[Nasional-m] Mendongkrak Kekuatan Perguruan Tinggi

Ambon nasional-m@polarhome.com
Thu, 24 Oct 2002 21:36:12 +0200


Jawa Pos
Jumat, 25 Okt 2002

Perluasan Otonomi Kampus lewat BHMN
Mendongkrak Kekuatan Perguruan Tinggi

Beberapa perguruan tinggi menuntut perluasan otonomi kampus lewat badan
hukum milik negara (BHMN), seperti yang dilakukan terhadap empat perguruan
tinggi lainnya. Padahal, empat perguruan tinggi yang sudah menjadi BHMN
masih mengalami kendala.

SEBENARNYA, otonomi kampus itu sudah berlangsung lama. Perguruan tinggi
telah diberi keleluasaan untuk mengelola sejumlah aspek dalam menjalankan
pendidikan. Tapi, dengan menjadi BHMN, aspek otonomi tersebut semakin
diperluas.

Otonomi itu meliputi empat aspek. Yang pertama adalah otonomi pengelolaan
sejumlah sumber daya. Kedua, otonomi yang menyangkut sumber daya fisik,
termasuk sarana dan prasarana. Ketiga, otonomi sumber daya informasi.
Keempat, otonomi pengelolaan finansial.

Menurut Wakil Rektor Bidang Akademik UGM Prof Dr Sudjarwadi, pemberian
otonomi dalam empat aspek tersebut akan membuat PT menjadi sebuah kekuatan
yang besar. Bayangkan saja, berapa besar sumber daya informasi yang dipunyai
sebuah perguruan tinggi. Jika dikembangkan, sumber daya tersebut akan
menjadi satu kekuatan yang luar biasa.

"Berapa banyak buku-buku yang bisa dihasilkan oleh para dosen, kemudian juga
hasil-hasil penelitian yang bisa dimanfaatkan untuk dunia industri atau
meningkatkan perekonomian. Selama ini, sumber daya informasi seperti itu kan
belum diberdayakan secara maksimal," tambah mantan sekretaris Dirjen
Pendidikan Tinggi Depdikbud itu.

Sayangnya, di antara keempat komponen penting otonomi tersebut, hanya aspek
finansial yang menjadi sorotan. Sayangnya lagi, perdebatan lantas mengarah
pada tudingan bahwa otonomi dalam bidang keuangan itu satu tujuan.

"Ini mestinya yang harus diluruskan. Keempat aspek otonomi tadi hanyalah
perangkat untuk mencapai tujuan pendidikan tinggi. Tujuannya adalah
kualitas, yakni kualitas pendidikan tinggi yang benar-benar mampu bersaing
dengan kualitas pendidikan tinggi luar negeri," ujar Sudjarwadi.

Karena itu, selaku alat, otonomi kampus haruslah mempunyai pasangan.
Pasangan otonomi guna mencapai tujuan kualitas itu adalah evaluasi,
akuntabilitas, dan akreditasi. Evaluasi dilakukan terhadap pelaksanaan
otonomi, akuntabilitas terhadap semua stakeholder pendidikan tinggi, dan
sebagainya.

Dengan menjadi BHMN, lanjut Sudjarwadi, otonomi perguruan tinggi -khususnya
yang dilaksanakan UGM- menjadi sesuatu yang terus dikembangkan. BHMN
hanyalah continuous improvement atau otonomi yang dipercepat (accelerated
autonomy). Diakui, selama ini, sejumlah perguruan tinggi memiliki
individu-individu yang pandai dan cerdas, tapi secara sistem sangat lemah.

Nah, dalam kerangka BHMN itulah, perguruan tinggi akan membangun sistem yang
pandai. Dengan sistem yang baik, Rektor UGM Prof Dr Sofian Efendi percaya
akan mampu membawa sebuah perguruan tinggi ke dalam peningkatan kualitas.
Jika selama ini sejumlah PTN Indonesia menempati urutan bawah dalam
peringkat perguruan tinggi se-Asia Pasifik, dengan perbaikan sistem itu,
upaya meningkatkan peringkat akan tercapai.

Lewat semboyan "Tak ada seorang pun tahu semuanya dan setiap orang pasti
tahu sesuatu", UGM pun mencoba membangun sistem secara bersama. Dengan
semboyan tersebut, individu-individu yang ada di seantero kampus akan
diminta masukannya. Sebab, bagaimanapun, mereka pasti mengetahui tentang
sesuatu. Dan, itu bermanfaat bagi pengembangan PT. "Kalau dulu inisiatif
datang dari individu-individu, kini kita ubah menjadi sistem," tegasnya.

