[Nasional-m] Suap dalam Divestasi Niaga

Ambon nasional-m@polarhome.com
Tue Oct 1 00:12:24 2002


Jawa Pos
Selasa, 01 Okt 2002

Suap dalam Divestasi Niaga

Proses divestasi Bank Niaga telah memasuki tahap-tahap akhir. Kini,
pemerintah -Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN)- sedang merundingkan
perjanjian jual beli (sales & purchase agreement/SPA) dengan konsorsium
Commerce Asset Berhad, Malaysia, yang telah mengajukan penawaran Rp 26,5 per
saham. Diperkirakan, pertengahan Oktober nanti, sudah ada kesepakatan
antardua pihak.

Dari segi proses teknis divestasi itu, tampaknya permasalahan yang muncul
hanyalah masalah harga, yang dinilai terlalu rendah. Tapi, di sisi lain,
ternyata masalah divestasi tersebut berkembang menjadi persoalan besar di
DPR.

Ini berkaitan dengan munculnya isu suap oleh BPPN kepada DPR RI, khususnya
komisi IX. Seperti biasa, dugaan suap itu semakin merebak dan terus
menggelinding hingga ke ranah politik. Karena itu, banyak anggota DPR yang
mengusulkan pembentukan dewan kehormatan (DK) untuk mengusut tuntas dugaan
suap tersebut.

Yang menarik, gagasan pembentukan DK juga didukung Ketua DPR Akbar Tandjung.
Akbar pun mengusulkan, agar DK bisa terbentuk, masalah itu harus diserahkan
pada sikap fraksi-fraksi di DPR untuk mewujudkan DK. Sebab, dari usul fraksi
itulah, nanti bisa dibentuk DK. Bahkan, Akbar mengatakan, DK merupakan cara
yang pas untuk menangani pelanggaran etika anggota dewan, tentu dengan tidak
meninggalkan proses hukumnya yang bisa dilakukan secara bersama-sama.

Di sisi lain, Ketua Komisi IX DPR Max Moein menyatakan bahwa tidak ada suap
dalam kasus tersebut. Karena itu, dia ngotot tak perlu ada pembentukan dewan
kehormatan.

Lalu, bagaimana seharusnya mekanisme penyelesaiannya? Belajar dari
pengalaman, pembentukan dewan kehormatan itu akan sia-sia saja. Proses
pembentukannya saja akan memakan waktu cukup lama. Apalagi, dalam hal ini,
dewan kehormatan tersebut dibentuk untuk mengungkap borok-borok yang ada di
DPR itu sendiri.

Di sinilah, akan banyak pihak yang berkepentingan, baik kepentingan untuk
membentuk dewan kehormatan -yang mungkin kepentingannya lebih bersifat
politis- maupun kepentingan untuk tidak membentuk dewan kehormatan. Karena
itu, penyelesaian suap di DPR -yang kata Meilono Suwondo sudah mendarah
daging- melalui mekanisme dewan kehormatan tidak akan efektif.

Sebaiknya suap oleh BPPN kepada DPR itu diselesaikan melalui mekanisme
hukum. Serahkan saja masalah tersebut kepada polisi. Semestinya tidaklah
terlalu sulit bagi polisi untuk mengungkapnya. Apalagi, penyuapan tersebut
dilakukan oleh institusi, BPPN.

Ada atau tidaknya suap bisa dilihat dari laporan keuangan BPPN dalam kurun
waktu tertentu. Ini tidak terlalu sulit bagi polisi. Sebab, sudah ada
laporan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang bisa menjadi second
opinion. Misalnya, BPK mencatat, terjadi penyimpangan keuangan negara di
BPPN sebesar 14,70 persen di antara Rp 115,73 triliun yang diaudit selama
2001. Nilainya mencapai Rp 17,01 triliun.

Baru, jika sudah ditemukan adanya kejanggalan-kejanggalan dan bukti bahwa
suap memang benar terjadi, selanjutnya polisi meneruskan pemeriksaan kepada
para anggota DPR yang menerima suap. Pemeriksaan ini memang tidak akan
mudah, tapi tentu harus dilakukan untuk mengungkap praktik-praktik suap di
lembaga wakil rakyat itu. *