[Nasional-m] Kemelut Investasi Asing Pascatragedi Bali

Ambon nasional-m@polarhome.com
Fri, 18 Oct 2002 00:16:02 +0200


SUARA PEMBARUAN DAILY

Kemelut Investasi Asing Pascatragedi Bali
Oleh Padang Wicaksono

Beberapa waktu yang lalu, berita mengenai hengkangnya sejumlah investor
asing berikut dampak negatifnya terhadap pemulihan ekonomi menghiasi
headline surat kabar Tanah Air. Belum lepas berbagai kesulitan ekonomi
mendera bangsa ini, tiba-tiba kita dikejutkan kembali dengan ledakan bom
dalam skala massif yang menewaskan ratusan orang. Tak pelak lagi Tragedi
Bali tersebut semakin memperburuk citra Indonesia di mata dunia
internasional.

Serupa dengan utang luar negeri, kehadiran investasi asing di bumi pertiwi
tak pernah surut dari pro-kontra. Bagi yang pro, kehadiran investasi asing
dipandang sebagai engine of growth. Sementara bagi yang anti, kehadiran
investasi asing dipandang tak lebih dari dominasi kekuatan modal asing dalam
perekonomian nasional dan proses marginalisasi kekuatan ekonomi domestik.
Dua-duanya mungkin mempunyai argumen yang sama kuatnya, namun benarkah
investasi asing merupakan jalan paling ampuh untuk mengatasi kemelut ekonomi
nasional?

Dalam literatur standar ilmu ekonomi, pembangunan (development) dengan
bertumpu pada pertumbuhan(growth) dipercaya sebagai jalan menuju proses
akumulasi kapital. Selanjutnya, akumulasi kapital tersebut akan meningkatkan
kekayaan suatu negara (wealth of nation). Dalam perekonomian yang terbuka
sumber pem- biayaan pembangunan tidak melulu tergantung pada faktor
domestik/internal, seperti tabungan domestik, namun bisa diperoleh melalui
faktor luar negeri/eksternal seperti pinjaman luar negeri dan investasi
langsung asing (foreign direct investment).

Dalam hal utang luar negeri, Indonesia tercatat sebagai salah satu negara
pengutang terbesar di dunia( nomor 4 setelah Brasil, Argentina, dan
Meksiko). Krisis utang luar negeri Indonesia mencapai puncaknya ketika
krisis mata uang melanda Asia pada 1997 dan sesudahnya. Sebagai catatan, di
awal 2000 total utang luar negeri Indonesia (pemerintah dan swasta) mencapai
US$ 144 miliar kira-kira hampir menyamai PDB Indonesia sebesar US$ 160
miliar (Winters, 2000).

Dengan tumbangnya perbankan Indonesia dan upaya menyelamatkan dunia
perbankan dari kehancuran yang lebih dalam maka beban utang swasta sebagian
besar diambil alih oleh pemerintah demi program restrukturisasi perbankan
yang rumit dan dengan biaya yang makin menggelembung hingga diperkirakan
mencapai sekitar Rp 650 triliun. Dalam waktu 2,5 tahun mulai dari krisis
mata uang 1997 hingga awal 2000, beban utang luar negeri yang ditanggung
oleh pemerintah melonjak tajam sebesar US$ 81 miliar menjadi US$ 134 miliar.

Dalam RAPBN 2002, biaya belanja pemerintah telah tersedot untuk pembayaran
utang. Telah terjadi net transfer negative (cicilan pembayaran pokok dan
bunga utang jauh lebih besar dari pinjaman baru) sebesar Rp 86,4731 triliun
sementara pengeluaran untuk pembangunan jauh lebih kecil, yakni Rp 47,1471
triliun.

Melihat rumitnya permasalahan yang dihadapi oleh pemerintah dalam era
reformasi ini, maka kemampuan untuk membayar kembali utang tersebut cukup
diragukan apalagi kebutuhan akan pembiayaan pembangunan terus meningkat. Tak
berlebihan bila pemerintah sangat berkepentingan terhadap eksistensi
penanaman modal asing sebagai alternatif pembiayaan demi menyelamatkan
kehancuran ekonomi yang lebih parah dan menanggulangi pengangguran massal.

Dilema
Tak dapat dipungkiri bahwa perkembangan investasi asing langsung (FDI) di
negara berkembang (termasuk Indonesia) cukup pesat. Sebagai catatan,
investasi asing oleh perusahaan multinasional di negara berkembang meningkat
pesat dari US$ 13 miliar (1981) menjadi US$ 25 miliar (1991) (Thirlwall,
1994:hal. 328). Nilai investasi ini meliputi transfer dana, modal fisik,
teknik produksi, managerial, marketing expertise, biaya promosi, dan
pelatihan bisnis.

Meski membawa arus modal yang sangat besar, kehadiran investasi asing tidak
serta-merta mengatasi problema pembangunan. Mengapa demikian? Pertama,
aktivitas investasi asing di Indonesia sebagian besar tak terlepas dari
motif penguasaan atas sumber kekayaan alam seperti eksplorasi minyak,
pertambangan, dan penebangan hutan.

Dalam perkembangan selanjutnya kegiatan eksplorasi ini semakin menjurus ke
arah eksploitasi alam yang berpotensi menghancurkan daya dukung lingkungan
dan peminggiran masyarakat lokal.

