[Nasional-m] Mega-Akbar Korupsi MA Rachman

Ambon nasional-m@polarhome.com
Mon, 14 Oct 2002 01:08:48 +0200


Kompas
Senin, 14 Oktober 2002

Mega-Akbar Korupsi MA Rachman
Oleh Denny Indrayana

IRONIS, Jaksa Agung "diduga" korupsi. Indikasi kuat itu dapat disimpulkan
dari kasus tidak dilaporkannya rumah Jaksa Agung MA Rachman di Cinere dan
keberadaan depositonya senilai Rp 800 juta. Indikasi itu langsung dari mulut
Rachman yang saat dilakukan konfirmasi pemeriksaan kekayaannya oleh Komisi
Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) mengatakan, rumah di Cinere
tidak didaftarkan karena sudah dihibahkan kepada anaknya, Chairunnisa.
Uang membeli rumah senilai lebih Rp 1 milyar itu didapat dari sumbangan saat
pernikahan salah seorang anaknya. Sedangkan deposito Rp 800 juta diperoleh
dari hasil memberikan konsultasi hukum kepada pengusaha dari Jawa Timur,
yang Rachman sembunyikan identitasnya.
Excuse me Pak Jaksa Agung, orang awam hukum pun dengan terang benderang
melihat dua jenis aset itu diduga kuat Anda korupsi. Bagaimana mungkin dalam
satu kali pernikahan bisa terkumpul dana senilai rumah yang menakjubkan itu?
Bila benar dana sebesar itu terkumpul dalam suatu resepsi pernikahan, maka
bukankah amat patut diduga bahwa hadiah sedemikian besar diberikan untuk
memperkaya diri Rachman pribadi, karena kekuasaan pejabat negara yang
melekat padanya di saat-saat hadiah itu diberikan?
Fakta lanjutan yang disebutkan Rach-man, rumah Cinere itu diberikan kepada
anaknya-anggaplah termasuk harta yang dilaporkan kepada KPKPN-tidak akan
menghilangkan unsur tindak pidana korupsi yang melekat. Alasannya, definisi
korupsi tidak terbatas memperkaya diri sendiri, namun secara tegas juga
dikatakan memperkaya orang lain? Dengan memberi hadiah rumah kepada
Chairunnisa, Rachman jelas telah memperkaya orang lain yang dalam hal ini
adalah anaknya sendiri. Apalagi, fakta tak terbantahkan membuktikan, rumah
itu tidak dilaporkan ke KPKPN. Artinya, jelas ada bau busuk korupsi yang
berusaha ditutupi. Perlu dicatat, kepada siapa pun rumah itu diberikan
ataupun dijual, uang untuk membelinya tetap berasal dari Rachman (baca: dari
para pemberi hadiah kepada Rachman).
Ihwal "uang ajaib" deposito Rp 800 juta yang dikatakan bersumber dari honor
konsultasi hukum yang tidak berkait dengan perkara, adalah indikasi kesekian
korupsi Rachman. Anggaplah, uang honorarium itu tidak berkait dengan kasus
hukum atau kedudukan Rachman pada masa uang diberikan, undang-undang tentang
kejaksaan jelas-jelas melarang perangkapan jaksa dengan profesi lain
termasuk penasihat hukum. Lalu, mengapa seorang jaksa karier puluhan tahun
yang kemudian menjadi Jaksa Agung berani melanggar larangan hukum yang tegas
itu? Jawabnya, karena Rp 800 juta bisa menambah pundi kekayaan dan itu
korupsi! Belum yakin? Tanyakanlah, mengapa nama pengusaha Jawa Timur itu
begitu misterius, siapakah dia?
Singkatnya, uang hadiah (pernikahan), uang honorarium yang-dalam kasus suap
DPR: uang perkenalan, uang rapat, uang "amplop", uang "hibah"; atau dalam
kasus Akbar Tandjung, uang sembako dan lain-lain-diberikan karena MA Rachman
adalah pejabat negara, yang kini menjadi Jaksa Agung, karena anggota DPR
adalah pejabat negara, dan karena Tandjung (saat kasus Bulog) adalah Menteri
Sekretaris Negara (dan jangan lupa Ketua Umum Partai Golkar). Tanpa
jabatan-jabatan terhormat itu, uang-uang "siluman" tidak akan pernah
mendekat dan mempertebal kekayaan MA Rachman (juga Chairunnisa), anggota
DPR, dan Tandjung.
***
KSAD Jenderal Ryamizard Ryacudu dalam wawancara di SCTV mengatakan,
"Seharusnya saya salah, tidak boleh begitu saja memecat 20 prajurit Linud di
Binjai. Prosedurnya paling cepat perlu enam bulan sebelum saya dapat
memutuskan pemecatan itu." Kala itu, KSAD menanggapi pertanyaan SCTV,
mengapa hanya 20 prajurit yang dipecat, sedangkan prajurit Linud yang
menyerang berjumlah lebih banyak.
Ryamizard tidak salah, ketegasan seperti itu adalah cermin sikap
kepemimpinan. Seorang pemimpin dituntut mengambil pilihan tepat untuk kasus
sulit. Itulah beda pemimpin dengan pemimpi, jiwa leadership. Meski perlu
dicatat pula, ketegasan hukuman ala Ryamizard selalu menimpa prajurit
rendahan, namun tidak pernah menyentuh kulit para Jenderal.
Lalu bagaimana dengan kasus MA Rachman? Presiden Megawati Soekarnoputri
harus menunjukkan jiwa kepemimpinannya. Inilah kesempatan ke sekian bagi
Mega untuk mencanangkan: perang melawan korupsi. Terutama indikasi korupsi
yang dilakukan MA Rachman adalah Mega-Akbar korupsi. Artinya, korupsi Jaksa
Agung yang seharusnya menjadi palang pintu utama pemerintah dalam
memberantas korupsi adalah korupsi yang luar biasa besar, korupsi yang
akbar, bahkan mega-akbar korupsi.
Berbeda dengan kasus Akbar Tandjung yang tidak mempunyai pemimpin formal di
DPR maupun di Partai Golkar, karena justru di keduanya posisi Tandjung
adalah Ketua, MA Rachman ada di bawah kontrol Megawati. Karena itu, meski
secara "pencak silat", Tandjung masih bisa berkelit untuk tidak non-aktif,
tidak demikian halnya dengan Rachman. Megawati sebagai presiden amat
konstitusional, mempunyai hak prerogatif, untuk menon-aktifkan MA Rachman.
Menunggu proses pemeriksaan KPKPN sebelum mengambil keputusan atas nasib
Rachman memang ideal, tetapi waktu yang terlalu lama akan membuka komplikasi
penyimpangan kian melebar. Dalam atmosfer korupsi yang sudah merambah ke
semua sisi kehidupan bernegara, proses di KPKPN-pun harus dilihat dengan
kritis. Beberapa kali penggan-tian anggota tim pemeriksa Rachman, ditambah
pengakuan salah seorang mantan anggota pemeriksa bahwa ada upaya penyogokan
terhadap anggota KPKPN untuk menyelesaikan kasus Rachman, seharusnya menjadi
data penting bagi Megawati untuk mengambil tindakan tegas menon-aktifkan
Rachman.
Lebih lagi, terkesan kuat, arah pemeriksaan KPKPN mulai menyimpang dan tak
tentu arah. Sejauh ini, pemeriksaan KPKPN malah mengejar ke arah yang salah,
yaitu status transaksi jual beli rumah Cinere antara Chairunnisa dan Husein
Tanoto. Seolah bila jual beli itu sah, maupun pemberian hibah Rachman kepada
Chairunnisa sah, maka tidak ada yang salah atas kekayaan Rachman. Padahal,
yang seharusnya menjadi fokus KPKPN adalah dari manakah uang pembelian rumah
Cinere itu diperoleh Jaksa Agung? Artinya, pola pemeriksaan harta korupsi
tidak cukup dengan hanya mengklarifikasi ke mana saja uang dibelanjakan,
tetapi juga harus dicari dari mana uang itu diperoleh.
Dengan demikian, investigasi KPKPN wajib diarahkan pula untuk menjawab aneka
pertanyaan: siapa sajakah dermawan pemberi hadiah pernikahan yang berbuah
pada rumah di Cinere? Siapakah pengusaha misterius yang sedemikian dermawan
menghadiahkan "honorarium konsultasi" Rp 800 juta kepada Rachman? Dengan
demikian, perselingkuhan penguasa dan pengusaha yang sering mempolitisasi
dan mengomersialisasi hukum dapat diketahui.

