[Nasional-m] Mencari Payung setelah Hujan

Ambon nasional-m@polarhome.com
Fri, 18 Oct 2002 22:01:15 +0200


Media Indonesia
Sabtu, 19 Oktober 2002


Mencari Payung setelah Hujan
Toeti Adhitama, Ketua Dewan Redaksi Media Indonesia

ORANG yang waras, berakal, berbudi, berperikemanusiaan, taat pada hukum,
taat pada agama, serta mencintai Tuhan, tidak mungkin melakukan teror,
apalagi dengan >magnitude seperti yang terjadi di Bali. Maka segala wacana
dengan dalih moralitas, ideologi politik, atau agama, --atau apa pun-- untuk
mendukung atau membenarkannya tidak bisa kita terima. Malahan sebaliknya:
moralitas, etika, dan agama sebenarnya dan seharusnya adalah pengendali dan
penekan nafsu keserakahan untuk menang sendiri atau untuk berkuasa.

Kapasitas menanggapi agama ada pada kita masing-masing. Kualitas dan
intensitasnya yang berbeda. Lingkungan dan pendidikan ikut menentukan. Itu
pula sebabnya terdapat berbagai jenis orang beragama. Ada pemikir yang suka
merenung. Ada yang menunjukkan ketaatannya dengan patuh mengikuti ritual
agama. Ada juga yang mengikuti petunjuk dan pengarahan pimpinannya tanpa
mempertimbangkan benar-tidaknya.

Studi mendalam tentang agama mengungkapkan, unsur penting dalam agama adalah
keinginan manusia untuk menemukan nilai-nilai kehidupan dan untuk meyakini
tujuannya. Ada elemen intelektual dalam usaha agama menemukan tujuan dan
nilai kehidupan. Ada elemen emosional dalam ketergantungannya pada kekuasaan
yang menciptakan dan menjamin nilai-nilai itu. Elemen-elemen intelektual dan
emosional itu memengaruhi sikap manusia. Agama, oleh karenanya, selalu
dikaitkan dengan moralitas. Maka kalau selama ini agama disebut-sebut dalam
retorika terorisme --yang notabene bertentangan dengan moralitas-- itu
sesungguhnya hanya dijadikan kuda tunggangan. Peristiwa seperti yang terjadi
di Bali bukan dilandasi sesuatu keyakinan agama, tetapi semata-mata karena
egoisme yang meledak tanpa kendali. Egoisme ini dapat merentang ke lingkup
lebih besar: keluarga, kelompok masyarakat, bahkan bangsa.

Sebagai bangsa, tentu tidak ada gunanya kita meratapi apa yang telah
terjadi, walaupun kita masih kesal mengapa selama ini nyali kita menjadi
kecil menghadapi benih-benih radikalisme yang mulai tumbuh di sana-sini.
Reformasi membolehkan orang bebas berbicara. Watchdogs reformasi menyalak
semakin galak. Tetapi di sisi lain, kelompok-kelompok radikal dibiarkan
melakukan perbuatan menjurus anarki.

Masyarakat bungkam, watchdogs diam, pemerintah gamang. Bisa jadi pertarungan
antarelite politik menjadi penyebabnya karena menjelang 2004, rupanya mereka
tidak ingin kehilangan dukungan suara. Akibatnya, ketenteraman dan
ketertiban masyarakat terabaikan.

Keterangan resmi Menko Polkam menandaskan, langkanya payung hukum menjadi
kendala bagi pemerintah untuk menyikapi gejala-gejala yang mengarah pada
perbuatan teror. Memang setiap masyarakat perlu memiliki seperangkat aturan
untuk menjaga ketertiban dan mengontrol perbuatan perorangan. Dalam
masyarakat kecil dan sederhana, perangkat aturan itu bisa berupa ajaran
agama dan pendapat publik semata. Tetapi dalam masyarakat modern yang
kompleks, perangkat aturan itu berupa hukum dengan berbagai undang-undang
yang rumit, diperkuat oleh pengadilan dan kepolisian; tentunya di samping
aturan-aturan moral yang abstrak yang tumbuh dari keyakinan dan
konvensi-konvensi sosial yang mengikat.

Menjadi tugas hukum untuk menjaga ketertiban masyarakat. Untuk itu, dialah
yang menentukan hak dan kewajiban setiap anggota masyarakat, apa pun dan
siapa pun dia. Tidak seorang pun berhak menjadi hakim sendiri dan
menggunakan kekerasan untuk kepentingannya sendiri. Maka harian ini, seperti
kata editorial kemarin, menyambut baik datangnya Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Antiterorisme, sementara menunggu UU Antiterorisme
yang sedang digarap oleh perwakilan rakyat.

Bila peraturan atau undang-undang dilanggar, hukum menyerahkannya kepada
kepolisian. Maka penuntasan perkara tragedi Bali, yang merupakan pelanggaran
hukum yang luar biasa besarnya, kemudian menjadi tanggung jawab Polri. Suatu
tantangan paling berat sejak Polri terpisah dari ABRI pada 1 April 1999.
Kenyataan bahwa Indonesia kini terbukti tidak terbebas dari jaringan
kegiatan terorisme internasional menambah berat beban Polri di masa depan
sebagai pengemban fungsi menjaga keamanan dalam negeri. Apakah sosok Polri
telah disiapkan untuk beban tambahan, jawabannya terpulang pada Polri dan
pemerintah.

Tidak berlebihan kalau Polri pernah mengeluhkan, jumlah kekuatannya tidak
sebanding dengan tanggung jawab yang dipikulnya. Ditinjau dari jumlah
personelnya, rasio polisi dan penduduk Indonesia (1:1000) sangat tidak masuk
akal ditinjau dari rasio ideal PBB (1:350). Dengan jumlah sekecil
itu --hanya sepertiga dari yang seharusnya-- maka misi Polri untuk mampu
menjadi pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat tidak dapat secara
maksimal diwujudkan. Apalagi untuk memberikan bimbingan kepada masyarakat
melalui upaya preemptif dan preventif yang dapat meningkatkan kesadaran dan
kekuatan serta kepatuhan hukum masyarakat. Oleh karena itu untuk peningkatan
kemampuan dan kekuatannya, pembangunan personel Polri diarahkan agar secara
bertahap dapat mencapai rasio 1:750 pada 2004. Tentu itu masih jauh dari
memadai, lebih-lebih mengingat gangguan yang ada bukan hanya meningkat dalam
jumlah, tetapi juga dalam jenis dan kecanggihannya, termasuk terorisme
internasional misalnya. Dalam konteks ini, sejauh apa TNI dapat berperan?***
 Cetak Berita   E-mail Berita