[Nasional-m] Perlindungan Sosial bagi TKI

Ambon nasional-m@polarhome.com
Wed, 16 Oct 2002 01:07:21 +0200


SUARA PEMBARUAN DAILY

Perlindungan Sosial bagi TKI
Oleh Moch Mashuri

engusiran, perlakuan kasar, perkosaan, bahkan penyiksaan fisik yang menimpa
sebagian tenaga kerja Indoensia (TKI) di luar negeri, khususnya di Malaysia,
belakangan ini memprihatinklan semua pihak. Bukan saja bagi keluarga TKI itu
sendiri tetapi juga bagi kita sebagai bangsa. Sebab itu, perlu ada tindakan
konkret dari pemerintah untuk lebih berperan dalam melindungi nasib TKI.
Namun permasalahannya bukan berhenti sampai di situ; masih banyak kasus lain
yang menimpa tenaga kerja Indonesia di beberapa negara. Berbagai simpati
baik dari masyarakat Indonesia sendiri, lembaga swadaya masyarakat (LSM),
dan pers terus mengalir. Bahkan pemerintah Indonesia secara terbuka telah
menyatakan akan membela dan melindungi TKI hingga ke pengadilan. Namun,
untuk mencari penyelesaian yang benar-benar menguntungkan seorang TKI
bukanlah soal mudah.
Kita yakin bahwa menyangkut peristiwa penganiayaan terhadap para TKI di luar
negeri, harus diakui belum berhasil dirumuskan suatu mekanisme yang pasti
untuk menjamin dan melindungi hak-hak para TKI itu secara nyata.
Perlindungan Sosial
Kalau sekadar berbicara tentang hukum di atas kertas, telah ada
undang-undang maupun pasal-pasal yang memberikan jaminan sosial bagi para
pekerja termasuk tenaga kerja Indonesia. Dalam UU No 3/1992, misalnya,
disebutkan bahwa pekerja berhak memperoleh perlindungan dan jaminan dalam
bentuk santunan, berupa uang sebagai pengganti sebagian penghasilan yang
hilang atau berkurang, dan pelayanan sebagai akibat dari peristiwa atau
keadaan yang dialami oleh tenaga kerja, seperti kecelakaan kerja, sakit,
hamil, bersalin, hari tua, dan meninggal dunia.
Ruang lingkup jaminan sosial tenaga kerja menurut UU di atas meliputi
jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan hari tua, dan jaminan
pemeliharaan kesehatan. Pada tingkat operasional, jaminan sosial tenaga
kerja diberikan dalam bentuk asuransi tenaga kerja.
Persoalan sekarang, meski di atas kertas para pekerja telah diberi jaminan
hukum untuk memperoleh perlindungan sosial, namun sejauh mana UU itu
benar-benar diterapkan dalam praktek? Secara formal, kita tahu bahwa
asuransi tenaga kerja misalnya, hanya diberikan kepada buruh yang berstatus
tetap. Jadi untuk tenaga kerja Indonesia yang sebagian besar berstatus
"ilegal" tentu sulit bagi mereka untuk memperoleh perlindungan sosial
seperti yang ditetapkan dalam undang-undang. Bagaimana mungkin para tenaga
kerja Indonesia dapat memperoleh jaminan sosial secara pasti, jika sejak
awal mereka terpaksa sudah menjauhi persentuhan dengan keruwetan birokrasi
dan senantiasa hidup di bawah ancaman deportasi dari pemerintah tempat
mereka bekerja?
Implementasi Mandul
Secara objektif, jangankan di tingkat internasional, di tanah air sendiri
saja menurut banyak studi, implementasi UU No 3/1992 di atas acapkali
mandul. Beberapa studi yang dilakukan menemukan bahwa baik di program paket
penuh maupun program setengah paket, tidak didapatkan buruh agroindustri.
Sementara itu, studi yang dilakukan di lingkungan industri pakaian jadi
tekstil, menemukan bahwa para pekerja wanita acap kali tidak memperoleh
