[Nasional-m] Menafsir Arah Terorisme di Indonesia

Ambon nasional-m@polarhome.com
Wed, 16 Oct 2002 00:45:32 +0200


Media Indonesia
Rabu, 16 Oktober 2002

Menafsir Arah Terorisme di Indonesia
Jeffrie Geovanie Pemerhati masalah sosial-politik


LEDAKAN bom dahsyat di Jalan Legian, Kuta (Bali), yang menewaskan lebih dari
180 orang, pada Sabtu (12/10) malam menggiring banyak pihak semakin
bertanya-tanya, sebenarnya ke mana arah terorisme yang dikembangkan di Tanah
Air ini? Pertanyaan ini menjadi sangat relevan dalam upaya menyingkap dalang
tragedi kemanusiaan itu.
Tentu tidaklah mudah untuk melakukan penyingkapan itu. Namun demikian,
banyak pihak mulai berspekulasi. Pertama, ledakan itu merupakan skenario
membangun konflik antarmasyarakat beragama, minimal, antara Hindu Bali
versus muslim. Di balik skenario konfliktual ini, setidaknya ada satu target
yang dibidik, yaitu pemerintah memunyai legitimasi untuk menghantam siapa
dan di mana pun yang mengimplementasikan nilai-nilai keagamaan secara
ekstrem. Sejalan dengan karakter Hindu Bali tidak seperti itu, maka arahnya
lebih kuat ke muslim garis keras sebagai komunitas yang harus dimusnahkan.
Arah skenario itu relatif menggambarkan adanya konspirasi dengan pihak asing
yang memang menghendaki penindakan terhadap komunitas muslim garis keras
karena dituding sebagai biang keladi terorisme. Jika konspirasi ini memang
realitas politik, kita semakin memahami bahwa pemerintah kita terbuai dengan
sejumlah fasilitas yang selalu ditawarkan pemerintah Amerika dalam kerangka
mengajak sejumlah negara lain untuk mendukung kepentingan nasionalnya di
tengah publik dunia. Itulah sikap politik Indonesia yang mencoba memahami
politik luar negeri AS yang sering kita dengar dengan istilah carrot and
stick.
Bagi muslim beraliran garis keras ataupun moderat, arah skenario itu sangat
merugikan citra agama yang dianutnya, di samping hak asasi individu setiap
muslim. Karena itu, seperti kita saksikan reaksi bersama para aktivis muslim
seperti dari Hisbuttahrir dan Partai Keadilan memandang perlu untuk
meluruskan tudingan yang sarat dengan fitnah itu. Bisa jadi, terutama
kalangan lain, menilai bahwa reaksi muslim itu subjektif dan pembelaan diri.
Namun, seperti yang disampaikan Sholahudin Wahid dan pengamat militer Juanda
yang disiarkan Metro TV baru-baru ini, menegaskan bahwa komunitas muslim di
Tanah Air tidak punya kemampuan untuk menciptakan bom berdaya ledak
sedahsyat itu, di samping kalkulasi strategisnya. Kemampuan yang sangat
profesional itu hanya ada dalam jajaran tentara. Karena itulah, Hamzah Haz
langsung menuding Menko Polkam dan BIN sebagai pihak yang harus bertanggung
jawab.
Sikap Hamzah bisa jadi ditafsirkan sebagai sikap politiknya yang memang
berusaha mencari dukungan publik muslim garis keras yang dalam perspektif
pemilu mendatang menjadi target konstituennya. Tidak terlalu keliru
penilaian itu. Namun, jika kita koreksi ke belakang atas aksi-aksi teror
sejak Soeharto lengser, bisa dikatakan bahwa aparat keamanan dan badan
intelijen selalu gagal dalam mengungkap tragedi itu. Apalagi menjaga agar
tidak sampai terjadi peristiwa tragis itu.
Kegagalan itu mengundang kecurigaan apakah memang tidak mampu menguak dan
mencegahnya, atau di antara mereka memang menjadi aktor? Jika kita review
profesionalitas mereka, terdapat kesimpulan yang boleh jadi terlalu
simpelistis, yaitu sebagai spekulasi kedua para profesional bersenjata
memang itulah para aktornya. Dengan kesimpulan ini, kita dapat memproyeksi
