[Nasional-m] Politik Luar Negeri RI Mau ke Mana?

Ambon nasional-m@polarhome.com
Thu, 10 Oct 2002 18:42:15 +0200


Sinar Harapan
12/10/2002

Politik Luar Negeri RI Mau ke Mana?
Oleh RIZA SIHBUDI

Arah politik luar negeri kita patut disorot. Berbagai kasus yang menyangkut
hubungan kita dengan negara-negara lain, tampaknya kian menumpuk, dari kasus
TKI, keterlibatan pihak asing dalam berbagai konflik lokal, sampai isu
terorisme (kasus Agus Budiman, Agus Dwikarna, Abu Bakar Ba’asyir, Umar
Al-Farouq, dsb). Kesemuanya itu memunculkan banyak pertanyaan—baik di
sebagian kalangan masyarakat maupun media massa—mengenai arah kebijakan luar
negeri RI. Mengapa pemerintah Megawati seperti tidak berbuat apa-apa untuk
menangani berbagai persoalan tersebut?
***
Politik atau kebijakan luar negeri pada hakikatnya merupakan ”kepanjangan
tangan” dari politik dalam negeri sebuah negara. Politik luar negeri suatu
negara sedikitnya dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu kondisi politik dalam
negeri; kemampuan ekonomi dan militer; serta lingkungan internasionalnya.
Sejak Bung Hatta menyampaikan pidatonya berjudul ”Mendajung Antara Dua
Karang” (1948), RI menganut ”politik luar negeri yang bebas dan aktif” yang
dipahami sebagai sikap dasar RI yang menolak masuk dalam salah satu blok
negara-negara superpowers; menentang pembangunan pangkalan militer asing di
dalam negeri; serta menolak terlibat dalam pakta pertahanan negara-negara
besar. Namun, RI tetap berusaha aktif terlibat dalam setiap upaya meredakan
ketegangan di dunia internasional. Seperti diamanatkan konstitusi, RI juga
menentang segala bentuk penjajahan di atas muka bumi ini, dan menegaskan
bahwa politik luar negeri harus diabdikan untuk kepentingan nasional. Oleh
sebab itu, pendulum pelaksanaan politik bebas-aktif dapat bergerak ke kiri
dan ke kanan, sesuai dengan kepentingan nasional pada masa-masa tertentu.
Dengan kata lain, kebijakan luar negeri merupakan refleksi dari politik
dalam negeri dan dipengaruhi perubahan dalam tata hubungan internasional
baik dalam bentuk regional maupun global. Karena itu, setiap dinamika yang
terjadi dalam perpolitikan dalam negeri akan mempengaruhi diplomasi sebagai
manifestasi kebijakan luar negeri. Secara umum visi dan orientasi politik
luar negeri RI seharusnya tidak berubah. Namun, perubahan dimungkinkan jika
berkaitan dengan usaha perbaikan ekonomi dan citra RI di mata internasional.
Dasarnya tetap bertitik tolak pada konstitusi, tetap ikut membantu
menciptakan perdamaian dan keadilan sosial serta politik bebas-aktif yang
diabdikan pada kepentingan nasional.
***
Pada era Soekarno (1945-1965), pendulum politik bebas-aktif lebih condong
bergerak ke kiri, di mana Jakarta tampak lebih akrab dengan Moskow, Beijing
maupun Hanoi, dan tampak garang terhadap AS dan sekutu Baratnya. Bangkitnya
PKI dan kelompok-kelompok kiri pada masa Soekarno memang ikut mempengaruhi
agresifitas politik luar negeri RI. Namun, agresifitas itu bisa dipahami
karena menonjolnya berbagai kepentingan nasional RI pada masa-masa
pasca-kemerdekaan hingga dekade 1960-an.
Pada masa Orde Baru (Orba), pendulum itu bergerak ke kanan, karena berkaitan
dengan kepentingan nasional pada masa itu yang lebih menonjolkan aspek
