Hari AIDS
Sedunia. Kendati berbagai upaya dilakukan untuk mengeliminir penyebaran
virus HIV, namun kenyataannya penderita HIV/AIDS terlihat makin subur saja.
Peningkatan jumlah penderita disebabkan virus HIV itu tidak saja banyak
ditularkan melalui hubungan seksual, tetapi juga oleh jarum suntik yang
marak digunakan kalangan pecandu narkotika.

Sebagaimana hasil laporan Unicef, Unaids dan WHO bertajuk Young People and
HIV/AIDS, Opportunity in Crisis edisi tahun 2002. Disebutkan, hampir semua
infeksi HIV di Eropa Timur dan Asia Tengah terkait dengan narkotik suntik.
Bahkan, di negara-negara Asia Tenggara, seperti Nepal, Vietnam, dan
Indonesia, epidemi terjadi pada pengguna narkotik suntik dan pekerja seks
dengan mayoritas umur di bawah 25 tahun.

Di seluruh dunia saat ini diperkirakan sebanyak 11,8 juta remaja usia 15-24
tahun hidup dengan HIV/AIDS. Jumlah ini terus bertambah karena setiap hari
sekitar 6.000 remaja usia 15-24 tahun terinfeksi HIV/AIDS.

Hal itu selaras dengan pernyataan yang pernah dikemukakan Ketua Pelaksana
Harian Pokdisus AIDS Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) dr
Zubairi Djoerban SpPD KHOM. Bahwa kasus HIV/AIDS di kalangan pecandu
narkotika suntik di Indonesia dalam beberapa tahun belakangan ini sungguh
melaju sangat pesatnya. Hampir dua tahun ini setiap bulan ada 20-30 pasien
baru yang HIV positif. Sembilan puluh persen pasien baru adalah pengguna
narkotika suntikan.

Pernyataan itu juga makin diperkuat dengan temuan kasus Kelompok Studi
Khusus AIDS FKUI-RSCM lewat penyediaan tes HIV gratis selama empat bulan.
Dari upaya itu, diperoleh 15 pecandu narkotika suntik yang terinfeksi HIV
dari 45 pecandu yang memeriksakan diri. Proporsi ini jauh lebih tinggi
dibandingkan infeksi HIV lewat penularan seksual, yaitu tiga dari 110 orang
yang memeriksakan diri.

Padahal Zubairi memperkirakan, sedikitnya ada satu juta pecandu narkotika di
Indonesia. Yang memakai suntikan sekitar 60 persen atau 600.000 orang.
Sebagian besar (70 persen) menggunakan jarum suntik bersama. Dalam kaitan
itu, di Indonesia diperkirakan ada 63.000 infeksi HIV dari kalangan pecandu
narkotika. Narkotika menyebabkan perjalanan infeksi HIV lebih progresif.

Menyedihkan memang, HIV/AIDS kini sudah menyebar ke seluruh penjuru
nusantara dengan tingkat epidemi yang sangat beraneka ragam. Penyebaran ini
dimungkinkan karena perilaku yang meningkatkan penularan ada di mana-mana
dengan besar dan jenisnya yang sangat beragam.

Tingkat penularan tertinggi melalui jalur seks komersial pernah dilaporkan
di wilayah Papua. Menurut Pandu Riono, Program Aksi Stop AIDS- FHI Fakultas
Kesehatan Masyarakat UI, sekitar 26 persen penjaja seks komersial di Papua
terkena HIV/AIDS. Saat ini wilayah Papua mengalami epidemi terburuk.
Proporsi AIDS yang dilaporkan 30 kali lebih besar dari rata-rata nasional.

Tidak heran bila di Papua banyak ditemukan dalam suatu keluarga, suami,
istri dan anaknya sudah terkena HIV. Situasi ini mirip dengan situasi
epidemi di wilayah Afrika Sub Sahara. Diduga faktor perilaku seksual dengan
banyak pasangan, serta ketidaktahuan yang mendorong ledakan epidemi HIV/AIDS
di wilayah Papua ini.

Menurut Pandu Riono, hasil survai survailens perilaku di beberapa kota di
Indonesia menunjukan bahwa lebih dari separuh kelompok lelaki dengan
mobilitas tinggi membeli jasa seks setahun terakhir ini. Hasil survai pada
kelompok masyarakat umum di pedesaan Jawa Barat menunjukkan sekitar 4 persen
lelaki dewasa mengaku membeli jasa seks enam bulan yang lalu.

