[Nasional-m] Mengakhiri Kekerasan Di Aceh

Ambon nasional-m@polarhome.com
Sun, 13 Oct 2002 22:25:00 +0200


Suara Karya

Mengakhiri Kekerasan Di Aceh
Oleh Sudirman HN

Senin, 14 Oktober 2002
Korban-korban masih juga terus berjatuhan di Aceh. Pemerintah Indonesia
lewat Menko Polkam Susilo Bambang Yudhoyono memang telah memberi waktu
kepada pihak Gerakan Aceh Merdeka (GAM) untuk berdialog hingga
November-Desember (bulan Ramadhan) tahun ini. (Suara Karya, 20/8). Namun,
apakah dialog dalam jangka waktu kurang lebih 3-4 bulan itu akan mampu
mengurai masalah konflik di Aceh yang sudah sangat rumit dan kronik?
Apakah pendekatan militeristik memadai untuk menyelesaikan masalah di sana?
Bukankah pengalaman selama ini sudah sangat banyak menunjukkan betapa
pendekatan militeristik justru makin mengentalkan siklus kekerasan (the
cycle of violence) dan ingatan kolektif kekerasan masyarakat di sana?
Siklus kekerasan dan ingatan kolektif kekerasan akan semakin memperdalam
trauma di Aceh. Jacqueline Siapno, peneliti masalah Aceh dari University of
Melbourne, Australia menyatakan, trauma dan ketidakpercayaan sebagian besar
masyarakat Aceh terhadap pemerintah pusat di Jakarta adalah faktor terbesar
yang menghambat penyelesaian masalah di daerah ini. (Beyond
"Centre-Periphery"; Women, Nationalism and Political Violence in Aceh,
2001).
Ironisnya, alih-alih menyembuhkan trauma dan ketidakpercayaan masyarakat
Aceh, Jakarta justru makin bersikukuh pada pendekatan militeristiknya.
Desas-desus pemberlakuan darurat militer di Aceh adalah salah satu contoh
ketidak-pekaan pemerintah terhadap trauma dan ketidakpercayaan masyarakat
itu.
Ketidak-pekaan terhadap trauma yang diala mi masyarakat jelas sangat
berbahaya. Liliyana Deyanova, ahli yang banyak meneliti di daerah-daerah
konflik, menyatakan bahwa ingatan kolektif kekerasan seringkali tidak hanya
berhenti sebagai trauma, melainkan mentranformasikan dirinya menjadi
semangat memperteguh identitas dan perlawanan. (Traumatic Places of
Collective Memory, 1996) . Di sini terjadilah paradoks pendekatan
militeristik. Makin sering tindak kekerasan oleh negara (state violence)
terjadi justru akan makin memperkuat identitas dan perlawanan masyarakat
yang direpresi itu.
Penelitian Jacqualine Siapno menunjukkan betapa dalam dua dekade terakhir
ini konflik di Aceh telah berkembang makin rumit dan memasuki tahap yang
makin kritis. Masalah yang pada mulanya dipicu oleh ketidak-adilan pusat
(centre) thadap daerah (periphery) yang kemudian menjadi praktik kekerasan
oleh negara telah berkembang menjadi politik pertarungan identitas (struggle
of identity). Siapno menambahkan, saat ini sangat banyak bagian dari
masyarakat umum Aceh yang moderat sekalipun, telah bertransformasi menjadi
aktivis-aktivis politik yang radikal. Anak-anak sekolah, mahasiswa, kaum
perempuan, janda-janda yang suaminya menjadi korban kekerasan, semakin
banyak dan aktif melakukan aktivitas politik seperti aksi protes terhadap
pelanggaran hak-hak asasi manusia (HAM), menuntut keadilan bagi para korban,
pemogokan dan sebagainya. Sebagian besar mereka juga makin menunjukkan
dukungannya terhadap referendum dan bahkan kemerdekaan.
Penelitian Siapno menunjukkan pula betapa GAM sebenarnya bukan lagi
satu-satunya aktor utama gerakan perlawanan di Aceh. Apalagi karena GAM
sendiri sebenarnya bukan sebuah gerakan yang monolitik, namun terdiri atas
berbagai faksi yang tidak selalu sejalan.
Saat ini peran organisasi-organisasi masyarakat; organisasi perempuan
seperti Duek Pakat Inong Aceh, organisasi mahasiswa seperti SIRA (Sentra
Informasi Referendum Aceh), FARMIDIA (Forum Aksi Reformasi Mahasiswa Islam
di Aceh), SMIPA (Solidaritas Mahasiswa Islam Peduli Aceh), organisasi
pelajar seperti SPUR (Solidaritas Pelajar untuk Rakyat), hingga LSM-LSM
seperti Walhi Aceh, Kontras Aceh, LBH Banda Aceh, Kelompok Kerja
Transformatif Gender (KKTG), Flower Aceh, Cordova, Yayasan Pembinaan
Masyarakat Desa, Forum Perempuan Aceh, dan LSM-LSM lainnya yang berkedudukan
