[Nasional-m] Apa Bedanya Jalan Tol dengan Jalan Protokol

Ambon nasional-m@polarhome.com
Sat, 26 Oct 2002 22:11:40 +0200


Sinar Harapan
26/10/2002

Apa Bedanya Jalan Tol dengan Jalan Protokol

JAKARTA –Kepadatan jalan tol dalam kota Jakarta beberapa tahun terakhir
semakin parah. Pada jam-jam tertentu pelayanan jalan tol dengan jalan
protokol atau jalan biasa hampir tidak ada bedanya. Malahan jalan tol lebih
macet ketimbang jalan biasa. Fungsi jalan tol sebagai jalan alternatif dan
bebas hambatan pun semakin dipertanyakan.
Beban kepadatan lalu lintas di jalan tol dalam kota memang cukup berat
karena pertumbuhan kawasan permukiman di luar Jakarta. Setiap pagi dan sore
hari terjadi kepadatan yang luar biasa, sementara siang hari cukup lengang.
Karena itu, dengan dilanjutkannya kembali pembangunan ruas tol Jakarta Outer
Ring Road (JORR) diharapkan akan mampu mengurangi beban tol dalam kota
Jakarta serta kepadatan di ujung tol menuju Bogor, Tangerang dan Bekasi.
Proyek JORR akan menambah sirkulasi transportasi untuk mencapai beberapa
tujuan di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Karena itu,
beroperasinya kembali proyek JORR diyakini mampu meningkatkan manfaat bagi
masyarakat pengguna jalan tol, termasuk memiliki dampak cukup besar terhadap
perekonomian nasional.
Meski demikian, Ketua YLKI, Indah Suksmaningsih mengatakan, operator tol
harus berupaya untuk meningkatkan pelayanan bagi pengguna jasa jalan tol.
Masyarakat pengguna jalan tol sudah lelah mengkritik operatol tol, karena
merasa diperlakukan tidak adil. Sebab, setiap kali tarif naik, alasannya
untuk meningkatkan pelayanan. “Ternyata setelah tarif naik pelayanan tidak
ada perubahan,” tutur Indah.
Sementara itu, anggota DPR Komisi IV, Erwin Pardede mengakui, kalau benar
proyek tersebut direalisasikan maka dampaknya terhadap perekonomian nasional
akan luar biasa. “Tapi pemerintah harus lebih transparan dalam pembiayaan
proyek tersebut, jangan sampai ada mark-up proyek,” kata Pardede.
Kalau sekarang ini pelayanan jalan tol masih banyak dikeluhkan oleh
masyarakat, kata Erwin, karena masyarakat tidak menemukan perbedaan,
menggunakan jalan tol dengan jalan protokol biasa. “Lalu apa sebenarnya yang
membedakan jalan tol dengan jalan biasa,” kata Erwin balik bertanya.
Dia mencontohkan, pada setiap perempatan jalan protokol hampir selalu kita
temui bermacam dagangan yang dijajakan oleh para pedagang asongan. Hal
serupa dengan mudah kita temui pada setiap pintu masuk ataupun ke luar tol.
Bahkan di pinggir jalan tol banyak orang yang berdagang seperti tol Jagorawi
dan Jakarta Tangerang-Merak. Tapi operator jalan tol tampaknya tidak
menambil tindakan.
Mengenai rencana pengoperasian proyek JORR yang sempat terbengkalai selama
empat tahun, Indah mengemukakan, secara fisik pembanguan proyek JORR harus
lebih baik dari jalan tol yang sekarang sudah beroperasi. Karena menurut
dia, jalan tol yang sudah ada, masih banyak yang rusak karena dari awal
tidak memperhatikan ketahanan konstruksinya.
Sebenarnya kebijakan pembangunan jalan tol di Indonesia didasari atas
tingginya kebutuhan akan prasarana jalan. Sementara kemampuan anggaran
pemerintah untuk mencukupinya sangat terbatas. Karena itu, pemerintah lalu
mengundang investor swasta dalam berpartisipasi dalam membangun jalan tol
tersebut.

Mark Up
Namun kehadiran swasta di proyek pembangunan jalan tol belum banyak
memberikan warna dalam bidang pelayanan. Pelayanan pada ruas tol swasta
maupun yang dibangun pemerintah—dalam hal ini PT Jasa Marga—tidak ada
bedanya.
“Bahkan pelayanan swasta lebih buruk, seperti pelayanan tol Tange-rang –
Merak. Kualitas konstruksi tol Tangerang – Merak sangat buruk, karena ada
unsur mark up dalam pembangunannya,” tutur pengamat bisnis jalan tol,
Agusmar Yahya.
Menurut Agus, sebetulnya banyak ruas tol yang tidak layak tarifnya dinaikkan
karena pelayanannya maupun kualitas konstruksinya buruk. Oleh karena itu,
Agusmar Yahya meminta kepada pemerintah agar masalah itu ditelusuri. Banyak
kejanggalan dalam beberapa proyek tol di Indonesia, terutama di wilayah
Jabotabek.
Mengani ruas tol JORR, Agusmar Yahya mengatakan, tidak lepas dari unsur mark
up. Karena itu, sebagian ruas tol JORR yang kini telah beroperasi tarifnya
menjadi sangat mahal. Terjadinya mark up itu karena ada kolusi dari instansi
terkait, baik pejabat Depkimpraswil, PT Jasa Marga dan pihak investor
swasta. Oleh karena itu, dalam kelanjutkan proyek JORR tidak boleh terulang
kembali.
“Sebab, akan mempengaruhi nantinya dalam penentuan tarif maupun pelayanan
kepada pengguna jasa jalan tol,” tambahnya.
Selain itu, Indah Sukmaningsih menambahkan, bahwa rasa aman masyarakat dalam
menggunakan jalan tol beberapa waktu terakhir lebih rendah. Karena banyak
kejadian di jalan tol seperti perampasan kendaraan dan pelayanan mobil derek
yang buruk, bahkan cenderung memeras pemilik kendaraan yang mogok di jalan
tol. “Saat ini masyarakat makin khawatir menggunakan jalan tol karena sering
dijumpai kasus perampasan mobil di jalan tol, dan beroperasinya mobil derek
yang tidak jelas tersebut,” ungkap Indah.(*)



 Copyright © Sinar Harapan 2002