[Nasional-m] Menggugah Budaya 'Sadar Diri'

Ambon nasional-m@polarhome.com
Tue Oct 1 00:12:23 2002


Suara Karya

Menggugah Budaya 'Sadar Diri'
Oleh Mudji Sutrisno SJ

Selasa, 1 Oktober 2002
Lagu "Di Timur Matahari, Mulai Bercahaya" yang bergema tahun 30-50an
merupakan salahsatu ekspresi bagaimana bangun berdirinya sebuah kesadaran
yang kritis yang mau merdeka dari sebuah bangsa dalam proses pendidikan
kebangkitan kesadaran individu dan kesadaran kolektif. "Habis Gelap
Terbitlah Terang" merupakan ekspresi bahasa kata untuk merangkumkan proses
panjang dari tidurnya kesadaran yang butuh pendidikan pencerahan agar
menjadi bangun dan mengambil putusan untuk menentukan sejarah peradaban
bangsa yang sadar diri sama bermartabat dengan bangsa lain.
Proses kesadaran memang merupakan jalan lambat yang secara evolusi penuh
pengolahan-pengolahan rekonsiliasi diri, pembenahan pengalaman traumatik
bangsa, jatuh bangun menguji diri dalam identifikasi-identifikasi untuk
perajutan identitas bangsa beradab yang tiap kali berjuang memberi
bahasa-bahasa struktural dan sistemik peradaban hukum, keadilan dan
pluralisme ekspresi kebebasan dengan toleransi beda pendapat saling
menghormati.
Mengapa proses penyadaran berjalan lambat?
Pertama, karena rintangan-rintangan represi kekerasan struktural dalam
bentuk kekuasaan otoriter yang memberangus dan membunuh kesadaran kritis
peradaban.
Kedua, dalam tahapan mentalitas dibuatlah "norcoercive means" (sarana-sarana
pemberangusan kesadaran dalam bentuk penguasaan makna dan ekspresi pikiran).
Pokok ini dikembangkan oleh istilah hegemoni yang diartikan Antonio Gramsel
sebagai penguasaan sarana-sarana mentalitas manusia agar di tahap
kesadarannya sudah dilumpuhkan hingga otomatis menyatukan mentalitasnya
dengan mentalitas penguasa. Ini dilakukan dengan menguasai seluruh
sarana-sarana media yang merajut dunia imajinasi, dunia ekspresi dan dunia
makna sadar dan bawah sadar manusia dengan penguasaan sarana-sarana oleh
rezim yang berkuasa.
Yang ketiga, kesadaran kritis juga terhalang oleh proses membedakan dan
mematerialisasikan semua nilai mulai dari nilai religius, nilai abstrak
direduksi dalam "pembendaan" (reifikasi : pereduksian semua hubungan
misalnya, hubungan kerja dan kekuasaan hanya dalam bentuk uang, benda dan
materi). Sebagai contoh pembendaan dilakukan oleh kapitalisme yang
menghargai sebuah lukisan hanya dari nilai tukar uang yang membendakan
sekali sebanyak sepuluh juta rupiah padahal harga sebuah imajinasi, kreasi
dan tetesan keringat inspirasi pelukisnya tidak pernah bisa dihargai dalam
bentuk uang.
Yang keempat, kesadaran juga dibelenggu dan dihalangi perkembangannya oleh
hambatan sejarah mentalitas kolektif yang tidak pernah berani untuk bangun
dan melakukan transformasi budaya dari mentalitas feodal paternalistik korup
menjadi budaya terbuka demokratis dan egaliter.
Lambatnya jalan proses menyadari diri sebagai bangsa bisa ditunjuk dengan
lamanya waktu yang kita alami dalam sejarah evolusi kesadaran dunia mengenai
perjuangan penghormatan terhadap perekat kemanusiaan warga dunia, yaitu
harkat manusia dalam hak azasi manusia (HAM). Kita membutuhkan jutaan
kematian saudara-saudara kita dan kekejian dua perang dunia serta rentang
waktu hampir dua ribu tahun untuk menyadari bersama dan duduk bersama
merumuskan deklarasi penghormatan HAM 10 Desember 1948.
Jalan berliku panjangnya dan lamanya perubahan kesadaran bisa ditunjuk dalam
tiga generasi pejuang-pejuang kesadaran pemberdayaan HAM. Kini, kita berada
dalam generasi ketiga perjuangan penghormatan HAM, dengan kesadaran: kita
adalah bagian satu semesta dunia yang harus menjaga ekologi bumi dari
kehancuran-kehancuran karena dikuras habis oleh industrialisasi dan sistem
ekonomi bahasa global.
Generasi pertama HAM memperjuangkan bahasa-bahasa struktural kemerdekaan
sebagai "freedom" ("Liberte" revolusi Perancis) dalam sistem sosial,
ekonomi, politik dan peradaban budaya. Di sini kesadaran pemberdayaan
mengenai pentingnya menghidupi ruang lingkup kebebasan yang merupakan esensi
hakiki kemanusiaan disadari tidak akan ada gunanya bila tidak mampu dibuat
aksi-aksi struktural budaya, sosial, politik dan ekonomi.
Generasi kedua HAM dalam sejarah berusaha memberi wujud perjuangan nilai
kesamaan di depan hukum karena sama-sama berharga dari basis religius agama
sebagai ciptaan Allah (_quality" : egalite). Kesadaran ini menegaskan
perjuangan struktural bahwa tiap manusia tanpa pandang agama, suku, ras