jaminan dan fasilitas sosial yang memadai. THR misalnya tidak pernah
didapatkan. Hadiah Lebaran yang biasanya berupa sepotong kain atau kue lebih
dianggap sebagai kemurahan hati majikan. Saat tak kerja karena melahirkan,
haid, atau sakit, praktis berhenti pula penerimaan upah, pemeriksaan
kesehatan, tunjangan sakit dan asuransi tenaga kerja praktis belum
menjangkau wanita pekerja rumahan.
Bahkan yang lebih memperihatinkan, acapkali terjadi para buruh wanita
terpaksa dipotong upahnya bila terjadi risiko produk rusak selama proses
produksi, misalnya kain yang terlihat bersama bordiran. Bagi pengusaha
sendiri, cara pemotongan upah itu efektif dan efisien untuk mengontrol
kualitas produk akibat tiadanya supervisi selama proses produksi
berlangsung.
Kesulitan untuk membela para TKI-TKW yang bermasalah seperti kasus tenaga
kerja Indonesia di Malaysia dan TKI di negara-negara lainnya, umumnya bukan
cuma karena secara struktural posisi mereka rentan, tetapi juga secara hukum
perlindungan sosial bagi tenaga kerja Indonesia di luar negeri, belum
mendapat perhatian serius.
Menurut Nursyahbani Katjasungkana, Direktur LBH Asosiasi Perempuan Indonesia
untuk Keadilan (APIK), selama ini dalam memorandum of understanding (MoU)
antara Indonesia dengan tiap negara untuk mengirim dan menerima Tenaga Kerja
Indonesia/wanita tidak tercantum soal perlindungan dan penyelesaian konflik.
Jadi tanpa acuan yang pasti untuk menyelesaikan soal ini, bisa dipahami jika
penyelesaian kasus-kasus yang dialami tenga kerja Indonesia acapkali parsial
dan tidak secara penuh mempertimbangkan hak-hak asasi para TKI itu.
Perlakuan buruk terhadap para TKI di luar negeri dan di berbagai bidang
pekerjaan, sesungguhnya bukan sekadar mencerminkan lemahnya posisi tawar
tenaga kerja Indonesia di hadapan majikan atau pemilik modal. Tetapi lebih
dari itu, kasus itu juga mencerminkan bagaimana lemahnya posisi tenaga kerja
Indonesia dalam konteks masyarakat dan proses pembangunan secara
keseluruhan.
Cukup banyak penelitian yang menunjukkan bahwa dalam proses pembangunan yang
berlangsung, para tenaga kerja Indonesia bukannya diuntungkan, melainkan
kerap kali justru dirugikan, baik secara ekonomi maupun sosial. Mereka
senantiasa terperangkap dalam proses yang cenderung memarjinalisasi,
mengkooptasi, dan mengeksploitasi mereka.
Mengapa para TKI/TKW yang sebenarnya masih termasuk anak-anak dengan usia 15
tahun harus memberanikan diri pergi keluar negeri untuk mencari penghasilan?
Mengapa para tenaga kerja Indonesia harus senantiasa bersedia diperlakukan
semena-mena dan dirugikan secara ekonomi maupun psikologis oleh pihak-pihak
tertentu? Mengapa para tenaga Indonesia harus bersedia diberi upah murah?
Daftar pertanyaan itu sudah tentu masih bisa diperpanjang lagi sejauh kita
inginkan. Tetapi, apa pun pertanyaan yang kita ajukan, yang jelas semuanya
selalu bernada menggugat ketimpangan gender dan kotradiksi yang terjadi
dalam proses pembangunan yang merugikan posisi Tenaga Kerja Indonesia (TKI)
dan kaum wanita secara keseluruhan.
Kasus-kasus yang menimpa TKI-TKW diakui atau tidak menunjukkan bahwa di
berbagai negara, persoalan perlindungan sosial bagi tenaga kerja Indonesia
masih mengandung sejumlah masalah, bahkan boleh dikatakan belum ada
perlindungan. Untuk mendukung dan memberikan kepastian jaminan perlindungan
