[Nasional-m] Profil Advokat Yang Ideal

Ambon nasional-m@polarhome.com
Wed, 9 Oct 2002 22:30:14 +0200


Suara Karya

Profil Advokat Yang Ideal
Oleh Ismail Saleh

Kamis, 10 Oktober 2002
Berbicara mengenai peran seseorang pada dasarnya juga berkaitan dengan
bagaimana profil yang kita inginkan, sampai pada sosok yang ideal sekalipun.
Kata "profil" dalam makna harfiahnya adalah wajah atau raut muka. Tapi
profil dalam tulisan ini adalah bukan dalam arti wajah atau tampang orang
yang seram dan galak atau halus dan tampan. Profil yang saya maksud adalah
kadar kepribadian (personality) yang dimiliki seseorang.
Ketua Umum Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) Denny Kailimang dalam Rapat
Kerja AAI ke-X tanggal 12-14 September 2002 di Medan, antara lain menegaskan
tentang perlunya para anggota AAI mempertahankan terus integritas dan
moralitas dalam menegakkan hukum di samping etika dan profesionalisme.
Saya sependapat dengan penegasan Ketua Umum AAI tersebut, karena integritas
dan moralitas seseorang mencerminkan sosok kepribadian yang terhormat
(respectable personality). Itu juga dapat dikatakan semacam state of being a
lawyer."
Paling tidak ada tiga parameter yang dapat dipakai untuk menilai kadar
kepribadian seorang advokat sebagai profesi yang terhormat. Pertama,
memiliki integritas moral (moral integrity); kedua, kejujuran intelektual
(intellectual honesty) dan ketiga, ditunjang kemampuan professional
(professional ability). Pengertian profesi yang terhormat adalah suatu
profesi yang dihormati, yang bermartabat, bukan profesi sembarangan. Bahkan
merupakan profesi yang pilihan, karena mereka yang terpilih saja dapat
menjadi seorang advokat yang baik. Itu juga merupakan pilihan hidup
tersendiri bagi seorang yang memilih jalan hidupnya menjadi advokat sampai
akhir atau batas kemampuannya.
Ada semacam kebanggaan (pride) tersendiri menjadi seorang advokat. Karena
itu saya termasuk orang yang tidak setuju, apabila ada jaksa atau hakim yang
sudah pensiun kemudian pindah profesi sebagai advokat. Karakter dan cara
berpikir jaksa dan hakim berlainan dengan advokat karena posisi hukumnya
dalam proses peradilan memang berbeda. Menjadi jaksa dan hakim juga sudah
atau harus merupakan pilihan hidup tersendiri dan pantang sesungguhnya pada
akhir kariernya beralih profesi menjadi advokat.
Pensiunan hakim dan jaksa sebaiknya tidak menangani litigation matters di
pengadilan, tapi lebih tepat bergerak dalam bidang non-litigation, yaitu
sebagai konsultan hukum untuk membuat legal opinion. Karena itu cukup
menyengat yang dikatakan Benyamin Mangkoedilaga dalam Kata Pengantar buku
"Gani Djemat-Pengacara Profesional yang Berseni", yaitu ... untuk menjadi
baik hakim yang berjiwa hakim, pengacara yang berjiwa pengacara dan bukannya
berjiwa lain, seperti berjiwa broker, tukang peras maupun tukang palak".
Saya ingin menambahkan ungkapan Benyamin Mangkoedilaga tersebut
dengan,"janganlah menjadi advokat yang berjiwa hakim".
Integritas Moral


Menegakkan hukum, keadilan dan kebenaran sesungguhnya bukan saja merupakan
tuntutan profesi semata-mata, melainkan juga merupakan tuntutan yang
bersifat idiil. Karena itu menegakkan hukum, keadilan dan kebenaran tidak
bisa diukur dari segi materil semata-mata atau bahkan merosot untuk tujuan
mengkomersilkan. Advokat yang profesional tidak larut dalam materialisme dan
tidak terseret dalam arus komersialisasi profesi. Ini merupakan prinsip
dasar yang perlu dipegang teguh untuk mempertahankan integritas moral
profesi. Segala pertimbangan moral harus melandasi pelaksanaan tugas
profesionalnya. Segala sesuatu yang bertentangan dengan moral perlu
dihindarkan, walaupun dengan melakukannya ia akan memperoleh imbalan jasa
yang tinggi. Kemampuan dan penguasaan substansi keprofesian tidak ada
artinya, apabila sikap moral dan mentalnya rendah.
Sekalipun sebenarnya keahlian yang dimiliki seorang advokat dapat
dimanfaatkan sebagai upaya untuk mendapatkan imbalan uang, namun dalam
melaksanakan tugas profesionalnya, ia tidak boleh semata-mata didorong oleh
pertimbangan uang. "Apakah kita sudah cukup tulus berpihak pada kebenaran?",
demikian pertanyaan Denny Kailimang dalam sambutannya di Raker AAI.
Kejujuran Intelektual

