[Nasional-m] Orang Bali Jual ''Kepala'',.....

Ambon nasional-m@polarhome.com
Thu, 10 Oct 2002 19:07:54 +0200


Bali Post
11 Okt. 2002

Dari Warung Global Interaktif-Bali Post
Orang Bali Jual ''Kepala'',
Sikap ''Paras Paros'' Terganggu

Kondisi keamanan di Bali memprihatinkan, pasalnya tiap 1,5 jam terjadi
tindak kriminal. Banyak yang menilai keamanan di Bali terganggu akibat
serbuan kelompok pendatang, di samping sikap masyarakat lokal yang skeptis
dan apatis pada lingkungan. Dampak dari dunia pariwisata, tahun 1990, orang
Bali sudah mulai menjual ''kepala'' pada orang asing. Sikap wellcome pada
orang luar inilah menimbulkan berbagai masalah, yang ujung-ujungnya membuat
situasi di Bali tak nyaman lagi. Hal itu mengemuka dalam acara Warung Global
yang disiarkan Radio Global FM 99,15 Kini Jani, Kamis (10/10) kemarin. Acara
juga dipancarluaskan Radio Genta Swara Sakti Bali dan Singaraja FM. Berikut
rangkumannya?
Pengamat sosial Wayan Sudira mengaku merasa mati dalam keadaan masih hidup.
Dia sudah belasan tahun lalu menduga nasib Bali atau Denpasar akan seperti
ini (terjadi tindakan kriminal tiap 1,5 jam-red). ''Saya sudah sejak tahun
1980 menulis di koran, kalau kelak keamanan di Bali akan parah,'' ucapnya.
Apakah kondisi sekarang merupakan proses alami, Sudira menyatakan laju
kebudayaan, kebrutalan dll, merupakan bagian dari sebuah rekayasa.
Contohnya, Pulau Bali yang tak begitu luas dipadati orang luar atau kelompok
pendatang tanpa kontrol yang bagus. ''Belajarlah dari kasus Jakarta, harus
bangga jadi warga Betawi.''
Menurut kolomnis ini, orang Bali yang melakukan proteksi daerah sering
keburu dituding bersikap rasis atau dicap bersikap rasial. Sementara para
pejabat sering berkoar tentang kelestarian budaya, namun Bali tetap saja
diancam bahaya tenggelam dalam ''banjir''. ''Saya kira Denpasar atau Bali
harus mengerem kelompok pendatang, apalagi bagi yang tak punya tujuan
jelas,'' katanya.
Dia menyatakan, akibat perkembangan dunia pariwisata tahun 1990 masyarakat
Bali mulai menyerahkan ''kepala'' pada orang asing. Bali sangat wellcome
terhadap orang luar, dan kenyataannya sekarang sehari terjadi 15 kali tindak
kejahatan. Sudira menilai, dalam hal tertentu kondisi Bali malah sudah
melebihi situasi di kota metropolitan seperti Jakarta. Oleh karena itu,
aparat yang berkompenten diminta lebih serius bekerja, termasuk
merealisasikan perda kependudukan. ''Pendatang yang menyerbu Bali harus
punya pekerjaan jelas,'' ucapnya.
Ledang Asmara menambahkan, masyarakat Denpasar sudah tumbuh apatis dan
bersikap skeptis. Mereka baru ribut dan bergerak jika ada masalah, dan
kembali bersikap skeptis atau cuek saat tak ada persoalan yang muncul. ''Ini
akibat kebijakan Pemda Bali dan Kota Denpasar yang tak sampai ke bawah,''
kritiknya.
Dia menegaskan, di era global ini sikap paras paros masyarakat Denpasar
sudah terganggu. Hal yang memprihatinkan, sikap skeptis warga Denpasar
melahirkan rasa tak peduli pada sesama. ''Sekarang orang Bali sudah
berprinsip, mati iba hidup kai -- mati kamu, hidup saya.''
Soal kekhawatiran terhadap keamanan Bali, juga disampaikan Agung. Dia
menilai, aturan adat di Bali harus ditegakkan. Selama ini, orang luar begitu
mudah atau gampang masuk Bali. Mencari KTP tak ada kendala, cukup dengan