Kedua, keuntungan besar yang diperoleh dari hasil aktivitas produksi di
Indonesia tidak serta merta digunakan untuk reinvestasi dan proses alih
teknologi namun direpatriasikan ke negara asal. Praktik-praktik seperti ini
sangat merugikan Indonesia terutama posisi neraca pembayaran. Studi-studi
yang dilakukan oleh Claessens(1993), Qayum(1993), dan Arief (1993)
menegaskan praktik repatriasi profit tersebut ternyata lebih besar dari
nilai investasi yang masuk ke Indonesia.

Ketiga, kebanyakan orang Indonesia mengira bahwa kehadiran investasi asing
di Indonesia serta-merta membawa dolar dalam bentuk kontan. Ini hanya mimpi.
Para investor asing/MNC sering memanfaatkan fasilitas kredit yang ditawarkan
oleh perbankan nasional. Oleh karena sebagian besar pejabat menganggap peran
investasi asing sangat penting maka para investor tersebut sering memperoleh
perlakuan istimewa terutama dalam hal akses kredit dengan bunga rendah
padahal dunia usaha domestik sendiri mengalami kelangkaan modal.

Keempat, kegiatan investasi asing di Indonesia ikut memberikan kontribusi
dalam menurunnya target penerimaan pajak sebagai akibat dari praktik
transfer pricing. Praktek transfer pricing dilakukan dengan jalan transaksi
internal perusahaan. Dengan kata lain, transaksi/perdagangan
antarcabang/anak perusahaan masih dalam induk perusahaan yang sama namun
berlainan negara. Sebuah MNC otomotif bisa menjalankan proses produksinya
dalam negara yang berbeda. Misalnya, di Indonesia hanya memproduksi suku
cadang lalu suku cadang tersebut dikapalkan ke Malaysia yang melakukan
assembling. Hasil assembling tersebut dikirim kembali ke Indonesia dalam
bentuk penjualan akhir (final sale). Proses transaksi ini sulit ditaksir
berdasarkan nilai pasar yang sebenarnya oleh karena sifat transaksi
dilakukan secara internal oleh perusahaan yang sama sehingga memungkinkan
manipulasi nilai transaksi.

Kelima, kehadiran investasi asing di Indonesia diyakini akan memperluas
kesempatan kerja. Pendapat ini mungkin ada benarnya. Namun tak jarang,
negeri yang terkenal dengan berlimpahnya buruh yang murah sering dijadikan
sebagai eksploitasi untuk memperbesar keun-tungan dengan mengabaikan hak-hak
buruh seperti pelayanan kesehatan, asuransi jiwa tenaga kerja, dan dana
pensiun. Secara sepintas terserapnya tenaga kerja ke dalam pabrik-pabrik
yang dimiliki oleh modal asing memang cukup melegakan namun proses ini
ibarat menanam bom waktu di kemudian hari. Di samping itu patut
dipertanyakan juga kesediaan MNC untuk melakukan proses transfer of
knowledge pada tenaga kerja Indonesia.

Keenam, investasi asing di manapun di seluruh dunia selalu berkepentingan
dengan risiko politik dan keamanan. Para investor asing atau MNC tidak
begitu peduli dengan isu HAM atau demokrasi oleh karena bagi mereka yang
penting adalah stabilitas politik demi menjaga kelangsungan bisnis dan
terjaminnya kepentingan mereka. Dalam era reformasi ini memang tidak dapat
dimungkiri telah terjadi euphoria berlebihan namun patut disadari juga bahwa
tuntutan buruh atas perbaikan nasib mereka tentu suatu hal yang wajar
mengingat posisi tenaga kerja selama ini berada dalam posisi yang terjepit
antara kepentingan penguasa dan pemilik modal.
Langkah ke Depan

Meski masuknya investasi asing tidak serta merta mengatasi problem
pembiayaan pembangunan tidak dapat dimungkiri sedikit banyak tentu ada
manfaatnya bagi proses pembangunan ekonomi itu sendiri. Adalah sebuah
kenaifan bila mengharapkan kebaikan atau ketulusan hati dari investasi
asing. Colman dan Nixson (1978) dengan lugas mengatakan: Their prime
objective is global profit maximization and their actions are aimed at
achieving that objective, not developing the host less developed country. If
the technology and the products that they introduce are inappropriate, if
their actions exacerbate regional and social inequalities, it they weaken
balance of payments position, in the last resort it is up to the less
developed country government to pursue policies which will eliminate the
causes of these problems.

Jelaslah, yang paling kita cemaskan bukanlah soal dampak aktivitas investasi
asing/MNC di Indonesia namun apakah para pengambil keputusan negeri ini
mampu mengelola dan menjinakkan para investor asing tersebut sehingga tidak
merugikan perekonomian nasional.

Joint ventures dan turn-key projects di mana para investor asing
berkolaborasi dengan mitra lokal disertai dengan partisipasi penduduk lokal
merupakan salah satu alternatif dalam memanfaatkan potensi investasi asing.
Dalam situasi yang serba kalut pascatragedi Bali ini tentunya diharapkan
segenap komponen bangsa dapat berpikir jernih dalam mengatasi kesulitan
ekonomi yang membelenggu bangsa kita. Terutama pemerintah hendaknya jangan
berpikir jangka pendek dengan mengambil jalan pintas mengorbankan kekayaan
alam demi masuknya aliran modal asing semata. Dalam kesulitan selalu ada
secercah harapan, demikian orang bijak berkata.

Penulis sedang studi pada Department of Economic Science Graduate School of
Economics Saitama University Japan.


Last modified: 17/10/2002