bahwa aksi-aksi teroristik yang sudah terjadi tak akan mungkin berhasil
disingkap, sekalipun pihak kepolisian bahkan presiden sendiri mengetahuinya.
Mengapa hal itu harus terjadi? Jawabannya tak lepas dari kepentingan politik
praktis. Para elitis tentara berusaha meyakinkan publik sipil bahwa kalangan
sipil tak akan pernah becus dalam memimpin bangsa dan negara. Selama sipil
berkuasa, masyarakat domestik bahkan internasional disuguhi resistensi dan
akselarasi konflik di berbagai titik. Dari realitas ini publik sipil
khususnya dibangun kesadarannya bahwa goncangan keamanan senantiasa terjadi
selagi sipil masih tetap berkuasa.
Yang menarik untuk kita telaah lebih jauh adalah profesionalisasi TNI dan
kepolisian sebagaimana yang diamanatkan amendemen UUD 45 lalu. Kebijakan
'barakisasi' dapat diterjemahkan sebagai amputasi politik TNI. Kebijakan
ini, di satu sisi mengedepankan kepentingan sipil dalam panggung kekuasaan.
Di sisi lain memusnahkan idealitas politik praktis yang tentu sarat dengan
kepentingan sempit ekonomi pribadi dan korpsnya. Berangkat dari format
politik seperti ini, maka rekayasa teroristik akan senantiasa terjadi.
Pemerintahan sipil mendatang sekalipun tokohnya terkategori punya sikap
tegas dan kuat pendirian, bersih, dan cerdas tetap tak akan lepas dari
pembangunan citra destruktif akibat akumulasi sejumlah tindakan teroristik.
***
Kini, sebuah urgensi yang perlu dibangun, terutama masyarakat yang sangat
trauma atas pemerintahan militer, adalah publik perlu memahami setting
konflik yang dirancang mereka, dalam bentuk teror sporadis atau konflik
resistensif. Dari pemahaman ini, publik tak perlu tergiring opininya atas
upaya destruksi citra pemerintahan sipil, terutama untuk
pemerintahan-pemerintahan mendatang. Dari pemahaman itu pula publik perlu
menekan pemerintah agar mengeluarkan instruksi: aparat keamanan--dari
lembaga apa pun--harus bertanggung jawab. Kita perlu menggarisbawahi dan itu
tampaknya satu-satunya syarat bahwa pemerintah harus berani bersikap tegas
kepada lembaga keamanan jika ia terlepas dari jasa baik sejumlah elite
bersenjata. Di sinilah urgensinya, kita perlu membangun kesepemahaman
bagaimana menyokong calon pemimpin nasional yang tak terkontaminasi oleh
pengaruh tentara.
Tentu, tidaklah mudah untuk mencari sosok pemimpin yang sedikit
'berkomunikasi' dengan elitis tentara. Namun demikian, jika calon pemimpin
ini terpaksa tetap menggandeng tokoh berunsur tentara, potret tentara ini
haruslah bukan sosok yang brutus (pengkhianat), terhadap kinerja
pemerintahan ataupun seluruh rakyatnya. Dalam dirinya perlu dipatri
nasionalisme yang lebih mengedepankan kepentingan nasional tanpa membedakan
korps atau faktor lain.
Akhirnya, dari ledakan bom di Kuta (Bali) ini, di samping sejumlah aksi
teroristik lainnya, kita semakin melihat arah terorisme di Indonesia ini.
Yang jauh lebih krusial di balik temuan arah terorisme adalah kesadaran
publik untuk secara bersama-sama terbangun kesadarannya mem-back-up langkah
kandidat sipil. Meski demikian, publik juga perlu melihat dengan cerdas,
manakah potret pemimpin yang punya harapan baru, dan manakah yang sekadar
tampil berkuasa tanpa dilandasi sejumlah keunggulan komparatif. Sikap kritis
itu menjadi sangat krusial sejalan dengan realitas kondisi nasional yang
dalam posisi destruktif dan degradatif. Tampaknya, inilah sikap konstruktif
di balik pembacaan kita atas arah terorisme yang sedang dikembangkan di
Tanah Air ini.***