Kejujuran intelektual yang dimaksud adalah tidak saja kejujuran pada pihak
kedua dan ketiga, tetapi juga pada dirinya sendiri. Apabila ia memberikan
jasanya kepada seorang klien, tetapi kemudian tidak sanggup dan tidak mampu
untuk melanjutkannya, maka ia harus mengakui ketidaksanggupannya. Ia harus
mengetahui batas-batas kemampuannya. Apabila dalam satu kasus, ia mengetahui
bahwa ikhtiarnya telah sampai pada batas-batas kemampuannya, ia harus jujur
menjelaskan kepada kliennya.
Sikap ingin selalu memenangkan kepentingan kliennya perlu diimbangi dengan
sikap kejujuran sebagai sikap yang bersifat profesional. Hal itu sangat erat
hubungannya dengan etika profesi yang ada kalanya tidak diacuhkan lagi.
Benar apa yang dikatakan Benyamin Mangkoedilaga yaitu, "Gani selalu terbuka
pada kliennya baik di saat menang maupun kalah dalam berperkara. Keterbukaan
Gani terhadap klien, setidaknya dapat menjadi teladan bagi kita semua
terutama saat profesi lawyer mendapat sorotan negatif belakangan ini". (Gani
Djemat - Pengacara Profesional yang Berseni" Penerbit Sentra Kreasi Inti -
Agustus 2002).
Terutama dalam menghadapi jumlah advokat yang semakin lama semakin meningkat
dalam suasana yang semakin kompetitif, semakin diperlukan kejujuran
intelektual dari seorang advokat.
Oleh karena itu, disamping kejujuran intelektual, memang diperlukan juga
kematangan intelektual (intellectual maturity) dari seorang advokat yang
ingin disebut atau berpredikat sebagai advokat profesional.
Profil seorang advokat yang matang dan dewasa adalah tampak pada sikapnya
yang dapat menghargai pendapat orang lain, menimbang dan menganalisa
pendapat yang berbeda disamping berusaha memahaminya serta akhirnya mengakui
secara jujur kebenaran dari pendapat orang lain tersebut. Sikap kematangan
advokat hendaknya tercermin pada penampilannya, yaitu bersikap terus terang
tetapi tetap sopan, percaya pada diri sendiri tetapi tidak sombong, memegang
teguh prinsip tetapi tidak perlu "ngotot" dan kritis pandangannya tetapi
tidak perlu sinis. Kalau berbicara terukur dan dalam mengemukakan
argumentasi terarah serta mantap.
Kemampuan Profesional


Perubahan sosial, ekonomi dan kemajuan teknologi yang timbul serta
terjadinya arus globalisasi dan modernisasi di segala bidang, membawa
konsekwensi perlunya seorang advokat yang memiliki kemampuan profesional
yang tinggi dan tangguh. Untuk itu seorang advokat harus terus menerus
meningkatkan kemampuannya dan memperluas cakrawala, wawasan dan ilmunya
berdasarkan sikap ingin tahu dan ingin belajar.
Syarat kemampuan profesional harus didukung dengan pengetahuan dan
pengalaman yang cukup lama. Apabila seorang advokat pengetahuannya belum
cukup dan pengalamannya belum memadai, maka ia harus dapat menahan diri.
Lebih-lebih jangan sampai memberikan janji-janji sekadar untuk menyenangkan
hati seorang klien, agar si klien tetap mau memakai jasanya. Ia harus
terbuka dan punya keberanian moral (moral courage) untuk memberikan
penjelasan kepada kliennya mengenai keadaan yang sebenarnya, betapa pahitnya
sekalipun, sehingga si klien mengetahui situasi sesungguhnya yang akan
dihadapi.
Seorang advokat harus dapat menyadari tentang seberapa jauh ia dapat
bertindak, apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan. Sikap
coba-coba atau sikap untung-untungan, sesungguhnya bukan sikap seorang
profesional, lebih-lebih apabila diketahui bahwa dari segi hukumnya sangat
lemah, apalagi kalau ketentuan hukumnya sendiri tidak membenarkan. Para
advokat hendaknya tampil menjadi teladan dalam membudayakan hukum dan bukan
malahan sebaliknya, yaitu memperdaya hukum.
Mengejar sesuatu yang ideal memang tidak mudah. Namun demikian idealisme
hendaknya tetap menjadi tujuan utama untuk menghindari kecenderungan sikap
yang berpijak pada materialisme.
Ini merupakan prinsip dasar tentang Perilaku profesional (professional
behaviour) yang mencakup tata pikir, tata laku dan tata kerjanya.***
(Ismail Saleh SH adalah mantan Menteri Kehakiman dan Jaksa Agung).