[Nasional-m] APAKAH dalam pendidikan kita ada unsur humaniora?

Ambon nasional-m@polarhome.com
Wed, 9 Oct 2002 22:13:09 +0200


Kompas
Kamis, 10 Oktober 2002
Humaniora
Oleh J Drost

APAKAH dalam pendidikan kita ada unsur humaniora?

Untuk menjawab pertanyaan itu, perlu lebih dulu menjawab pertanyaan: "Apa
itu humaniora?" Yang disebut human sciences, atau humanities, bukanlah
humaniora. Bahkan, disiplin-disiplin yang tergolong dalam human sciences
belum ada, ketika humaniora dibentuk.
Dalam humaniora klasik, bahasa tidak disebut sebagai disiplin. Maka, bahasa
Latin bukan unsur humaniora. Bahasa Latin, yang karena perkembangan
historis, merupakan bahasa yang dipakai sebagai lingua franca, seperti
halnya bahasa Melayu yang dulu merupakan lingua franca di Indonesia. Bahkan
bahasa Latin bukan merupakan bahasa "dasar". Bahasa yang paling tua di Eropa
dan sebagian dari Asia adalah bahasa Indo-European.
Bahasa Yunani, Celtic, Italic, Germanic, Slavic, Baltic, dan Indo-Iranian
merupakan anak bahasa. Bahasa Latin adalah dialek dari bahasa Italic. Selain
itu, bahasa Latin tidak pernah menghasilkan karya filosofis, drama, dan
literatur yang berarti. Kebanyakan karya Latin adalah mengenai hukum,
administrasi, dan politik.
Namun, karena suku Latinum berhasil merebut kekuasaan di Eropa, Timur
Tengah, dan Afrika Utara, mereka berhasil menjadikan bahasa Latin sebagai
bahasa pemerintah dengan mendesak bahasa Yunani sebagai bahasa budaya. Karya
Yunani tidak pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, tetapi
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, dan lewat Spanyol dari bahasa Arab ke
bahasa Latin.
***
HUMANIORA, yang menjadikan manusia (humanus) lebih manusiawi (humanior),
mula-mula terdiri atas gramatika, logika, dan retorika; trivium. Pada
awalnya, segala tekanan diletakkan pada gramatika yang sering dipelajari
selama tiga tahun lebih.
Ini terjadi karena penguasaan bahasa Latin (bahasa studi dan pergaulan di
universitas, bukan bahasa ibu para mahasiswa) sama sekali belum cukup untuk
mengomunikasikan hasil proses belajar. Dan, bila bahasa komunikasi tidak
dikuasai secara mutlak, logika dan retorika tidak mungkin berjalan baik.
Lama-kelamaan keadaan itu diubah; logika dan retorika ditekankan juga. Ada
perkembangan dari trivium ke quadrivium: teologi, aritmetika, musik (teori
akustik), dan astrologi (sekarang disebut astronomi).
Jadi, pendidikan humaniora bukan bahasa sebagai bahasa. Gramatika (tata
bahasa) bermaksud membentuk manusia terdidik yang menguasai sarana
komunikasi secara mutlak. Logika bermaksud membentuk manusia terdidik yang
dapat menyampaikan apa yang ingin disampaikan sedemikian rupa hingga dapat
diterima karena dapat dimengerti dan masuk akal. Retorika bermaksud
membentuk manusia terdidik mampu merasakan perasaan dan kebutuhan pendengar,
dan mampu menyesuaikan diri dan uraian dengan perasaan dan kebutuhan itu.
***
APA yang diharapkan dari humaniora zaman sekarang ini?
Sebagai bahan perbandingan, kiranya tidak salah bila kita dengar apa yang
diharapkan dari calon mahasiswa oleh universitas-universitas di Jerman.
Tuntutan itu dapat dipadatkan dalam satu kata hochschulreife. Semua calon
harus telah mencapai hochschulreife, artinya: kematangan, baik intelektual
maupun emosional, agar dapat menempuh studi akademis. Teras kematangan itu
adalah kemampuan bernalar dan bertutur yang telah terbentuk.
Jadi, yang siap mulai studi di perguruan tinggi adalah dia yang dapat
mengendalikan nalar, yaitu dia yang kritis. Seorang yang kritis adalah
seorang yang, antara lain, mampu membedakan macam-macam pengertian dan
konsep, sanggup menilai kesimpulan-kesimpulan tanpa terbawa perasaan,
menolak perampatan-perampatan (generalisasi), tidak membeo
semboyan-semboyan, dan tidak menerima propaganda sebagai pembuktian. Unsur
lain yang perlu adalah kritik diri yang memungkinkan orang bernalar dan
bertindak obyektif.
Ciri khas dari seseorang yang "matang" masuk perguruan tinggi di Indonesia
adalah penguasaan bahasa Indonesia, baik saat bertutur maupun menulis. Tata
