[Nasional-m] Suka Duka Pengungsi Maluku di Bitung

Ambon nasional-m@polarhome.com
Tue, 29 Oct 2002 18:22:54 +0100


Sinar Harapan
29 Okt. 2002

Suka Duka Pengungsi Maluku di Bitung
Sepenggal Bahagia di Tengah Lara

Kamp pengungsi tidak selalu melahirkan cerita-cerita sedih. Di sela
penderitaan penghuninya, terselip juga sepenggal kisah bahagia.
Siapa yang menyangka jika kamp yang lusuh dengan deretan barak reot yang tak
jarang dihuni puluhan keluarga itu justru menautkan hati banyak pasangan
muda hingga mengantarkan mereka ke pintu rumah tangga. Sepenggal kisah
bahagia itu pulalah yang sempat menyinggahi kamp pengungsi korban konflik
Maluku Utara (Malut) yang mendiami puluhan barak yang dibangun di dalam dan
samping bekas gudang pabrik rotan PT Mega Belia, Bitung, Sulawesi Utara
(Sulut), tahun lalu.
Tepat di Hari Valentine, 14 Februari 2001, di saat banyak remaja dan pemuda
di berbagai belahan dunia merayakan ”Hari Kasih Sayang” itu, sebanyak 68
pasangan pengungsi dinikahkan secara massal oleh seorang pendeta setempat.
Pernikahan massal yang berlangsung di lokasi penampungan itu disponsori oleh
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) bekerja sama dengan
gereja setempat.
”Banyak pemuda kita menemukan jodohnya di kamp ini. Di antara pasangan yang
dinikahkan secara massal tahun lalu itu, tidak sedikit yang merupakan produk
‘cinta lokasi’,” kata Sekretaris Posko Induk Kamp PT Mega Belia, John
Lakesjanan.
Umumnya kepala keluarga, termasuk pasangan muda, di kamp yang pernah
menampung sekitar 6.000 orang pengungsi asal Jailolo, Sabu, Loloda, Ibu,
Bacan, Gani Timur, Obi, Ternate, dan Oba Utara itu, memiliki pekerjaan.
Mereka bekerja apa saja asal ”halal” guna memenuhi kebutuhan anak-istrinya
di barak-barak penampungan yang berdiri sejak November 1999 itu, kata John
kepada penulis dan beberapa wartawan lain saat mengunjungi kamp PT Mega
Belia yang dapat ditempuh sekitar satu setengah jam dengan mobil dari
Manado, 14 Oktober lalu.
Begitulah denyut kehidupan dan optimisme para penghuni kamp yang tinggal di
bilik-bilik dari tripleks bekas itu tetap terjaga kendati mereka adalah
korban konflik yang mungkin tidak pernah terbayangkan sebelumnya.
Sore itu, belasan anak secara berkelompok tampak riang bermain sepakbola dan
petak-umpet di halaman kamp. Ada juga di antara mereka yang sekadar
duduk-duduk di pelataran bekas gudang pabrik rotan itu sambil menyaksikan
kendaraan lalu lalang di jalan raya depan kamp. Sementara itu, beberapa
orang ibu dan pemuda mengamati anak-anak itu bermain.
Di antara pemuda yang sejak awal mengamati kedatangan rombongan wartawan
peserta pelatihan jurnalisme damai yang diselenggarakan The British Council
selama lima hari di Sulut itu adalah Rinto Barito (23).
Pemuda berambut keriting dan berkulit sawo matang asal Ternate yang mengaku
rajin mengikuti kegiatan kepemudaan dan olahraga selama di kamp pengungsian
itu bercerita banyak tentang kampung halaman dan kegemarannya ”bermain”
Internet.
Tanpa diminta, anak seorang guru SD yang mengungsi bersama ayah, ibu, dan
dua saudaranya itu kemudian menyodorkan alamat email-nya: ambon@hotmail.com.
”Ketika di Ternate dulu, saya suka main Internet. Ya, paling tidak, sekadar
kirim-kiriman e-mail (surat elektronis) dengan teman-teman.”
”Tapi, sekarang ini, saya harus menekan hobi itu. Soalnya, kebanyakan warung
Internet hanya ada di Manado. Ongkos ke sana mahal.” katanya polos sambil
tak lupa meminta alamat email penulis.

