[Nasional-m] Aspek Pidana Penggunaan Gelar Akademik

Ambon nasional-m@polarhome.com
Thu, 10 Oct 2002 18:59:23 +0200


Sriwijaya Post
Selasa,  08 Oktober 2002

Aspek Pidana Penggunaan Gelar Akademik
Prof H Abu Daud Busroh, SH
Guru Besar Hukum Tata Negara FH Unsri dan STIH Sumpah Pemuda

KEADAAN moral pemimpin-pemimpin bangsa Indonesia saat ini cenderung
menunjukkan suatu keprihatinan yang mendalam di dalam menata kehidupan
berbangsa dan bernegara. Krisis moral ini melanda pada semua sisi kehidupan
dimulai dari budaya, ekonomi, politik, hukum, akademis, moral, etika, dan
solidaritas kebersamaan, semua terasakan tidak akan membawa dampak positif
bagi pembangunan bangsa dan negara.
Ada suatu kekhawatiran dari segilintir pihak yang memikirkan keberlanjutan
eksistensi masa depan kehidupan berbangsa dan bernegara terutama mengatasi
berbagai krisis yang merusak tatanan hidup bagi bangsa dan negara ini.
Nampaknya tidak ada lagi yang berpikir untuk kepentingan rakyat. Mungkinkah
suatu waktu tertentu NKRI ini akan “bubar” dengan melihat tingkah perilaku
pemimpin-pemimpin bangsa ini. Tidak ada kaderisasi yang positif yang tumbuh
dari Parpol maupun dari kelompok elit bangsa yang menguasai kendali
kekuasaan. Jikapun ada tumbuh, hanya nampak segelintir pribadi yang luhur
yang masih bersuara nyaring, akan tetapi sudah banyak contoh ketika
dipercayakan memegang kendali kepemimpinan negara, maka tidak muncul gagasan
yang “memorial” untuk rakyat.
Seperti kita ketahui, banyak wilayah yang akan mengembangkan dirinya, apakah
itu akan menjadi wilayah propinsi, wilayah kabupaten, ataupun wilayah kota,
tidak sederas ide untuk mandirinya dibandingkan ketika ide untuk meluaskan
atau memisahkan dirinya dari wilayah induk. Dan hal tersebut pun ketika
telah diatur oleh perundang-undangan untuk berdirinya pengisian kelengkapan
perangkat untuk mengelola pemerintahan sangat lamban. Justru yang sangat
menonjol di kehidupan bangsa Indonesia saat ini adalah penyalahgunaan
keuangan makin deras arusnya menyelusup ke kantong-kantong pribadi pemimpin
bangsa, sehingga tak seorangpun, jangankan penegak hukum, pihak pengawas
independen pun adalah mati langkah di dalam mengoreksi dan menghentikan
rongrongan terhadap keuangan negara.
Tumbuhnya Parpol yang kian menjamur bahkan mungkin suatu negara di dunia ini
baru Indonesia yang paling banyak jumlah Parpol dengan memakai istilah bahwa
Parpol adalah ciri demokrasi modern. Padahal, berdirinya Parpol hanyalah
suatu perlombaan untuk merebut kursi kekuasaan sebagai wakil rakyat, sebagai
antara untuk menduduki jabatan eksekutif yang berakhir dengan ujungnya
mengeruk uang rakyat, sehingga rakyat menjadi sengsara. Keadaan ini terjadi
baik di pusat maupun di daerah.
Di bidang akademis pun terjadi suatu kesenjangan antara output pendidikan
dengan penyediaan lapangan kerja, lalu ada komentar bahwa “output pendidikan
tidak siap pakailah” atau dengan dalih-dalih yang lain. Sehingga
pengangguran menjadi makin menggunung. Kalau pada Parpol yang untuk merebut
kursi kekuasaan makin menjamur, di bidang budaya keadaan budaya hakiki
nasional makin tergeser oleh budaya pihak negara maju, maka juga terjadi
kesempatan penjamuran penggunaan simbol-simbul akademik di Negara Republik
Indonesia ini. Sehingga makin menurunnya nilai moral bangsa yang menjadi
“rusak binasa” sebelum “kiamat” datang.
Pada saat ini ada pihak tertentu sebagai bagian dari masyarakat merasa gusar
dengan menjamurnya penggunaan jabatan akademik profesor dan gelar Doktor
Honoris Causa (HC) yang melanggar hukum. Tetapi itu dibiarkan tumbuh subur
berada pada nama-nama pejabat yang mempunyai kemampuan keuangan yang banyak,
sehingga harus menambah jumlah kantong baju dan celananya. Bahkan makin
panjang nama mereka dengan tanpa rasa malu, baik di depan maupun di
belakangnya, misalnya gelar Prof Dr H “Anu”, SE, SH, MBA, MSc, dan banyak
lagi. Dari keadaan ini sampai-sampai di amplop undangan ada tertulis “Mohon
maaf jika ada kesalahan penulisan nama/gelar.”
Sungguh amat disayangkan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara
Indonesia yang menikmati kemerdekaannya mulai 17 Agustus 1945, sampai dengan