pembangunan ekonomi. Penonjolan aspek pembangunan ekonomi telah memaksa RI
berpaling ke Barat, karena RI tergantung pada industri dan bantuan ekonomi
Barat yang dipimpin AS. Memang, hubungan RI dengan Barat (termasuk Jepang
dan Australia) tidak melulu berlatar belakang faktor ekonomi, melainkan juga
keamanan. Dalam hal ini, Australia menempati posisi penting, terutama dalam
kaitannya dengan masalah Timor Timur dan Irian Jaya. Pada masa Orba, Timtim
menjadi salah satu isu yang sangat penting dalam politik luar negeri RI.
Australia menerima integrasi (”aneksasi”?) Timtim sebagai suatu fait
accompli guna memelihara hubungan baik Jakarta-Canberra (Suryadinata, 1996).
Dalam masalah keamanan, oleh pemerintahan Soeharto, RRC masih dipandang
sebagai ”ekspansionis”. Sebaliknya, Vietnam dilihat sebagai buffer untuk
menghadapi RRC. Tapi, hubungan Jakarta-Beijing juga dipengaruhi beberapa
faktor lain seperti: masalah etnis Cina, konflik di Laut Cina Selatan, dan
soal hubungan RI-Taiwan. Tampaknya ada ”ambivalensi” dalam hal politik luar
negeri RI terhadap RRC. Di satu sisi, ada ”kubu” yang pro-normalisasi
RI-RRC, yang diwakili Deplu RI. Di sisi lain, ada ”kubu” yang menolak
normalisasi, yang diwakili pihak militer (ABRI), yang justru lebih cenderung
pada upaya mempererat hubungan RI-Vietnam. Pada mulanya, Soeharto lebih
mendukung sikap ABRI, namun pada akhir 1980-an ia justru mendukung sikap
Deplu. Ini tidak terlepas dari keinginannya untuk lebih aktif memainkan
peranannya di panggung internasional. Itu pula yang kemudian mendorong RI
untuk lebih giat mempererat kerja sama di tubuh ASEAN; mengupayakan
terciptanya perdamaian di Kamboja; tampil menjadi Ketua Gerakan Non-Blok
(periode 1992-1995); dan, puncaknya, menjadi tuan rumah pertemuan para
petinggi APEC di Bogor (November 1994).
Di era Orba, RI semula tampak low profile, tapi sejak pertengahan
1980-an—terutama setelah Pemilu 1982—RI justru tampak berupaya keras
memainkan peranan yang lebih penting di panggung internasional. Bisa jadi
ini disebabkan karena semakin pesatnya pertumbuhan ekonomi dan
terpeliharanya stabilitas politik di dalam negeri. Namun, hal ini juga tidak
terlepas dari adanya ”pergeseran” penentu kebijakan luar negeri. Sejak awal
masa Orba sampai pertengahan 1980-an, militer lebih berperan dalam
menentukan arah politik luar negeri RI. Namun, sejak pertengahan 1980-an
sampai pertengahan 1990-an, peranan yang lebih menentukan justru ada di
tangan Soeharto.
***
Bulan Mei 1998 terjadi perubahan penting dalam politik Indonesia, di mana
terjadi peralihan kekuasaan dari Soeharto ke BJ Habibie. Pada era Habibie
(Mei 1998 – Oktober 1999), kebijakan luar negeri RI praktis tidak banyak
mengalami perubahan, karena pada saat itu pun yang ditunjuk menjadi Menlu
adalah Ali Alatas, orang yang juga menjadi Menlu pada era Soeharto. Selain
itu, pemerintahan Habibie lebih banyak disibukkan oleh berbagai persoalan
domestik, yang mengalami kekacauan sejak terjadinya krisis ekonomi tahun
1997. Namun, pada era Habibie terjadi peristiwa bersejarah, yaitu lepasnya
Provinsi Timtim setelah melalui proses jajak pendapat di bawah PBB.
Pasca-lepasnya Timtim menyebabkan terjadinya kekacauan, karena terjadinya
berbagai tindak kekerasan di wilayah itu. Salah satu pihak yang dituduh
terlibat dalam kasus itu adalah TNI.