adalah sama kedudukannya di depan hukum dan berhak untuk mendapatkan
keadilan dalam sistem politik, ekonomi, budaya yang dirajut.
Tiga generasi perjuangan dan pemberian bahasa struktural HAM membuktikan
bahwa untuk membahas pendidikan kesadaran yang tidak hanya berdimensi
kolektif tetapi juga individual, kita harus meletakkan lagi dalam sebuah
bingkai alam pikiran filsafat proses yang melihat perjalanan kehidupan
manusia merupakan ziarah peradaban langkah demi langkah untuk semakin
menomorsatukan peradaban humanis adil manusiawi dan semakin mengikis habis
kebiadaban sisi kebinatangan manusia kita.
Bingkai alam pikiran filsafat proses mau secara sadar melihat kehidupan
tidak hanya dikotomi : tesis (kawan) dan antitesis (lawan) yang hanya
menyediakan pilihan mati-hidup; ortodoks dogmatik dan maju dinamik sebab
dikotomi seperti itu tidak mampu menangani kompleksitas kenyataan yang punya
banyak wajah dari kemiskinan ekonomis dan struktural sampai persoalan krisis
nilai, mentalitas dan wabah aids.
Alam pikiran proses juga mengkritisi pikiran dialektika tradisional mengenai
tesis bertemu anti-tesis untuk mendapatkan sintesis dari unsur-unsur
positifnya (aufheben). Sebab, bagaimana kita mampu menanggungjawabi sebuah
sintesis dialektis pembangunan material tetapi menumbalkan rakyat jelata dan
mengorbankan mereka yang terpinggir? Walter Benyamin sudah mendahului di
pasca perang keji dunia kedua, untuk menggugat kesadaran kolektif kita
dengan memikirkan paradigma korban di dalam proses konsientisasi (evolusi
penyadaran). Paradigma korban adalah ditanamkannya matra kesadaran terhadap
sesama-sama kita yang mudah terluka dan tiap kali menjadi tambah struktur
kekuasaan yang tidak adil. Ia mengajak kita untuk memikirkan korban-korban
kemanusiaan sebagai dialektika negatif yang tidak pernah dihitung oleh
dialektika positif sebelumnya.
Oleh karena itu alam pikiran proses sesungguhnya menjadi bingkai evolusi
pendidikan kesadaran yang ingin menempatkan nilai proses kehidupan umat
manusia yang majemuk bentuk-bentuk kesadarannya dan sekaligus satu
persaudaraan semesta dalam perjuangan kemanusiaan persaudaraan. Mengapa?
Seperti sudah terurai di atas bahwa bekunya kesadaran menyebabkan
struktur-struktur yang dehumanis demikian pula orang biasa saja tega
mengobyekkan sesama dalam hubungan timpang ekonomis pasar global yang
melibas ekonomi-ekonomi mikro di dunia ketiga yang miskin, demikian pula
yang kota melibas yang desa dan yang pusat memakan habis dengan serakah
kekayaan alam daerah.
Pokok-pokok multi wajah permasalahan evolusi kesadaran banyak ditangani
dalam dua jalur pengembangannya. Yang pertama oleh pendidik agung dunia yang
bernama Paulo Freire dengan perjuangan membangkitkan terus-menerus tahap
pendidikan agar dari kesadaran bisu intransitif pasif dicerahkan menuju
kesadaran aktif kritis dan transitif yang mengolah terus menerus daya juang
dan naluri transformasi.
Yang kedua, sekolah-sekolah kesadaran yang berhutang pada pemikiran Freud
mengenai ketidaksadaran dan trauma psikis pembelenggu kesadaran sehat
manusia dalam lima tahun awal masa kecilnya, lalu dikembangkan dalam multi
ragam sekolah psikoanalisis, pendidikan konsientisasi yang berusaha semakin
mengikis habis pengalaman-pengalaman traumatis dengan menyadarnya,
rekonsiliasi dan menyehatkan naluri subliminal ke ekspresi sadar diri.
Maka dari itu tantangan yang paling dekat- rekat di depan mata kita adalah
bagaimana kita dengan kesadaran nurani jernih dan budi cerah diajak peka
untuk melihat kenyataan bahwa sebuah realitas sosial mengalami pembekuan
atau pelumpuhan apabila tidak setiap kali dikritisi dan digoncang-goncang
kesadaran kritisnya agar tidak tidur atau pun dibekukan dalam struktur
Status Quo?
Agar kesadaran kritis tetap radikal dalam memberi bahasa struktural
transformatif untuk peradaban, maka ada dua langkah untuk menjejakinya.
Pertama, ruang lebar kebebasan berekspresi dan berkreasi harus dijaga baik
se cara mentalitas maupun secara struktural agar proses kehidupan yang
sumbernya alternatif-alternatif transformasi tidak beku dalam
konstruksi-konstruksi yang dimapankan. Kedua, wacana penilaian komunikasi
terbuka harus terus-menerus dilakukan agar setiap perintisan perubahan
ditempatkan dalam pendekatan hidup sebagai proses yang mengolah
terus-menerus pengalaman pahit dan pengalaman berhasil untuk diberi struktur
peradaban yang lebih manusiawi, yang lebih sejahtera. ***
(Dr Mudji Sutrisno, adalah staf pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara,
Jakarta)