di Aceh maupun di Jakarta, justru makin penting. Berbeda dengan GAM, mereka
ini memilih jalur perjuangan damai.
Aksi-aksi damai kelompok-kelompok masyarakat sipil ini yang justru membuat
masalah Aceh makin mendapatkan simpati dan dukungan dari masyarakat sipil
dan organisasi-organisasi non pemerintah di luar negeri. Mereka tampaknya
menyadari bahwa dukungan formal dari negara-negara lain sulit diperoleh,
karena Aceh secara internasional diakui sebagai wilayah Indonesia. Namun
mereka dengan lihai memanfaatkan konsekwensi globalisasi saat ini, bahwa
hubungan internasional tak lagi hanya berupa hubungan antar-pemerintah
(government to government), melainkan juga jaringan masyarakat sipil (people
to people).
Makin keras pendekatan militeristik dilakukan oleh pemerintah Indonesia,
makin memberi peluang pada mereka untuk mendapatkan simpati masyarakat sipil
dari berbagai negara. Peran media massa internasional yang memang
menempatkan masalah Aceh sebagai liputan panas, begitu pula jaringan
internasional organisasi-organisasi masyarakat sipil Aceh di atas, membuat
masalah Aceh makin tersorot.
Dalam kondisi seperti itu, pendekatan militeristik seperti itu sangat
mungkin justru menjadi bumerang bagi pemerintah Indonesia. Pemerintah
Indonesia tampaknya belum juga menyadari bahwa militer selama ini lebih
banyak berperan sebagai bagian dari masalah (part of the problem), ketimbang
penyelesai masalah (part of solution) di sana.
Taruhan pendekatan militeristik seperti pemberlakuan darurat militer di Aceh
jelas sangat besar. Tidak ada jaminan darurat militer itu mampu mematahkan
kekuatan GAM. Kalaupun GAM bisa dilumpuhkan, mereka toh seperti telah
diuraikan di atas bukan lagi satu-satunya faktor penting penyelesaian
masalah Aceh. Mematahkan kekuatan GAM tidak menjamin masalah Aceh dengan
sendirinya terselesaikan.
Penyembuhan trauma dan pemulihan kepercayaan masyarakat Aceh-lah yang
seharusnya menjadi agenda utama pemerintah Indonesia. Pemerintah juga
seharusnya makin intensif mendekati masyarakat sipil Aceh yang kini menjadi
aktor-aktor terpenting penyelesaian masalah Aceh.
Pemulihan trauma dan kepercayaan masyarakat Aceh hanya bisa dicapai bila ada
upaya sungguh-sungguh pemerintah melihat akar masalah di daerah itu.
Kemudian mengupayakan keadilan dan kesejahteraan bagi para korban kekerasan
dan masyarakat di sana lewat kompensasi, restitusi dan rehabilitasi.
Komponen utama upaya ini adalah mengadili dan menghukum pelaku-pelaku
pelanggaran HAM di Aceh. Memutuskan rantai impunitas (ketiadaan hukuman)
bagi para pelaku kekerasan ini sangat penting untuk mencegah terjadinya
pengulangan kekerasan (recurrence of violence).
Untuk itu pemerintah seharusnya mempertimbangkan rekomendasi Comission of
Human Rights (Questions of the Impunity of Perpetrators of Human Rights
Violations, Civil and Political, 1997) bahwa tindakan pertama yang harus
dilakukan untuk ke luar dari praktik kekerasan negara itu adalah kesediaan
pihak negara untuk mengakui dan mengingat praktik-praktik kekerasan yang
telah dilakukannya itu (state duty to remember). Kesediaan mengakui dan
kewajiban mengingat itu sekaligus akan sangat berperan mengakhiri siklus
kekerasan yang telah sangat banyak memakan korban itu.
Pengalaman sepuluh tahun pemberlakuan Daerah Operasi Militer (DOM)
menunjukkan bahwa masalah Aceh tidak mungkin bisa diselesaikan dengan
pendekatan militeristik. Makin larut pemerintah Indonesia dalam pendekatan
militeristik, makin terasing dan makin jauhlah masyarakat Aceh dari pelukan
Ibu Pertiwi.
Pemerintah harus bekerja lebih keras mengambil hati dan simpati mayoritas
masyarakat di Aceh. Upaya mengakhiri siklus kekerasan, mengadili para pelaku
pelanggaran HAM, memenuhi rasa keadilan dan hak-hak para korban, yang
kemudian diikuti dengan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat, adalah
kunci-kunci penyelesaian masalah Aceh. ***
(Penulis adalah pemerhati masalah sosial-politik, tinggal di Hawken Drive,
Brisbane, Australia).