[Nasional-m] Suap di Pusat, Suap di Daerah

Ambon nasional-m@polarhome.com
Tue, 15 Oct 2002 06:17:37 +0200


Media Indonesai
Selasa, 15 Oktober 2002

Parliament Watch
Suap di Pusat, Suap di Daerah


PERTANYAAN sinis kadang kala dilontarkan terhadap kasus korupsi yang terjadi
di Indonesia. ''Apa yang mempersatukan kita dari Sabang sampai Marauke.
Jawaban yang sinis menyatakan bahwa Indonesia dari barat sampai timur
disatukan oleh korupsi.'' Mungkin suatu ungkapan yang terdengar main-main
tetapi bisa dirasakan kebenarannya, bahwa praktik korupsi menjadi tali
pemersatu Indonesia bahkan korupsi sudah menjelma menjadi ideologi nasional
yang kita patuhi melampaui Pancasila. Di DPR isu korupsi terus semarak
bahkan isu korupsi juga tak kalah semaraknya terjadi di DPRD. Sementara
aparat hukum dari polisi, hakim, hingga jaksa juga terkena isu korupsi yang
sama. ''Dalam kondisi ini bagaimana mungkin kita dapat menghasilkan DPR dan
DPRD yang bersih,'' tutur Denny JA, saat membuka diskusi interaktif
Parliament Watch, Kamis pekan lalu.
Tampil sebagai pembicara dalam diskusi tersebut Wakil Ketua Komisi II DPR
yang juga anggota F-PG Ferry Mursyidan Baldan, Ketua Partai Demokrasi
Kebangsaan Ryaas Rasyid, Wakil Ketua DPRD Yogyakarta Nur Ahmad Affandi,
serta pakar politik Affan Gafar.
Belum tuntas kita menyelesaikan kasus Ketua DPR, kemudian isu suap anggota
DPR oleh BPPN, kini Jaksa Agung telah pula menjadi tertuduh. Belum puas kita
gali kasus Jaksa Agung aneka korupsi di daerah merebak. Hebatnya, kasus suap
yang melanda DPR dan DPRD sangatlah rumit. Ambillah isu kasus suap di
Yogyakarta, sejumlah anggota DPRD Yogyakarta meminta dana kepada kontraktor
PT Adikarya dalam hubunganya dengan pembangunan gedung Yogya Expo Center
sekitar Rp42 miliar. Agar pembayaran ke PT itu lancar sebagian anggota DPR
itu meminta uang pelicin. Pemilihan gubernur dan wakil gubernur juga tercium
berbau tak sedap. Di Jakarta Sutiyoso terpilih kembali, namun diributkan
dengan kasus money politics. Sementara di Yogyakarta isu sogokan Rp1 miliar
mewarnai pemilihan wakil gubernur.
Berdasarkan survei Kompas 6 Oktober 2002, 72% reponden menilai korupsi di DP
R semakin parah. ''Apakah Anda punya pandangan yang sama, bahwa korupsi
semakin parah di DPR?'' tanya Denny kepada Ferry Mursyidan.
Menjawab pertanyaan itu, Ferry mengatakan, bahwa anggapan tersebut tidak
benar. Sanggahan itu bukan sekadar apologi, karena --menurut Ferry--
tudingan korupsi kepada DPR lebih kental nuansa politiknya. Selain itu,
sebagian besar anggota Dewan sependapat untuk menuntaskannya. Dia berharap
agar masalah tersebut tidak dipelihara menjadi sebuah citra negatif terhadap
politikus. Oleh karena itu, ia mendorong agar kasus tuduhan korupsi
secepatnya diselesaikan.
Menurut Ferry, satu hal yang paling pokok bahwa DPR merupakan lembaga
politik dengan kewenangan-kewenangan sangat luar biasa. Sehingga orang
dengan mudah meruntut kepada kewenangan-kewenangan itu, yang kemudian
katakanlah bisa 'diperdagangkan'. ''Tapi, kesungguhan kita justru untuk
menegakkan citra ini,'' tutur Ferry.
Ferry menambahkan, bahwa sebuah laporan resmi harus masuk ke mekanisme
dalam, jangan lalu disampaikan keluar. Ketika hal ini terjadi, DPR sudah
memiliki mekanisme untuk menyelesaikannya, sementara semua politikus dari
semua partai memunyai komitmen yang sama.
Mengenai Dewan Kehormatan, yang hingga kini Dewan belum pernah
menggunakannya, menurut Ferry setiap kasus yang diberitakan harus dilihat
validitasnya agar tidak mengembangkan sebuah fitnah di DPR. Namun, DPR
memberikan kesempatan kepada orang yang ingin menyampaikan data agar
diproses melalui Dewan Kehormatan. Akan tetapi, apabila tidak ada pembuktian
secara riil, maka nantinya yang berkembang adalah politisasi dari kasus itu.
Sebagai pembicara kedua, Ryaas Rasyid mengatakan bahwa isu suap dan korupsi
di DPR tidak murni politisasi, karena pasti ada faktanya. Sikap defensif
yang ditunjukkan Ferry memang terjadi pada semua korps, tetapi apabila
ditanyakan kepada Ferry dengan pertanyaan yang berbeda, maka jawaban akan
