[Nasional-m] Krisis Kemanusiaan dan Etika Global

Ambon nasional-m@polarhome.com
Sat, 26 Oct 2002 22:09:09 +0200


Sinar Harapan
26/10/2002

Krisis Kemanusiaan dan Etika Global
Oleh Mustofa Muchdhor

Kelangkaan perspektif etika di kalangan para penguasa politik dan ekonomi
telah memicu meruyaknya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) dalam
berbagai sudut kehidupan. Serangan Amerika Serikat ke Afghanistan dan aksi
militer Israel ke Palestina beberapa waktu lalu adalah contoh paling
telanjang dari tiadanya perspektif atau wawasan moral di kalangan para
pemegang kekuasaan (politik, ekonomi, dan militer). Kedua tragedi mengerikan
itu juga menunjukkan hilangnya komitmen terhadap budaya tanpa kekerasan dan
penghormatan terhadap hidup.
Di Tanah Air, fenomena serupa juga masih kerap terjadi. Krisis yang
berlarut-larut di Maluku dan Aceh dan tak juga menunjukkan titik terang
kapan akan berakhir membuktikan semua itu. Kelangkaan perspektif moral dalam
kehidupan bernegara itu juga mewujud dalam merebaknya praktik-praktik kotor
seperti korupsi, suap, kolusi, dan nepotisme di kalangan penyelenggara
negara. Di kalangan arus bawah, praktik demoralisasi dan dehumanisasi juga
tak kurang banyaknya.
Hal-hal seperti inilah yang menjadi perhatian utama para agamawan ketika
berkumpul di Chicago, Amerika Serikat, dalam Parlemen Agama-agama Sedunia
tahun 1993 silam. Dalam pertemuan itu dibahas krisis fundamental yang
diderita umat manusia, yaitu krisis kemanusiaan dan etika. Dalam pandangan
mereka, umat beragama sebenarnya memiliki suatu etika dalam ajaran
aga-ma-agama yang bisa dijadikan dasar untuk menanggulangi bahaya global.
Etika ini memang tidak memberikan solusi langsung bagi semua persoalan
dunia. Tapi ia memberikan da-sar moral bagi tatanan individu dan global yang
lebih baik: sebuah visi yang dapat menjauhkan perempuan dan laki-laki dari
keputusasaan, dan menjauhkan masyarakat dari kekacauan (Hans Kung dan
Karl-Josef Kuschel: 1999).
Dengan kata lain, pemecahan atas problem-problem kemanusiaan tersebut
mungkin bisa dipecahkan dengan pembaruan (reform) sosial, politik, ekonomi,
budaya, dan penegakan hukum (law enforcement). Tapi jika semua itu tak
diikuti dengan perubahan mentalitas, orientasi batin dan pandangan dunia,
maka krisis global tidak akan bisa tuntas diselesaikan. Itu berarti
pembaruan sosial, politik, ekonomi, dan hukum harus pula diikuti dengan
pembaruan spiritual yang didasarkan pada nilai-nilai etis dari agama-agama.

Etika Global
Hans Kung, seorang pemikir cemerlang pernah menyatakan bahwa tak ada
perdamaian dunia tanpa perdamaian agama. Dalam pandangan Th Sumartana
(1999), pernyataan tersebut sangat kaya nuansa. Di satu pihak, kata
Sumartana, perdamaian antaragama menjadi prasyarat bagi perdamaian dunia.
Tapi di pihak lain, perdamaian dunia tersebut sekaligus merupakan lingkungan
yang sangat kondusif bagi perdamaian antaragama. Di alam globalisasi ini,
seperti ditengarai oleh Anthony Giddens dalam Runaway World (2001), tak satu
pun peristiwa yang terjadi di suatu belahan bumi yang tak berpengaruh
terhadap masyarakat penghuni belahan bumi lain. Apalagi jika peristiwa itu
melibatkan atau dipersepsikan sebagai bagian dari agama. Pandangan bahwa
konflik di Palestina sebagai bagian dari permasalahan agama tertentu—meski
ini terkesan simplistis dan tak tepat—menunjukkan kecenderungan tersebut.
Sesungguhnya etika global (a global ethic), seperti ditegaskan oleh para
pendukungnya yang berasal dari berbagai agama dan kepercayaan, bukanlah
semacam agama baru atau tandingan atas agama atau kepercayaan konvensional
yang sudah ada selama berabad-abad. Bukan pula ideologi, sinkretisme atau
penyatuan dari semua agama atau kepercayaan. Last but not least, etika
global bukanlah dominasi satu agama atas yang lainnya. Etika global justru
didasarkan pada nilai-nilai yang ada dalam agama-agama dan
kepercayaan-kepercayaan yang ada dan darinya dijadikan standar etika yang
mengikat (Etik Global: 1999).
Pandangan demikian tentu tidak mengejutkan. Ini karena semua agama
mengajarkan kebajikan, cinta kasih, keadilan dan menentang setiap bentuk
agresi dan kekerasan. Dari sini etika global berupaya menggali dan
menghidupkan kembali ajaran-ajaran moral dan spiritual agama yang ”
dimatikan” oleh para pemeluknya. Etika global ini juga berfungsi sebagai
pengikat tindakan umat manusia untuk kebaikan dan kemaslahatan bersama.
Kesadaran mendalam atas nilai-nilai dan prinsip-prinsip dasar ini bisa
dijadikan landasan bagi pergaulan antarsesama umat manusia.
Tuntutan dan keharusan diciptakannya etika global itu telah disuarakan oleh
pemikir-pemikir seperti Hans Kung, Karl-Josef Kuschel, atau Sayyed Hossein
Nasr. Mereka menandaskan bahwa tanpa ada konsensus dasar mengenai etika,
masyarakat di manapun cepat atau lambat akan terancam oleh kekacauan dan
kediktatoran. ”Tak mungkin ada tatanan global yang baik tanpa etika global,”
ujar Hans Kung dan Karl-Josef Kuschel. Malangnya dunia nyaris tak pernah
sepi dari ”kekacauan” dan ”kediktatoran”. Setelah dunia dihantam kecemasan,
ketakutan dan kekalutan akibat tragedi 11 September, agresi AS atas
Afganistan, konflik sektarian di India, kini publik internasional juga
dicekam kecemasan yang dahsyat akibat konflik Israel dan Palestina dan
rencana serangan Bush ke Irak.
Di Indonesia, setelah tiga puluh tahun publik ditindas oleh rezim otoriter
Orde Baru, kini publik juga kerap ditindas oleh kediktatoran massa dan elite
politik. Selain itu, ancaman kekerasan komunal dan agama, juga belum reda.
Semua ini menunjukkan betapa dasar-dasar etika global yang diperjuangkan
oleh orang-orang seperti Hans Kung dan Karl-Josef belum sepenuhnya dipahami
dan diamalkan oleh umat beragama.