sejumlah uang. ''Padahal banyak yang datang tanpa tujuan jelas. Aparat di
bawah harus tegas, jangan sembarangan menerima pendatang,'' tambahnya.
Serbuan kaum eksodan ke Bali, menurut Made Tiga dari Gianyar, merupakan
kesalahan pemerintah akibat kepentingan ekonomi. Misalnya, di Pemkot
Denpasar berlaku ada uang jaminan bagi kelompok pendatang. ''Pemerintah
lebih menggunakan pemasukan atau PAD, ketimbang dampak dari serbuan kaum
urban,'' tandasnya.
Gerakan Adat
Dia menegaskan, yang penting sekarang ada inisiatif dari pejabat dan pihak
terkait untuk menekan laju pendatang. Contoh, di Jakarta tak boleh ada becak
dan itu disahkan dalam perda. Bali atau Denpasar makin semerawut akibat ulah
para pedagang kaki lima (PKL). ''Bali buat peraturan untuk PKL dan mana yang
tak penting jangan dibiarkan,'' ucapnya. Pendapat agak berbeda disampaikan
Karsika, yang mengajak masyarakat untuk tidak terlalu khawatir Bali menjadi
Jakarta. Dia menyatakan, Denpasar sudah diantisipasi dengan gerakan adat.
Sementara Ode menambahkan, Bali yang dikenal sebagai daerah wisata tentu
banyak menimbulkan dampak. Aparat diminta merancang strategi atau tindakan
untuk ke depan, bagaimana menekan angka kriminalitas seperti perampokan,
pencurian, atau narkoba. ''Lihat polisi di Singaraja, sudah ada peningkatan
dan sejumlah kasus berhasil diungkap,'' katanya.
Polos dari Gianyar menyatakan, hari raya tertentu sudah dekat dan harus
diantisipasi sejak dini. Pengurus desa adat dan desa dinas diminta proaktif
di wilayahnya masing-masing, mendata dan menekan jumlah penduduk pendatang.
''Sudah biasa, pulang satu dan kembali menjadi lima,'' ingatnya.
Terkait dengan serbuan kaum urban, dia menyinggung kesalahan orang Bali yang
punya rasa gengsi tinggi. ''Orang Bali enggan jadi tukang kuras WC atau
penggali got. Ini salah satu peluang bagi kelompok pendatang.'' Made Karya
justru mempertanyakan, sudah begitu parahkah Bali? Ke depan, dia mengajak
semua pihak untuk melakukan langkah antisipasi yang lebih terarah. ''Peran
desa pekraman dan polisi harus maksimal,'' sindirnya. Selama ini, kata dia,
kedua lembaga itu belum menunjukkan kerja sama maksimal. Warga hanya aktif
di banjar, sementara polisi kelimpungan menjalankan tugas.
Sementara itu, Sulu memprediksikan, tindakan kejahatan di Bali bukan per jam
lagi. ''Saya yakin sudah dalam hitungan menit, bahkan per detik,'' katanya.
Untuk mengatasi berbagai bentuk kejahatan di Bali, dia minta para petugas di
pintu gerbang masuk Pulau Dewata agar lebih serius. Contoh kongkret,
peredaran senjata di Jawa bisa lolos ke Bali. ''Sekarang fungsi keamanan
swakarsa perlu diefektifkan. Selama ini tak jalan,'' ucapnya. Sedangkan
Sudana Kendal menegaskan, langkah menekan kelompok pendatang harus mulai
dari aparat terbawah. ''Kelian dinas jangan hanya terima uang terus.''
Jero Gede dari Tabanan, melihat kondisi Bali sekarang merupakan kelengahan
bersama. Pendatang yang menyerbu Bali dari berbagai golongan, ada yang baik
dan ada yang jahat. ''Mereka tak terdeteksi dan tak tercatat di bawah. Saya
kira, pemerintah lebih baik menyetop perumahan baru,'' katanya.
Mahayadi memberi solusi, masyarakat Bali harus bisa menjadi ''polisi''
sendiri, kalau ingin Pulau Dewata tetap aman. Sementara Sinda menilai,
masyarakat Bali sudah bersikap individualistis. (jep)