[Nasional-m] RUU Penyiaran Harus Ditolak

Ambon nasional-m@polarhome.com
Tue Oct 1 23:48:03 2002


Media Indonesia
Rabu, 2 Oktober 2002

RUU Penyiaran Harus Ditolak
Eddy Soetjipto, Praktisi penyiaran

KERJA keras DPR dan pemerintah dalam usaha pengembangan demokratisasi
masyarakat melalui penataan dunia penyiaran haruslah diapresiasi tersendiri.
Lebih-lebih upaya penataan tersebut, yang terwujud melalui pembahasan RUU
Penyiaran berlangsung dalam waktu yang relatif panjang, sekitar dua tahun.
Persoalan yang mengemuka justru tidak terletak pada proses yang tidak
mengenal lelah itu, tetapi apakah hasil dari proses tersebut layak
diapresiasi. Lebih-lebih secara implisit atau eksplisit hasil kerja maraton
itu, ternyata memberikan ancaman yang tak terperikan. Tidak hanya bagi
kepentingan sempit pengelola industri penyiaran, tetapi juga masa depan
bangsa, sebagaimana dikemukakan oleh praktisi hukum Todung Mulya Lubis.
Hampir sebagian besar materi RUU Penyiaran tidak hanya berpotensi memasung
kebebasan memperoleh informasi, kebebasan menyampaikan pendapat, kebebasan
berkreasi, bahkan kebebasan berusaha pun tidak dipedulikan. Yang mengemuka
justru pelarangan-pelarangan, ancaman-ancaman, hingga pembatasan-pembatasan,
dan terbukannya peluang untuk melakukan 'pemerasan-pemerasan'.
Pasal-pasal krusial
Sejumlah masalah krusial yang berpotensi memasung hak-hak masyarakat dalam
RUU Penyiaran itu tertuang dalam pasal tentang pengembangan lembaga
penyiaran dengan pola jaringan. Jika RUU ini diterima, tidak akan ada
televisi nasional kecuali TVRI. Stasiun-stasiun televisi swasta bisa
melakukan siaran nasional, tetapi harus menggunakan pola jaringan, dengan
memanfaatkan televisi-televisi daerah. Kalau toh keberatan dengan pola kerja
sama dengan stasiun televisi daerah, stasiun televisi harus mendirikan
anak-anak perusahaan dengan melibatkan investor lokal, hanya untuk usaha
memancarkan siaran stasiun televisi tersebut.
Konsekuensinya, kalau suatu daerah tidak dianggap potensial dalam membiayai
siaran lokal, tv swasta nasional bisa-bisa tidak memasukkan dalam daftar
skala prioritas sebagai jangkauannya. Juga tv-tv swasta nasional hanya akan
bersiaran di lima kota, yang selama ini menjadi daerah sasaran survei AC
Nielsen, yaitu Jakarta, Surabaya, Bandung, Semarang, dan Medan. Lantas,
andaikan tv-tv itu punya hak menayangkan event-event prestisius semacam Liga
Italia, atau Piala Dunia, dapatkah pemirsa di luar lima kota itu mengerti
bahwa mereka tidak memunyai hak nonton karena tidak sesuai dengan
Undang-Undang Penyiaran?
Mengenai Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Pasal 7-8 RUU Penyiaran
menyebutkan KPI ada di pusat dan daerah bertanggung jawab kepada DPR dan
DPRD, bertugas menetapkan standar mutu, isi, peraturan, dan memberikan
sanksi, bahkan menyusun perencanaan pengembangan SDM. Konsekuensinya, sebuah
episode dari sebuah program acara yang akan ditayangkan sebuah stasiun tv
swasta harus diuji oleh KPI Pusat dan sekitar 37 KPI Daerah, jika mau
ditayang secara nasional. Jika tidak, KPI bisa menghentikan siaran sementara
sampai ada keputusan hukum yang tetap. Bayangkan, berapa waktu yang
dibutuhkan oleh sebuah stasiun tv yang mengudara nasional, untuk menayangkan
satu episode dari salah satu programnya saja.
Selain KPI Pusat dan Daerah, masih ada Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang
berwenang memeriksa laporan dari seseorang, melakukan pemeriksaan alat-alat
dan perangkat penyiaran, dan menghentikan penggunaan alat atau perangkat
penyiaran. Konsekuensinya, tanpa keputusan hukum yang tetap pun, atas alasan