Sebagian besar lelaki tersebut mempunyai pasangan tetap atau istri. dengan
demikian, lelaki tersebut berpotensial menularkan kepada pasangannya. Jelas
bahwa kaum lelaki berpotensial sebagai "jembatan penularan" HIV ke istri dan
anaknya.

Yang mengejutkan lagi dari kasus HIV/AIDS adalah 80 persen ibu-ibu rumah
tangga yang hanya melakukan hubungan intim dengan suaminya ternyata
terinfeksi HIV/AIDS. Ini artinya, potensi suami untuk menularkan penyakit
HIV/AIDS kepada keluarganya sangat besar. Sebetulnya, kasus-kasus penularan
HIV/AIDS terjadi karena rendahnya tanggung jawab moral secara individual.
Ini terutama karena mereka melakukan perilaku seks bebas dan menyalahgunakan
narkoba.

Krisis ekonomi dan moneter yang berkepanjangan sejak tahun 1997 ditambah
lagi dengan gejolak sosial yang sedang melanda Indonesia akan memberikan
dampak yang sangat besar terhadap penyebaran PMS termasuk HIV/AIDS karena
semakin longgarnya norma-norma kehidupan.

Diperkirakan lebih dari 70 persen infeksi HIV di seluruh dunia terjadi
melalui hubungan seks di antara lelaki dan perempuan. Sedangkan 10 persen
terjadi melalui hubungan seks antara lelaki. Lebih dari 5 persen infeksi HIV
terjadi karena pemakaian jarum suntik bersama oleh pecandu narkoba. Empat
perlima di antaranya lelaki.

Bukti bahwa lelaki pelanggan penjaja seks cukup banyak di mana-mana. Yang
memprihatinkan, ternyata tidak sampai 10 persen yang mau menggunakan kondom
secara teratur pada setiap kegiatan seks komersial tersebut.

Jelas bahwa lelaki berisiko yang berpotensial penularan HIV terus
berlangsung dan menyebar ke penjaja seks, ke pasangan seksnya, dan kemudian
kepada anaknya. Itulah alasan utama mengapa pencegahan HIV perlu tertuju
kepada kelompok laki-laki.

Ada alasan yang masuk akal mengapa lelaki harus terlibat lebih penuh dalam
perang terhadap HIV/ AIDS. Di seluruh dunia, lelaki cenderung mempunyai
lebih banyak pasangan seks dibanding perempuan, termasuk lebih banyak
pasangan di luar pernikahan, sehingga meningkatkan risiko bagi dirinya dan
pasangan utamanya tertular HIV.

Lebih banyak lelaki menyuntikan narkoba daripada perempuan dan oleh
karenanya lebih mungkin menular pada dirinya dan yang lain melalui pamakaian
perlengkapan yang tidak suci hama. Dan banyak lelaki yang berhubungan seks
dengan sesama lelaki tidak tahu bagaimana melindungi diri atau pasangannya.

Kerahasiaan, stigma (cap buruk), dan rasa malu yang mengelilingi HIV
melipatgandakan dampak dari semua perilaku berisiko ini. Stigma yang
mengelilingi HIV dapat mencegah banyak lelaki dan perempuan untuk mengakui
bahwa mereka telah terinfeksi.

Beberapa keadaan khusus yang menempatkan lelaki pada risiko semakin tinggi
tertular HIV. Lelaki, yang bepindah untuk bekerja dan hidup jauh dari
keluarganya mungkin membeli seks dan memakai zat, termasuk alkohol, sebagai
cara untuk menanggulangi stres dan kesepian hidup jauh dari keluarga. Lelaki
dalam lingkungan yang seluruhnya lelaki seperti angkatan bersenjata, dapat
dipengaruhi secara kuat oleh budaya yang memperkuat pengambilan risiko
termasuk hubungan seks yang tidak aman. Di dalam situasi yang seluruhnya
lelaki seperti penjara, lelaki yang biasa memilih perempuan sebagai pasangan
seks kemungkinan melakukan hubungan seks yang tidak aman dengan lelaki lain.

Lelaki terus didorong untuk berperilaku positif, dan memainkan peranan yang
jauh lebih besar dalam merawat pasangan dan keluarganya. Penelitian di
seluruh dunia menunjukkan lelaki umumnya kurang ikut serta dalam merawat
anak-anaknya dibanding perempuan. Terkait dengan epidemi AIDS, yang telah
mengakibatkan lebih dari 13 juta anak menjadi yatim-piatu, adalah mendesak
agar baik lelaki maupun perempuan memberikan kasih sayang dan
kebutuhan-kebutuhan praktis seperti makanan, papan, pangan, dan pendidikan
untuk anak-anak yang kehilangan orang tuanya. Jadi mengikutsertakan lelaki
sebagai mitra dalam memerangi HIV/AIDS adalah cara yang paling tepat
mengubah jalan epidemi HIV/AIDS.