Masalah Timtim juga berimbas pada memburuknya hubungan RI-Australia.
Kekuasaan Habibie tidak berlangsung lama, dan Abdurrahman Wahid muncul
sebagai Presiden RI ke-4 (Oktober 1999). Tidak lama setelah dilantik menjadi
Presiden, Wahid melontarkan ide pembentukan ”Poros” Jakarta-Beijing-New
Delhi (sebuah ide yang sempat mengejutkan Barat) serta ingin lebih
memperkuat kerja sama dengan negara-negara di kawasan Asia lainnya, serta
Timur Tengah. Wahid pun kemudian mengunjungi sejumlah negara ASEAN.
Kendati lawatan ini bukan merupakan lawatan kenegaraan resmi—Wahid
menyebutnya sebagai kunjungan dalam rangka ”memperkenalkan diri” sebagai
Presiden baru RI—namun sambutan maupun hasil yang diraihnya termasuk cukup
positif.
Beberapa pemimpin ASEAN yang dikunjunginya menjanjikan akan meningkatkan
bantuan ekonomi kepada RI. Hanya dua hari setelah menyelesaikan lawatannya
ke ASEAN, Wahid langsung menuju AS dan Jepang. Menurut Wahid, RI tidak akan
mengorbankan hubungannya dengan AS dan negara maju lainnya walaupun akan
mengadakan hubungan yang lebih intens dengan RRC dan India.
Perubahan orientasi politik luar negeri RI ini bisa jadi dilatarbelakangi
oleh ”kekecewaan” Wahid terhadap sikap arogan negara-negara Barat (khususnya
Australia) dalam masalah Timtim. Memang, di era Soeharto dan Habibie,
kedekatan RI dengan Barat di satu sisi telah menghasilkan berbagai kemajuan
di sektor ekonomi dan teknologi.
Akan tetapi dari aspek politik, justru membuat RI seringkali menjadi ”
bulan-bulanan” arogansi Barat. Karena itu, secara politis, re-orientasi
kebijakan luar negeri RI di bawah Wahid diharapkan berdampak positif, di
mana Jakarta dapat lebih leluasa menjalankan politik luar negerinya yang
bebas dan aktif.
Kebijakan semacam ini mirip dengan yang telah dilakukan pemerintahan ”kaum
mullah” di Iran pasca-revolusi 1979 (Wahid memang sangat mengagumi pencetus
revolusi Iran, Imam Khomeini), yang lebih menekankan pada kerja sama dengan
sesama negara berkembang.
Sayangnya, kebiasaan Wahid yang suka menyulut kontroversi, ikut terbawa juga
di bidang politik luar negeri. Selain ide membentuk ”poros”
Jakarta-Beijing-New Delhi, maka pengangkatan Alwi Shihab (yang lebih dikenal
sebagai pakar di bidang perbandingan agama) sebagai Menlu, rencana pembukaan
hubungan dengan Israel, pengangkatan Menteri Senior Singapura Lee Kuan Yew
sebagai penasihat ekonomi, hingga rencana ”berkeliling dunia” selama setahun
pertama periode pemerintahannya, sempat menyulut kontroversi, baik di dalam
maupun luar negeri.
Kekhawatiran sementara kalangan terhadap kinerja Menlu Shihab, mulai
terbukti, ketika baru sehari pembentukan kabinet ia dan Wahid melontarkan
rencana membuka hubungan dengan Israel. Semula mereka menyatakan keinginan
membuka hubungan diplomatik. Namun, setelah muncul reaksi keras dari
masyarakat muslim, mereka menyatakan rencana peresmian hubungan dengan
negara Zionis itu sebatas pada sektor perdagangan dan ekonomi, bukan
diplomatik.
Rencana pembukaan hubungan dagang RI-Israel pun ternyata mendapat serangan
gencar. Maka, di depan Komisi I DPR-RI, 18 November 1999, Shihab
mengemukakan akan menunda rencana tersebut. Begitu pula keinginan Wahid