adanya pengaduan orang-orang yang tidak jelas, PPNS dapat menghentikan
penggunaan alat penyiaran, yang berarti sama dengan menghentikan siaran tv
yang bersangkutan.
Soal sanksi, bagi stasiun tv yang melanggar batasan kepemilikan silang,
menyiarkan hal-hal yang bertentangan dengan norma-norma sosial termasuk
obat-obatan, dipidana penjara lima tahun dan denda paling banyak Rp10
miliar. Tak ada masalah yang krusial kelihatannya, tetapi yang paling
bermasalah justru tidak adanya penjelasan yang memadai mengenai pasal-pasal
yang dilanggar. Untuk kategori kepemilikan silang misalnya, RUU ini hanya
mengatakan kepemilikan silang antarmedia dibatasi, berapa yang dibatasi
tidak disebutkan. Demikian halnya dengan pemberian saham untuk karyawan,
tidak disebutkan berapa persen, dan prosesnya berapa lama, untuk bisa
dikenakan sanksi sebagaimana Pasal 56 RUU Penyiaran itu.
Harus ditolak
Pandangan bahwa penolakan terhadap RUU Penyiaran hanya merupakan kepentingan
kecil pengelola industri televisi swasta sangatlah tidak bijaksana. Karena
kenyataannya, RUU ini tidak hanya menghambat masyarakat mendapatkan
informasi secara bebas (khususnya informasi nasional karena hanya TVRI yang
bisa langsung siaran nasional), juga berpotensi memperlebar jurang pemisah
antardaerah.
Selain itu, RUU Penyiaran jelas bertentangan dengan semangat demokrasi yang
diusung dalam masa reformasi, dengan memberikan batasan-batasan yang sangat
ketat kepada stasiun tv swasta. Kemudian memberikan peran yang demikian
besar kepada KPI maupun Penyidik PNS untuk menjadi superbody, dengan
kewenangan mengatur standar isi siaran dan menjatuhkan sanksi atas
pelanggarannya.
Yang tidak kalah pentingnya, RUU Penyiaran ini mengingkari fakta bahwa tidak
semua daerah memiliki potensi untuk mengembangkan siaran lokal.
Konsekuensinya daerah-daerah tersebut bisa jadi akan 'lebih terisolasi',
akibat tiadanya stasiun tv swasta yang bersedia menanamkan investasinya
untuk membuka jaringan di daerah tersebut.
Dari sisi teknologi, RUU Penyiaran jelas sangat tidak aplikasi, karena tidak
mungkin satu daerah bisa membatasi luberan siaran dari salah satu stasiun tv
swasta di daerah yang berdekatan. Bayangkan, kalau satu stasiun tv swasta
membangun pemancar di Yogyakarta misalnya, apakah KPI Jateng akan memasang
pembatas agar pancaran transmisi itu tidak masuk ke Solo atau Semarang?
Lantas apa alatnya?
Karenanya, sangat tidak pantas jika RUU Penyiaran yang telah selesai di
tahap Pansus itu, dipaksakan segera disahkan menjadi undang-undang. Untuk
ditolak dan diganti dengan RUU baru, sebagaimana diusulkan Todung Mulya
Lubis, jelas berlebihan. Tetapi, kalau hanya ditunda untuk tahap
sosialisasi, sebagaimana harapan Menteri Komunikasi dan Informasi Syamsul
Muarif, tidaklah cukup.
RUU Penyiaran ini seharusnya dibahas kembali lebih jernih, dengan
mempertimbangkan kepentingan masa depan bangsa yang lebih luas, dan tren
teknologi yang tidak mungkin disampingkan. Pasal-pasal krusial yang
berpotensi memasung kebebasan pers, membatasi akses masyarakat dalam
memperoleh informasi, dan yang berpeluang mematikan investasi seharusnya
dihapus.
Penundaan tanpa pembahasan untuk menghapus pasal-pasal bermasalah tidak akan
menyelesaikan kontroversi atas RUU ini. Karena itu, yang dibutuhkan tidak
sekadar pertemuan antara Menkominfo atau anggota-anggota Pansus RUU
Penyiaran dengan praktisi penyiaran, tetapi harus ada kesepakatan baru untuk
menghapus atau setidaknya mengeliminasi pasal-pasal yang berpotensi
menimbulkan masalah jika RUU ini tetap dipaksakan.***