Pulang dan Menetap
Sungguh, beragam cerita mengalir bak air di kamp yang kini dihuni 721
keluarga pengungsi (2.972 jiwa) ini. Duka dan kekecewaan seolah bukan lagi
cerita baru bagi mereka.
Sejak beberapa bulan terakhir ini, menurut pengakuan beberapa pengungsi,
bantuan bahan kebutuhan pokok dari pemerintah sudah berhenti.
Duka dan kekecewaan itu tidak hanya disebabkan oleh kurang profesionalnya
pemerintah dalam menangani persoalan pengungsi dan minimnya perhatian
pejabat Pemda Malut terhadap mereka, tetapi juga akibat perilaku sejumlah
lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang hanya memanfaatkan keberadaan
pengungsi buat kepentingan mereka sendiri.
”Kami kecewa dengan sejumlah LSM yang hanya memanfaatkan kami. Mereka
meminta data tentang pengungsi ke sini, namun mereka mengingkari janji
mereka sendiri. Setelah mendapat data, mereka tidak pernah kembali lagi ke
sini,” kata Sekretaris Posko Induk Kamp PT Mega Belia, John Lakesjanan.
Dua di antara LSM yang pernah datang untuk meminta data pengungsi namun
tidak pernah lagi muncul itu adalah ”Crisis Center Ambon” dan ”Blessing Love
Foundation” Jakarta, katanya.
Namun tidak semua seperti mereka karena LSM seperti ”Medicins Sans
Frontieres” dan ”International Medical Corps” (IMC) benar-benar membantu
pengungsi di sini. IMC, misalnya, membuka Posko kesehatan gratis buat
keluarga pengungsi, kata John.
Menyangkut masalah repatriasi pengungsi ke tempat asal yang ditargetkan
pemerintah ”rampung” hingga akhir 2002, ia mengatakan, banyak keluarga
pengungsi kamp PT Mega Belia yang menyambut program itu.
Sayangnya, program tersebut diproyekkan. Perlakuan terhadap keluarga
pengungsi yang dipulangkan, khususnya menyangkut tunjangan yang sudah
menjadi hak setiap pengungsi, pun berbeda-beda.
Sebagai contoh, para pengungsi Malut yang dipulangkan pada tahap pertama ke
daerah asalnya di Oba Utara masing-masing mendapat uang saku Rp 120.000,
lima kilogram beras, dua kaleng susu kental manis, dua kaleng ikan, tiga
bungkus mie instant, dan tiga kilogram gula pasir.
Bagi mereka yang dipulangkan pada tahap kedua ke daerah asalnya di Oba
Utara, setiap orang mendapatkan 35 kilogram beras, tiga kaleng susu kental
manis, tiga kaleng ikan, tiga kilogram gula dan tiga bungkus mi instan.
Perbedaan perlakuan itu juga terjadi bagi para pengungsi asal Obi, Bacan,
Gani Timur, dan wilayah Jasilo (Jailolo, Sabu, Ibu dan Loloda), kata John. ”
Alasan terjadinya perbedaan itu (menurut pejabat pemerintah yang
berwenang-red.) adalah ketiadaan dana. Tapi, akibat perlakuan yang
berbeda-beda itu, sering terjadi ketegangan antarpengungsi,” katanya.
Bahkan, menurut John, tidak sedikit dari pengungsi yang sudah pulang
bercerita bahwa, selama di perjalanan, mereka hanya diberi sekali makan
dengan nasi bungkus tanpa ikan (lauk pauk).
Seperti dijumpai di beberapa tempat pengungsian lain di Sulut, seperti kamp
Kitawaya, tidak semua pengungsi yang menempati barak-barak penampungan di
kamp PT Mega Belia ini mau mengikuti program repatriasi pemerintah.
Jonatan Tuasela, ayah tiga anak asal Ternate yang mengungsi bersama istrinya
ke kamp yang masuk wilayah kelurahan Wanggurer, Bitung sejak sekitar dua
tahun lalu itu masih menyangsikan masalah keamanan di ibu kota Malut itu.
Menanggapi masalah ini, John Lakesjanan mengatakan, keputusan akhir berada
di tangan pengungsi itu sendiri. Bagi mereka yang ingin menetap di Sulut,
mereka bisa memilih program relokasi dan pola sisipan (berbaur dengan warga
masyarakat di kelurahan-kelurahan di sekitar Bitung).
”Bagi pengungsi asal Maluku Utara yang memilih repatriasi, mereka
dipulangkan pada 17 dan 23 Oktober 2002, sedangkan pengungsi asal Ambon dan
Tual akan dipulangkan sekitar November 2002,” katanya.
Pengungsi yang akan dipulangkan itu berjumlah 101 keluarga (438 jiwa),
sedangkan yang mengikuti program relokasi mencapai 373 keluarga (1.504 jiwa)
dan yang mengikuti pola sisipan mencapai 247 keluarga (1.030 jiwa), kata
John.
Terlepas dari pilihan masing-masing keluarga pengungsi itu, bagi Suster
Orpha Sakka, relawan yang sejak November 1999 menangani para pengungsi asal
Malut di Bitung, pengungsi harus diperlakukan sebagai manusia dengan segala
hak asasinya.
”Perlakuan tersebut setidaknya akan menjadi sepenggal kenangan manis bagi
mereka, di balik derita sebagai pengungsi,” katanya.
(ant/rahmad nasution)

 Copyright © Sinar Harapan 2002