sekarang tidak kunjung datang. Sila kelima Pancasila yang katanya merupakan
pandangan hidup bangsa itu yaitu: Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat
Indonesia, jauh panggang dari api. Ungkapan di atas adalah sebagai pembuka
jalan pikiran, mampukah bangsa ini menyikapi menjamurnya penggunaan gelar
Profesor dan Dr (HC) yang melanggar hukum itu.
Pidana
Di dalam iklan yang paling banyak (utamanya media nasional), tawaran untuk
memperoleh jabatan akademik Profesor dan Dr (HC) tak beranjak untuk setiap
harinya. Penawaran itu mendapat sambutan hangat oleh pribadi yang berduit
yang mempunyai dana untuk memiliki predikat-predikat itu guna menambah
“kegagahan” pribadinya dan kelancaran sikap tindaknya untuk membohongi
publik. Sebagai alat untuk mengumpulkan harta dengan mengeruk uang negara.
Padahal perbuatan penggunaan Profesor dan Dr (HC) telah diatur oleh
Undang-Undang No 2/1989 dan Peraturan Pemerintah No 60 tahun 1999.
Dalam pasal 19 ayat (1) dari UU Sistem Pendidikan Nasional No 2 tahun 1989
menyatakan: gelar dan/atau sebutan lulusan Perguruan Tinggi hanya dibenarkan
digunakan oleh lulusan PT yang dinyatakan berhak memiliki gelar dan/atau
sebutan yang bersangkutan. Pasal 25 ayat (2) PP No 60 tahun 1999 berbunyi:
Pemberian gelar Doktor Kehormatan (HC) diusulkan oleh fakultas dan
dikukuhkan oleh Senat Universitas/Insitut.
Pada saat ini sangat menjamur orang menggunakan gelar Dr (HC) yang tidak
sesuai dengan ketentuan di atas. Perbuatan itu merupakan suatu kejahatan
berdasarkan pasal 55 ayat (1) dan ayat (2) UU No 2 tahun 1989 yang berbunyi:
(1). Barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan
pasal 19 ayat (1) UU No 2 tahun 1989 dipidana dengan pidana penjara
selama-lamanya 18 bulan atau pidana denda setinggi-tingginya Rp 15 juta.
(2). Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kejahatan.
Tentang pemberian dan penggunaan jabatan akademik Profesor di dalam pasal 21
ayat (3) dari UU No 2 tahun 1989 berbunyi: syarat-syarat dan tata cara
pengangkatan termasuk penggunaan sebutan Guru Besar atau Profesor ditetapkan
dengan peraturan pemerintah. Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang hal
tersebut di atas adalah PP No 60 tahun 1999 dalam pasal 104 ayat (3)
berbunyi: Untuk dapat diangkat menjadi Guru Besar atau Profesor harus
diperoleh persetujuan dari senat Universitas/Institut/Sekolah Tinggi yang
bersangkutan. Ayat (4) dari pasal 104 PP No 60/1999 berbunyi: Guru Besar
atau Profesor diangkat oleh Menteri atas usul pimpinan PT setelah mendapat
persetujuan dari Senat Universitas/Institut/Sekolah Tinggi yang
bersangkutan.
Beberapa orang pribadi sangat nyata, bagaikan gayung bersambut atas iklan di
media nasional untuk mendapat jabatan dan gelar akademik dengan cara yang
melanggar hukum itu. Sebagaimana diuraikan dalam ketentuan di atas, dengan
gagahnya menggunakan predikat Profesor dan Dr (HC), MBA, MSc dan banyak lagi
gelar magister yang tidak sah. Ketika jabatan akademik dan gelar akademik
yang tidak sah itu didiskusikan dengan pihak kepolisian sebagai penegak
hukum, jawaban pihak kepolisian tidak dapat melakukan pemberantasannya
(penyidikannya) karena tidak ada laporan atau pengaduan masyarakat yang
dirugikan.
Untuk itulah tulisan ini diungkap melalui media massa, semoga ada anggota
masyarakat yang melaporkan dengan suatu bukti, nyali keberanian dan tanggung
jawab untuk diberikan tindakan hukum kepada pihak pribadi yang diketahuinya
menggunakan predikat Profesor, Dr (HC) dan gelar magister lainnya itu. Agar
pihak yang diadukan atau dilaporkan itu menyadari bahwa itu menipu publik,
paling tidak membohongi publik dan perbuatan yang bersangkutan itu adalah
suatu kejahatan. Beranikah masyarakat yang mengetahui dan memiliki bukti
untuk melaporkan/mengadukan seseorang yang menggunakan jabatan akademik dan
gelar akademik yang tidak sah itu.
Tulisan ini telah membuka jalan untuk menyikapi menjamurnya penggunaan
Profesor dan Dr (HC) dan magister lainnya yang melanggar hukum. Realisasi
tindakan yang akan bergulir setelah tulisan ini ditunggu oleh masyarakat.
Dan bila itu tidak juga tergubris, maka akan menjadi-jadilah seseorang
menggunakan Profesor dan Dr (HC) yang melanggar hukum itu.