bahasa dan ejaan harus dikuasai secara mutlak. Logika mencirikan segala cara
berkomunikasi.
Bernalar dan bertutur diperoleh dan dibentuk terutama lewat matematika dan
bahasa. Matematika mengajar kita bernalar logis. Namun, karena matematika
adalah ilmu kuantitas, padahal ilmu-ilmu pengetahuan mencakup lebih dari
kuantitas, perlu juga memperoleh kematangan masuk universitas lewat
ilmu-ilmu yang lain. Yang paling menunjang dan memperluas perolehan lewat
matematika adalah bahasa. Seseorang baru bisa bernalar dan bertutur secara
dewasa, bila sudah menguasai ortografi, gramatika, dan sintaksis bahasanya
sendiri.
Membaca ini semua, kita tidak heran mendengar seorang rektor universitas di
Jerman berkata, "Setiap mahasiswa yang ingin studi kimia harus mempunyai
nilai tinggi untuk matematika dan bahasa Jerman. Nilai baik untuk bahasa
Latin dan bahasa Yunani diharapkan. Tidak begitu penting nilai-nilai fisika
dan kimia".
Seorang rektor lain mengatakan, "Kalau mau studi fisika, nilai untuk fisika
dan kimia tidak penting, karena fisika dan kimia akan dipelajari di sini.
Tetapi, nilai matematika dan bahasa Jerman harus tinggi, karena nilai-nilai
itu menunjukkan apakah calon itu pandai atau tidak."
Di Indonesia, cara kita menangani proses penerimaan mahasiswa sama sekali
lain dan tidak memperhatikan aspek itu. Alasannya, karena unsur pokok
pendidikan humaniora tidak ada dalam pendidikan kita. Karena itu, sistem
Jerman lebih baik diterapkan di Indonesia.
Humaniora adalah gramatika, logika, dan retorika. Logika dan retorika tidak
dapat berkembang, karena penguasaan gramatika bahasa Indonesia amat lemah.
Mengapa? Sebab, mereka yang menulis, yang berbicara, yang berkhotbah, yang
memberi kuliah, yang mengajar membuat kesalahan, yang oleh negara lain akan
ditanggapi secara sinis dengan pertanyaan apakah orang itu sudah lulus SD
atau belum. Reaksi ini juga timbul di Indonesia.
***
DARI tahun 1960 sampai tahun 1976, setiap hari Minggu saya ke desa-desa di
Daerah Istimewa Yogyakarta, berkhotbah memakai bahasa Jawa. Ketika saya
membuat kesalahan, saya tetap dipuji karena saya bukan orang Jawa. Tetapi,
kalau seorang pastor Jawa membuat kesalahan yang sama, dia dikritik
habis-habisan.
Seorang Jawa yang telah berpendidikan tidak boleh membuat
kesalahan-kesalahan itu. Dan, saya kira ini berlaku juga untuk semua suku
bangsa. Namun, saat mengajar atau memberi kuliah atau menyusun skripsi untuk
ujian sarjana, mereka memakai bahasa Indonesia secara salah, mereka
dibiarkan. Karena, seperti bahasa Jawa bukan bahasa saya, demikian pula
bahasa Indonesia bukan bahasa mereka!
Untuk kebanyakan orang Indonesia, bahasa Indonesia adalah de facto "a second
language", sementara bahasa ibu mereka sudah tidak dikuasai lagi. Ini
berarti, bahasa Indonesia untuk calon intelektual kita bukan merupakan
sarana humaniora. Bagaimana logika dan retorika bisa dikembangkan, kalau
gramatika dari bahasa Indonesia tidak dikuasai secara mutlak?
Kesimpulan saya, pendidikan humaniora modern mungkin sekali di Indonesia,
asal bahasa Indonesia sungguh-sungguh menjadi bahasa budaya. Bila bahasa
Indonesia telah menjadi bahasa budaya, kita akan mampu juga menguasai bahasa
asing. Mustahil mempelajari bahasa asing, bila di SD bahasa Indonesia tidak
diajarkan secara optimal.
Jadi, syarat mutlak ialah tidak ada pengajaran bahasa Inggris di SD, karena
mengganggu pengajaran bahasa Indonesia. Di Eropa dan Amerika, tidak ada satu
negara pun yang mengajarkan bahasa asing di tingkat SD. Di kelas I SLTP
sampai kelas III SMU, setiap minggu ada lima jam pelajaran bahasa Indonesia
dan empat jam pelajaran bahasa asing; paling banyak dua bahasa asing, yaitu
bahasa Inggris dan satu bahasa asing lain. Inilah syarat bagi kita orang
yang berbudaya: menguasai dua bahasa asing.
Hanya ada satu kesulitan. Bila masing-masing bahasa asing mendapat dua jam
pelajaran seminggu, mustahil dapat belajar sebuah bahasa. Karena itu,
anjuran saya: hanya satu bahasa asing saja, yaitu bahasa Inggris. Dengan
empat jam seminggu selama enam tahun, hasilnya akan cukup memuaskan. J Drost
SJ Ahli pendidikan tinggal di Jakarta