[Nasional-m] Ramli Araby dan Usman Admadjaja bagai bumi dan langit

Ambon nasional-m@polarhome.com
Sun Sep 1 01:36:05 2002


31 Agustus 2002
SURYA

Ramli Araby dan Usman Admadjaja bagai bumi dan langit

Ramli Araby, Direktur Utama PT Qurnia Subur Alam Raya (QSAR) mendadak
mencuat namanya setelah perusahaan yang menghimpun dana investor sebesar Rp
500 miliar menyatakan bangkrut. Ramli sendiri menghilang selama sepekan, dan
baru Kamis (29/8) menyerahkan diri ke Mabes Polri.
QSAR yang bergerak di bidang agrobisnis ini memang memukau banyak orang yang
kemudian menjadi investor dengan nilai investasi beragam mulai Rp 10 juta
hingga Rp 700 juta. Umumnya para investor tergiur dengan janji yang
diberikan oleh manajemen QSAR yakni pembagian hasil sebesar 20 persen setiap
dua bulan.
Entah bagaimana logika yang digunakan oleh para investor, sehingga dengan
mudah tergiur. Padahal, dalam dunia bisnis apa pun, untuk memperoleh
keuntungan sebesar 20 persen dalam dua bulan atau 10 persen sebulan sangat
langka. Bunga deposito bank pemerintah maupun swasta hanya berkisar 14 -16
persen per tahun.
Apalagi keuntungan di pasar modal. Investasi di bursa efek ini juga kurang
menunjukkan angka keuntungan yang menggai-rahkan. Hal itu setidaknya
terlihat dengan semakin merosotnya jumlah investor yang turut bermain, dari
2 juta investor pada 1995, kini tinggal 55.000 investor. Merosotnya jumlah
investor ini merupakan indikasi investasi di pasar modal sudah kurang
menarik.
Sementara investasi di sektor moneter dengan bermain valas, risikonya
kelewat besar. Ibaratnya sekali saja mata terpejam tidak mengikuti gerakan
kurs di pasar uang, atau tak melototi laporan di TV CNBC, kerugian besar
bakal terlihat di pelupuk mata.
Keresahan para pemilik modal dalam mencari peluang investasi yang
menguntungkan dengan nilai melebihi deposito, inilah yang dilihat oleh
Ramli. Dengan menawarkan konsep baru investasi di bidang agrobisnis. Dasar
pemaparannya cukup logis, salah satunya yakni, agrobisnis merupakan salah
satu bidang usaha yang tak tergerus oleh krisis moneter.
Namun entah bagaimana caranya para investor menjadi seperti terhipnotis,
begitu mudah percaya seolah QSAR memang lumbung keuntungan yang bisa diambil
secara cepat. Padahal kalau dinalar dengan kepala dingin, sangat tidak
mungkin sebuah usaha agrobisnis bisa dipetik hasilnya dalam waktu 2 bulan.
Bukankah negeri kita ini agraris, dan hampir semua orang paham tentang pola
cocok tanam. Mana ada tanaman yang bisa dipetik hasilnya dalam waktu dua
bulan. Padi saja membutuhkan waktu 3 bulan, cabe merah membutuhkan 4 bulan,
begitu juga dengan tomat dan lain-lainnya.
Lantas darimana bagi hasil sebesar 20 persen setiap dua bulan itu?
Pertanyaan ini yang kini ditunggu banyak orang. Polisi di Polres Sukabumi
tentu juga akan mengarahkan pertanyaan seputar bagaimana pola investasi yang
digunakan Ramli untuk memutar uang para investor yang jumlahnya mencapai Rp
500 miliar itu.
Banyak prediksi yang dilakukan para pe-ngamat diantaranya, Ramli hanya
memutar uang para investor. Caranya, investor pertama menanam modal,
perputarannya bukan diambilkan dari hasil agrobisnis, namun dari dana
investor kedua. Begitu juga dengan investor kedua akan mendapatkan bagi
hasil dari investor ketiga. Jadi, QSAR terus mencari investor untuk membayar
para investor terdahulu.
Keberanian berspekulasi Ramli Araby memang tergolong luar biasa? Namun ada
beda penanganan dalam kasus QSAR ini dengan Usman Admadjaja, mantan pemegang
saham Bank Danamon Indonesia (BDI). Usman yang mendapatkan dana Bantuan
Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sebesar Rp 12,53 triliun dan baru membayar
Rp 980 miliar, jauh lebih enak dibandingkan dengan Ramli.
Bila dikalkulasi secara sederhana uang yang dipakai Usman adalah 25 kali
uang yang diputar oleh Ramli Araby. Hanya saja bedanya, Usman menggunakan
dana pemerintah sedangkan Ramli Araby menggunakan dana masyarakat langsung.
Pe-nanganannya pun nampak sangat jauh timpang, Usman tak pernah terlihat
dikerebuti polisi dan nyaris tak terlihat sebagai penjahat besar. Ramli,
saat menyerahkan diri, terkesan sudah divonis bersalah dan menggelapkan uang
Rp 500 miliar.
Badan Penyehatan Perbankkan Nasio- nal (BPPN) hanya meminta Usman
menambahkan aset untuk memenuhi kewajibannya. Usman Admadjaja diwajibkan
membayar Rp 3,2 triliun per tahun, tetapi ke-nyataannya baru membayar Rp 980
miliar. BPPN pun terkesan bertindak lunak, tidak langsung mengawasi kediaman
Usman. Padahal sudah cukup banyak contoh para obligor yang menghilang
setelah tidak mampu menyelesaikan kewajibannya.
Dari dua kasus ini setidaknya memberikan pelajaran, bila membobol uang
negara - yang sebenarnya juga uang rakyat- dalam jumlah triliunan sekalipun
(mengacu kasus BLBI) aparatur pemerintah terkesan santai dalam menangani.
Bahkan obligor-nya masih dipandang sebagai orang yang terhormat. Beda dengan
pembobol uang rakyat secara langsung, pedang keadilan benar-benar disasarkan
ke hidung tersangka. Mungkin dua contoh ini bisa dijadikan renungan bagi
masyarakat dan aparat penegak hukum, inikah hasil reformasi itu?