lain. Kalaupun itu dikatakan sebagai rumor, hanya karena kasus itu belum
pernah dibuktikan secara tuntas.
''Departemen-departemen kementerian yang akan mengegolkan anggarannya tidak
dia peroleh dengan cuma-cuma. Daerah-daerah yang dimekarkan tidak
memperolehnya dengan cuma-cuma. Semua lobi ke DPR,'' ujar Ryaas Rasyid.
Menurut Ryaas, ada dua kekurangan, pertama proses perekrutan pada Pemilu
1999 'agak terburu-buru'. Baru saja Pak Harto lengser, baru saja pergantian
rezim, sudah tidak sabar lagi untuk melakukan pemilu. Jadi, sangat bisa
dipahami jika ada orang-orang yang tidak pantas menjadi anggota DPR karena
seleksi tidak ketat. Kedua, sampai saat ini kita tidak punya undang-undang
etika pemerintahan yang bisa mengkover seluruh tingkah laku yang menyimpang
dari mereka yang berada pada tiga tingkatan kekuasaan, yudikatif,
legislatif, dan eksekutif. Yaitu undang-undang etika yang bisa mengatur
sampai DPR, termasuk soal penerimaan hadiah.
Sudah empat tahun reformasi bergulir, tetapi Indonesia belum memiliki
undang-undang etika pemerintahan. Padahal, hal itu sudah dikembangkan Ryaas
sejak 1994. Kemudian ketika Ryaas menjadi Menpan sempat dibicarakan lagi,
tetapi belum sempat memprakarsainya karena hanya beberapa bulan saja menjadi
Menpan.
Kendati setiap tahun DPR itu menghasilkan begitu banyak undang-undang, tidak
ada satu pun mengungkit masalah ini, hal itu hanya bisa dijawab oleh diri
mereka sendiri. Oleh karena itu, perlu adanya jiwa besar dan ketulusan untuk
menghasilkan sebuah undang-undang. Kemungkinan hal ini disebabkan karena
belum adanya keberanian.
Sebagai solusi ke depan, sistem pemilu harus diubah, sehingga dengan
ketentuan itu maka seleksi calon anggota DPR bisa lebih ketat agar lebih
bertanggung jawab kepada konstituen. ''Seorang anggota DPR harus takut
kepada rakyat yang memilih dia,'' ungkap Ryaas. Selain itu, menurut Ryaas
mutlak dibutuhkan sebuah perangkat undang-undang etika pemerintahan untuk
sebuah pemerintahan yang modern dan beradab.
Ferry Mursyidan mengatakakan, bahwa rancangan undang-undang yang dikemukakan
Ryaas tersebut sudah pernah dilontarkan pada 2000, serta ada pula gagasan
DPR untuk membuat undang-undang itu dan undang-undang kepresidenan. Bahkan,
undang-undang kepresidenan draf RUU-nya sudah pernah diberikan ke DPR.
Menurut Ferry, undang-undang itu memang perlu disiapkan secepatnya sebagai
langkah preventif. Prsoalannya adalah bagaimana agar masyarakat diberi ruang
yang cukup dan memadai untuk melakukan kontrol kepada DPR.
Kepada Nur Affandi sebagai pembicara ketiga, Denny mempertanyakan
klarifikasi atas isu suap yang melanda 25 anggota DPRD, kabarnya saat ini
tengah diperiksa pihak kepolisian.
Menurut Affandi, pemeriksaan sudah dilakukan pihak kejaksaan, dan ada
anggota Dewan yang menyampaikan kepada dirinya selaku pimpinan tentang
hadiah yang diberikan kepada anggota Dewan. ''Karena Dewan menangani hal-hal
yang bersifat formal, terutama saya selaku wakil ketua di bidang anggaran.
Karena tidak jelas sumbernya dari mana, dan untuk kepentingan apa, maka saya
sarankan untuk dikembalikan,'' tutur Nur Affandi.
Pembicara keempat, Affan Gaffar mengatakan, bahwa perlu ada klarifikasi,
pertama bahwa uang yang diisukan dikembalikan setelah masalah suap itu
diketahui publik. Persoalannya, itu dikembalikan setelah menjadi berita
besar baik di tingkat lokal maupun nasional. ''Tetapi, kalau tidak diketahui
publik masuk kantong sendiri. Ini sudah merasuk dalam aspek kehidupan
kita,'' ungkap Gaffar.
Lebih lanjut dia menjelaskan, bahwa merebaknya isu korupsi belakangan ini
tidak ada hubungan secara otomatis dengan perkembangan otonomi daerah.
Sebab, korupsi itu berlaku kapan pun, di mana pun. Bahkan di DPR, konsep
hubungan antara mitra kerja dan komisi juga tidak jelas untuk menjamin itu.
Oleh karenanya, tidak ada yang bisa terlepas dari bagaimana anggota DPR
'mengambil keuntungan' memanfaatkan mitra kerjanya.*** (Rasyid R Sulaiman/
A-1)
Saksikan acara Parliament Watch setiap Kamis pukul 21.05 WIB. Hanya di Metro
TV e-mail: parliament.w@metrotvnews.com