Gerakan keagamaan yang cenderung radikal dan menggunakan kekerasan seperti
dilakukan Front Pembela Islam (FPI), misalnya, jelas bertentangan dengan
etika global.
Salah satu nilai penting dalam etika global yang mungkin
mengejutkan—khususnya bagi mereka yang berpandangan sektarian dan
eksklusif—adalah adanya kesamaan nilai-nilai moral dalam suatu agama dan
tradisi yang bisa dijadikan dasar bagi pergaulan antarumat manusia.
Misalnya, ”Apa yang kamu sendiri tidak inginkan, janganlah kau lakukan pada
orang lain” (Confusius, 551-486 SM); ”Apa yang kamu ingin dari orang lain
untuk dilakukan kepadamu, lakukan juga pada mereka” (Yesus dari Nazareth); ”
Tak satu pun di antara kamu yang beriman sepanjang tidak mencintai
saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri” (Hadis Nabi); ”Keadaan
yang tidak menyenangkan ataupun menyenangkan bagiku akan juga demikian bagi
dia, dan bagaimana aku bisa membebani orang lain dengan keadaan yang tidak
menyenangkan bagiku?” (Buddhisme), dan seterusnya (Etik Global; hal. 97-98).
Oleh karena itu jika dalam Global Paradox (1994) John Naisbitt menyatakan,
bahwa saat ini juga sedang berkembang sebuah tata laku (code of cunduct)
global yang baru untuk melindungi hak-hak manusia yang disebarkan melalui
jangkauan luar biasa teknologi komunikasi, maka pandangan itu tak sepenuhnya
tepat. Pasalnya seperti disebut di muka, tata laku global itu sejatinya
berakar pada agama dan kepercayaan konvensional yang telah berumur ribuan
tahun. Jadi, ini bukan fenomena baru. Kalaupun ada yang baru, barangkali
penyebarannya yang luar biasa melalui teknologi komunikasi.
Oleh karena itu, rantai dendam dan lingkaran kekerasan (spiral of violence)
tak akan pernah bisa diputus total jika nilai-nilai universal yang
terkandung dalam agama-agama dan dijadikan dasar bagi etika global tersebut
tak tertubuhkan di aras praktis. Peran agamawan dan para pemuka masyarakat
dalam memasyarakatkan nilai-nilai universal itu sangat besar. Itulah mengapa
kaum agamawan dituntut untuk tak meniupkan prasangka-prasangka buruk kepada
umatnya atas umat lain (the others) dengan pernyataan-pernyataan ”resmi”
yang tidak mendidik dan bisa membakar sentimen keagamaan.
Tak ada persoalan di dunia ini yang tak bisa diselesaikan. Jalan damai
(bermusyawah, dialog, dan membangun saling pengertian) dan bukan
konfrontasi, perang, atau penggunaan kekerasan—tetaplah yang terbaik. Dari
sini kita berharap semoga masa depan umat manusia bisa lebih menjanjikan
bagi datangnya era-baru yang sejahtera, damai, dan tanpa prasangka, dengan
berpijak pada nilai-nilai moral dan spiritual yang mengikat dalam etika
global. Peace, salaam, dan shalom. Semoga.

Penulis adalah alumnus Jurusan Teologi dan Filsafat IAIN Jakarta/Analis dan
Peneliti pada Forum Anak Bangsa Jakarta  .