Puskesmas Napza


Lantas upaya apa yang akan dilakukan Pemerintah untuk menangani masalah
HIV/AIDS di Indonesia yang makin tinggi jumlahnya? Untuk mengatasinya,
Menteri Kesehatan dr Achmad Sujudi mengatakan, pemerintah telah menyusun
Rencana Strategik untuk Pencegahan dan Pemberantasan HIV/AIDS 2002-2006
dengan sembilan kegiatan utama, di antaranya meningkatkan informasi,
edukasi, komunikasi, serta kemampuan menghadapi hidup pada remaja di
Indonesia.

Dalam sebuah acara tentang HIV/AIDS yang digelar di Jakarta, belum lama ini,
Menkes mengatakan, pemerintah kini mencoba menangani para pengguna narkotik,
alkohol, psikotropika, dan zat adiktif (napza) melalui pusat kesehatan
masyarakat (puskesmas). Caranya, dengan melatih para dokter dan petugas
kesehatan di puskesmas menangani penderita HIV/AIDS. Dengan demikian, akses
untuk pengobatan lebih mudah dan biayanya juga lebih murah. "Pilot
project-nya adalah Puskesmas Kampung Bali," katanya.

Selain itu, sejak Maret 2002 lalu Pemerintah telah mencanangkan Gerakan
Nasional Penanggulangan HIV/AIDS 2002. Juga menetapkan ketersediaan Dana
Gerakan Nasional Penanggulangan HIV/AIDS sebesar Rp 200 miliar per tahun.
Sumber dana selain dari pemerintah, harus diupayakan dukungan dana hibah
dari Global Fund to Fight AIDS, Tuberculosis and Malaria (GF-ATM), maupun
bantuan kerja sama bilateral/multilateral lembaga donor. Juga didukung
sumber dana melalui LSM, masyarakat, serta swasta nasional dengan mekanisme
pengelolaan yang transparan, bertanggung jawab, efektif, dan efisien di
bawah koordinasi Komisi Penanggulangan AIDS Nasional.

Pemerintah juga akan merevitalisasi Komisi Penanggulangan AIDS Nasional
dengan melibatkan lebih banyak peran LSM, para ahli, perguruan tinggi, dan
masyarakat madani. Lembaga itu tetap diketuai Menko Kesra, sedang Menkes
menjadi ketua pelaksana harian. Selain itu dibentuk Forum Eselon I yang
beranggotakan semua departemen terkait, Forum tentang HIV/ AIDS
antar-DPR/DPRD, dan forum lain yang diperlukan.

Pemerintah mendukung penyelenggaraan gerakan nasional melalui penetapan
peraturan perundangan, peraturan pemerintah, dan kebijakan lain untuk
pencegahan, perawatan, pendampingan, pengobatan, termasuk jaminan kemudahan
dan keterjangkauan obat HIV/AIDS, pengurangan kerentanan terhadap HIV/ AIDS,
melindungi hak asasi dan kewajiban penduduk yang terinfeksi HIV/AIDS,
promosi kesehatan reproduksi, termasuk penggunaan kondom 100 persen pada
kelompok risiko tinggi, penggunaan jarum suntik steril, pengamanan darah dan
organ donor, serta upaya menghilangkan perlakuan diskriminasi terhadap
pengidap HIV/AIDS.

Sedangkan upaya pengurangan infeksi HIV pada para pencandu narkotika adalah
dengan menciptakan lingkungan yang mendukung, pengurangan kemiskinan,
peningkatan pendidikan, dan penyediaan lapangan kerja. Selain itu juga
penyuluhan, pendidikan masyarakat terutama remaja mengenai dampak buruk
narkotika dan zat adiktif lain terhadap kesehatan dan kondisi sosial.

Bila masih ada penyangkalan, ketidaktahuan, atau kurang peduli tentang
potensial epidemi HIV yang akan terjadi di Indonesia, maka akan sulit sekali
epidemi HIV/AIDS dikendalikan. Hanya dengan menyadari ancaman potensial
ledakan epidemi HIV/AIDS tersebut dan pentingnya menghindari dampak buruk
epidemi pada tingkat sosial ekonomi dan kesejahteraan masyarakat, maka baru
dapat diharapkan adanyalangkah-langkah serius menanggulangi epidemi HIV/
AIDS di Indonesia. Semoga! ***

(Penulis adalah wartawan Harian Umum Suara Karya).