UGM pun mengembangkan agar individu-individu atau stakeholder di kampus
belajar untuk tidak menjadi bagian yang suka mengeluh, tapi menjadi bagian
yang menjadi pemberi solusi. "Bukan sebagai complainer, tapi sebagai problem
solver," ungkap mantan dekan teknik UGM itu.

Diakui, selama ini, yang muncul -termasuk dari para complainer- adalah kesan
otonomi dan BHMN ini menuntut biaya pendidikan atau SPP yang tinggi. Bahkan,
di UGM muncul aksi -termasuk mogok makan- menentang hal itu.

Menurut Dekan Fisipol UGM Prof Dr Sunyoto Usman, BOP (biaya operasional pend
idikan) diperuntukkan bagi kebutuhan belajar-mengajar, menunjang kuliah, dan
memperkuat dosen-dosen tamu. Rektor UGM, yang mendapat dukungan dari Majelis
Wali Amanat (MWA), Majelis Guru Besar, ketua Senat Akademik, sejumlah wakil
rektor, seluruh dekan (wakil dekan), serta ketua lembaga dan kepala UPT di
lingkungan UGM, juga tegas mengatakan tak ada korelasi antara SPP dan BHMN.

"Biaya pendidikan yang meningkat hanyalah salah satu cara untuk meningkatkan
kualitas. Itu bukan tujuan otonomi ataupun BHMN," tegasnya.

Dalam forum dialog yang digelar di DPRD DIJ serta dihadiri perwakilan
mahasiswa dan anggota dewan itu, UGM tetap mempertahankan keputusannya
mengenai SPP dan BOP. Sebab, biaya tersebut digunakan untuk meningkatkan
pendidikan secara keseluruhan. Contohnya, di Fakultas Psikologi, BOP
digunakan tidak hanya untuk biaya praktikum, tetapi juga untuk mengangkat
harkat dan martabat dosen.

Dekan Fakultas Kedokteran Prof Dr Hadyanto Subono merinci biaya yang
dikeluarkan setiap mahasiswa kedokteran per tahun. Setiap mahasiswa
kedokteran memerlukan biaya Rp 12,125 juta per tahun. Jika setiap mahasiswa
selesai studi minimal 6 tahun, diperlukan biaya keseluruhan Rp 72,75 juta.
Padahal, SPP yang dibayarkan mahasiswa hanya 12 x Rp 500 ribu atau Rp 6
juta.


SPP Lebih Murah Dibandingkan SD Favorit

Untuk meyakinkan bahwa dengan BHMN biaya pendidikan menjadi mahal, rektor
UGM melakukan studi perbandingan sederhana dengan biaya pendidikan sejumlah
lembaga pendidikan lain. Dengan SPP Rp 500 ribu per semester dan biaya
operasional pendidikan (BOP) Rp 500-750 ribu per semester, biaya tersebut
masih lebih kecil dibandingkan biaya di sebuah SD di Jogja. Biaya kuliah di
UGM itu paling hanya ditambah seragam jaket almamater dan lainnya Rp 141
ribu. Total Rp 1.391.000.

Data yang dihimpun oleh Humas UGM menyebutkan, biaya pendidikan di sebuah SD
favorit bisa mencapai Rp 2,55 juta. Seragam mencapai Rp 400 ribu, BP3 Rp 2
juta (minimum), serta SPP Rp 150 ribu (minimum). "Benar, kalau dibandingkan
dengan biaya di SD, SLTP, dan SMU favorit di Jogja, biaya kuliah di UGM
lebih murah," tutur Sofian.

Data yang diperoleh Jawa Pos memperlihatkan, dibandingkan dengan Universitas
Indonesia atau ITB Bandung, biaya pendidikan di UGM juga relatif murah. Di
UI, SPP mencapai Rp 1.225.000 hingga Rp 1.450.000, kemudian ditambah DPP
atau SPA Rp 240 ribu. Bahkan, ada yang ditambah Rp 35 ribu per SKS.

Di ITB, biaya meliputi jaket dan lain-lain Rp 360 ribu. Lalu, SPP Rp
1.350.000 per semester, dan BOP yang besarnya ditentukan sendiri. Begitu
pula di IPB Bogor. Jaket dan lain-lain (Rp 400 ribu), SPA (Rp 200 ribu), SPP
(Rp 750 ribu), dan asrama (Rp 450 ribu). (wan)


---
Outgoing mail is certified Virus Free.
Checked by AVG anti-virus system (http://www.grisoft.com).
Version: 6.0.404 / Virus Database: 228 - Release Date: 2002-10-15