mengembalikan citra dan harga diri bangsa Indonesia dengan melakukan
perjalanan keliling dunia selama setahun pertama pemerintahannya, dalam
kenyataan justru membangkitkan kritikan tajam di dalam negeri.
Hampir sama dengan Habibie, kekuasaan Wahid pun tidak berumur panjang.
Melalui SI MPR (Agustus 2001), Wahid diturunkan dari kursi kepresidenan, dan
ia digantikan oleh Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden RI (yang kelima,
atau suksesi yang ketiga kalinya dalam kurun waktu hanya sekitar 3,5 tahun).
Di bawah Megawati (dengan Hassan Wirayudha—seorang diplomat karier—sebagai
Menlu), politik luar negeri RI tampak kembali bergeser ke kanan. Ini
ditandai dengan dijadikannya AS sebagai negara non-Asia pertama yang
dikunjungi Megawati.
Dan, mirip dengan Wahid, Megawati pun ternyata gemar mengadakan lawatan
kemana-mana dengan jumlah rombongan yang sangat besar, tapi tanpa agenda
yang jelas. Akibatnya, muncul kritikan tajam, yang kemudian membuat sang
presiden ”ngambek” dan tidak mau menghadiri KTT ASEM (Asia-Europe Meeting)
di Copenhagen, Denmark, 22-24 September 2002 lalu.
***
Dari uraian di atas, bisa disimpulkan bahwa kebijakan luar negeri RI
tampaknya memang tidak dikelola secara profesional. Kendati secara teoretis
suatu politik luar negeri ditentukan sekurang-kurangnya oleh tiga faktor
(politik domestik, kemampuan ekonomi dan militer, serta lingkungan
internasional), dalam kasus Indonesia, gaya kepemimpinan seorang presiden
tampaknya yang paling determinan. Dari Soekarno yang kharismatis, Soeharto
yang militeristis, Habibie yang realis, Wahid yang kontroversial, sampai
Megawati yang pasifis. Kesemuanya menunjukkan tidak adanya platform yang
jelas dalam pelaksanaan politik luar negeri RI. Padahal politik luar negeri
menjadi ujung tombak berkaitan dengan citra bangsa ini di mata dunia
internasional.
Oleh sebab itu, politik luar negeri tidak bisa dikelola secara asal-asalan.
Apalagi, pada era globalisasi seperti sekarang. Dalam hal ini, tentu saja
tidak hanya dibutuhkan keberadaan para diplomat yang andal, melainkan juga
kepemimpinan yang mampu merespons secara cepat berbagai persoalan
internasional, terutama yang berimplikasi langsung terhadap negara dan
bangsa kita. Sebagai contoh, di saat krisis multidimensi belum juga beranjak
dari negara kita, seorang presiden seharusnya lebih memprioritaskan
menghadiri KTT ASEM yang sangat strategis, ketimbang berkeliling kemana-mana
yang tidak ada kaitannya dengan kepentingan nasional.
Bandingkan dengan Presiden Arroyo dari Filipina yang langsung terbang
menemui PM Mahathir Mohamad begitu ada warga Filipina yang menjadi korban
tindak kekerasan oleh aparat Malaysia. Barangkali kita kini tidak cukup
hanya mengandalkan pada prinsip politik luar negeri yang bebas dan aktif,
melainkan bebas, proaktif, dan kreatif. Tapi, realistiskah harapan seperti
itu, di tengah krisis multidimensi (termasuk krisis kepemimpinan) yang belum
juga kunjung selesai? Bukankah, sebagus apa pun prinsip yang dianut, pada
akhirnya kembali pada yang menjalankannya?

Penulis adalah ahli peneliti utama LIPI dan dosen Pasca-sarjana UI, Jakarta.


Copyright © Sinar Harapan 2002