Melihat pola kerja KPKPN yang belum jelas arahnya itu,
Megawati berpacu dengan waktu. Setiap detik Rachman di kantornya-Kejaksaan
Agung-adalah waktu-waktu krusial bagi hidup-matinya pemberantasan korupsi di
Tanah Air. Makin lama seorang yang berpotensi korupsi seperti Rachman
berposisi sebagai Jaksa Agung, spirit against the corruption kian mendekati
kematian. Megawati tidak cukup menyandarkan diri atas kesadaran dan hati
nurani Rachman. Karena, hati nurani hanya dapat dikedepankan-dalam kasus
Rachman-bila yang bersangkutan masih memilikinya.

Jika tidak, Megawati tidak boleh segan-segan mengambil tindakan
penon-aktifan. Megawati pernah bersikap tepat saat menon-aktifkan majelis
hakim kasus pailit Manulife yang diduga menerima suap. Penon-aktifan yang
dilakukan sebelum selesainya proses pemeriksaan formal itu memang membuka
kemungkinan gugatan hukum tata usaha negara, serta kemungkinan dilakukan
karena adanya desakan Pemerintah Kanada. Tetapi, bagaimanapun,
tindakan-tindakan yang lebih bersandar pada materi-substansi pemberantasan
mafia peradilan dan judicial corruption lebih patut di-kedepankan daripada
pertimbangan formal-prosedural. Ingat, hukum mengenal asas: kepastian hukum
yang terlalu mengedepan justru akan mengkhianati keadilan.

Preseden majelis hakim Manulife-dan prajurit Linud-itulah yang seharusnya
diterapkan dalam kasus MA Rachman. Bahkan, seorang Jaksa Agung yang
terindikasi korupsi, wajib diberi tindakan lebih tegas dari sekadar
penon-aktifan. Jika prajurit rendahan dalam kasus Binjai dipecat, hukuman
bagi Rachman harus lebih berat. Jangan lagi terulang pendiskriminasian
kebijakan hukum yang selalu kejam kepada masyarakat tetapi bungkam para
penjahat bertopeng pejabat.
DENNY INDRAYANA Dewan Etik Indonesian Court Monitoring
Search :