[Nasional-m] Bom Waktu Bernama AIDS

Ambon nasional-m@polarhome.com
Thu, 24 Oct 2002 21:31:49 +0200


Jawa Pos
Jumat, 25 Okt 2002

Bom Waktu Bernama AIDS
Oleh Kurniawan Muhammad *

Rini, seorang pasien AIDS yang akhirnya mati terlunta-lunta (JP 1/10),
adalah salah satu potret buram dari sebuah fakta bahwa betapa kita masih
belum bisa "adil" memperlakukan pasien AIDS.

Mengapa ketika jumlah pasien penyakit mematikan itu kian bertambah setiap
tahun justru sikap kita belum bisa dewasa? Apa yang salah? Inikah bukti
bahwa yang dilakukan pemerintah dan LSM (lembaga swadaya masyarakat) peduli
AIDS selama ini hanyalah tong kosong nyaring bunyinya?

Majalah Time (Asia) edisi 30 September 2002 mengangkat laporan utama tentang
perkembangan penyakit HIV/AIDS di Asia yang cukup membuat kita merinding.
Majalah itu menyebutnya sebagai bom waktu di Asia. Dilaporkan, hingga 2001,
lebih dari tujuh juta orang di Asia terinfeksi virus HIV. Selama 2001,
tercatat 1,07 juta kasus HIV baru.

Setiap hari di Asia dilaporkan 2.658 kasus baru orang yang terinfeksi virus
HIV dan 1.192 orang mati setiap hari karena AIDS. Mengerikan! Bagaimana
dengan Indonesia? Memang, di majalah itu disebutkan, tren epidemi HIV/AIDS
di Indonesia termasuk lambat.

Meski demikian, di Asia Tenggara, Indonesia termasuk kategori negara dengan
jumlah pengidap HIV terbanyak. Di majalah tersebut disebutkan, hingga
Desember 2001, pengidap HIV di Indonesia mencapai 120 ribu (sejak 1987).
Bandingkan dengan Filipina yang hanya 9.400 orang, Singapura 3.400 orang,
dan Malaysia 42.000 orang (sejak 1986).

Selama 2001, penderita AIDS yang mati di Indonesia mencapai 4.600 orang.
Lagi-lagi, ini merupakan angka tertinggi dibandingkan beberapa negara di
Asia Tenggara. Di Filipina, kurang dari 720 orang, Singapura 140 orang, dan
Malaysia 2.500 orang.

Yang menarik, data yang diungkap majalah Time tersebut sangat berbeda dengan
data yang di-launching pemerintah Indonesia. Menurut data yang diperoleh
dari Ditjen PPM dan PL Depkes RI pada 2 Juli 2001 hingga Juni 2001,
dilaporkan bahwa pengidap HIV 1.572 orang. Sedangkan, penderita AIDS 578
orang dan yang mati 258 orang.

Mengapa perbedaannya begitu jauh? Ada beberapa alasan yang mungkin bisa
menjelaskan hal itu. Pertama, secara epidemologis, penyakit HIV/AIDS itu
menyerupai fenomena gunung es. Fakta yang terungkap di permukaan jauh lebih
sedikit dibandingkan fakta sebenarnya.

Namun, dasar teori tersebut, disadari atau tidak, menjadi apologi bagi
pemerintah kita, ketika data-data tentang penyakit HIV/AIDS tersebut dinilai
kurang valid. Dalam hal ini, jauh lebih sedikit ketimbang data majalah Time.
Mereka (pemerintah) akan dengan mudah berkelit, ini kan fenomena gunung es.
Yang terungkap selalu lebih sedikit daripada yang sebenarnya.

Kedua, saya melihat, ada aroma politis di balik setiap data tentang penyakit
HIV/AIDS yang diungkap ke permukaan. Mengapa politis? Sebab, penanganan
HIV/AIDS di Indonesia, diakui atau tidak, masih sentris pemerintah.
Sehingga, ada kepentingan yang bersifat politis agar sedapat mungkin
data-data soal penyakit HIV/AIDS itu "diatur" sedemikian rupa. Benarkah
demikian? wallahu a’lam bissawab.

Yang jelas, dengan pengungkapan majalah Time itu, setidaknya hal tersebut
bisa membuka mata kita agar kita tidak menjadi bangsa yang seperti katak
dalam tempurung.

Satu hal lagi, jika memang data versi Time itu benar-benar valid, hendaknya
ini menjadi cambuk bagi pemerintah untuk memperbaiki semuanya, terkait
penanganan penyakit HIV/AIDS. Misalnya, cara mendeteksi pasien HIV/AIDS.
Selama ini, pendeteksian yang dilakukan pemerintah masih lebih banyak
terfokus pada tempat-tempat yang berisiko tinggi. Misalnya, di lokalisasi.

Padahal, dalam perkembangannya, pasien HIV/AIDS tidak hanya ditemukan di
lokalisasi. Sebab, penyebarannya sudah tidak lagi hanya melalui hubungan
seks. Misalnya, melalui suntik-suntikan narkoba. Cara ini semakin banyak
menjadi media penularan HIV/AIDS.

Upaya pendeteksian harus dilakukan lebih luas dan lebih terbuka. Misalnya,
pengambilan sampel darah kalau perlu dilakukan di instansi pemerintah,
swasta, atau di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi.

Dengan upaya pendeteksian yang lebih luas dan lebih terbuka itu, diharapkan
diperoleh data yang sebenar-benarnya tentang pengidap HIV dan penderita
AIDS.

Upaya lain yang dirasakan mendesak untuk dilakukan pemerintah adalah
sosialisasi kepada masyarakat awam seputar penyakit HIV/AIDS. Hingga saat
ini, masih kuat anggapan di masyarakat bahwa penderita AIDS adalah "najis
besar" yang harus sama sekali dihindari. Jangankan menyentuh, melihat pasien
AIDS pun sudah dianggap "haram".

Pandangan yang berkaitan dengan tingkat resistensi yang sangat tinggi
terhadap pasien AIDS itulah yang harus diubah. Dan, ini menjadi tugas
pemerintah dengan lembaga-lembaga di bawahnya, serta LSM-LSM yang
memproklamasikan dirinya sebagai organisasi nirlaba peduli AIDS.

Terakhir, pemerintah atau LSM sudah saatnya harus lebih mengonkretkan
pembangunan sebuah tempat untuk menampung para pasien AIDS. Di tempat itu,
mereka (pasien AIDS) bisa saling bertemu dan saling berbagi keluh kesah
antara satu dan lainnya.

Selanjutnya, kalau pun mereka harus mati, setidaknya bisa mati dengan
tersenyum. Jika untuk para penderita kanker bisa punya organisasi dengan
perawatan paliatif, mengapa hal itu tidak dipraktikkan untuk para penderita
AIDS?
* Kurniawan Muhammad, wartawan Jawa Pos




---
Outgoing mail is certified Virus Free.
Checked by AVG anti-virus system (http://www.grisoft.com).
Version: 6.0.404 / Virus Database: 228 - Release Date: 2002-10-15