sosial bagi tenaga kerja Indonesia - di dalam maupun di luar negeri - tentu
dibutuhkan komitmen yang benar-benar serius dan bahkan sejumlah intervensi
yang nyata.
Prakondisi
Untuk mengeliminasi kemungkinan timbulnya berbagai perlakuan buruk dan
memberikan perlindungan sosial yang nyata bagi para tenaga kerja Indonesia,
memang tidak mudah namun harus tetap ada upaya untuk mewujudkannya.
Dari segi hukum, sebagian langkah pemerintah yang bersikap dan bersiap sedia
membela para tenaga kerja Indonesia yang bermasalah dengan majikan mereka
hingga di pengadilan, sudah tepat. Di luar itu, dibutuhkan langkah-langkah
yang sifatnya lebih substansial, bukan semata-mata kuratif, melainkan lebih
berorientasi kepada upaya pemberdayaan para tenaga kerja indonesia secara
keseluruhan.
Menurut beberapa hasil studi, sekurang-kurangnya dibutuhkan tiga prasyarat
pokok, yakni prakondisi sosial, prakondisi hukum, dan prakondisi ekonomi
bagi para TKI agar mereka dapat lebih berdaya dan resisten terhadap
tekanan-tekanan sosial, ekonomi yang sifatnya struktural.
Pertama, perbaikan prakondisi sosial, paling tidak menyangkut dua hal, yaitu
peningkatan kesadaran gender di kalangan TKI/TKW sendiri, dan menciptakan
lingkungan sosial yang mendukung pengembangan dan aktualiasai para TKI agar
dapat mengembangkan kemampuan yang dimilikinya secara maksimal. Tanpa
sensitivitas terhadap bias-bias gender, para TKI/TKW tidak akan peka
terhadap perlakuan-perlakuan yang merugikan dirinya sendiri.
Kedua, prakondisi hukum yakni upaya menciptakan iklim pembangunan hukum yang
bertujuan untuk meningkatkan kesadaran para tenaga kerja Indonesia atas hak
dan kewajiban mereka, baik dalam kehidupan sosial maupun kehidupan ekonomi
di tempat kerja. Untuk meningkatkan kesadaran hukum tenaga kerja, pemantauan
terhadap kondisi dan fasilitas sosial-ekonomi oleh pemerintah, penyuluhan
hukum oleh berbagai lembaga formal maupun kelompok informal pada para TKI,
dan advokasi oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) terhadap berbagai bentuk
pelanggaran hak-hak para TKI.
Ketiga, prakondisi ekonomi adalah upaya untuk mempersiapkan penyangga dan
aset para TKI yang dapat dijadikan modal mereka untuk meningkatkan posisi
ekonomi dan mengembangkan kegiatan produktifnya. Di samping memberikan
bantuan modal bagi usaha para TKI yang berbunga rendah dan fleksibel, juga
perlu dilakukan peningkatan dan penambahan keragaman kemampuan TKI untuk
melakukan diversifikasi usaha agar mereka tak berkutat hanya menekuni satu
sektor saja, melainkan dapt berkembang dan memiliki beberapa sumber
penghasilan yang potensial.
Sejauh mana rincian dari usaha menerjemahkan tiga prokondisi di atas, sudah
tentu harus disesuaikan dengan kebutuhan dan konteks lingkungan sosial di
mana para tenaga kerja Indonesia tinggal. Yang jelas, tanpa didukung oleh
tiga prakondisi di atas, nasib para TKI tidak akan benar-benar dapat
dilindungi dan diperbaiki. Perlindungan dari segi hukum untuk sebagian
memang penting, tapi juga pemberdayaan kemampuan tawar-menawar mereka. Kalau
tidak, kisah-kisah memilukan seperti dialami para TKI itu akan terulang
kembali.
Penulis adalah aktivis Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia PT Guna Era
Manufaktura Lippo Cikarang - Bekasi, Jawa Barat.


Last modified: 15/10/2002