[Nasional-m] Adakah Kita Memiliki Kesadaran Krisis?

Ambon nasional-m@polarhome.com
Sun Sep 1 01:36:06 2002


SUARA PEMBARUAN DAILY

Adakah Kita Memiliki Kesadaran Krisis?
Oleh Paul L Coutrier

Sejak beberapa tahun terakhir ini pemerintah sadar bahwa kawasan timur
Indonesia (KTI) ternyata sangat ketinggalan dalam pembangunan ekonomi dan
pembangunan umum lainnya dibanding dengan kawasan barat Indonesia (KBI).
Berbagai kalangan memperkirakan KTI ketinggalan lebih kurang 40 tahun dari
Pulau Jawa. Memang sejak Indonesia merdeka pembangunan di Pulau Jawa jauh
lebih besar daripada daerah-daerah lainnya.
Dewasa ini industri pertambangan sedang berusaha keras membantu mengatasi
krisis ekonomi yang terjadi di negeri ini terutama di KTI antara lain dengan
menciptakan kesempatan kerja baru.
Apapun kritik yang dilontarkan kepadanya, kenyataannya industri pertambangan
sudah banyak menciptakan multiplier effect ekonomi di daerah terpencil
seperti di KTI sehingga banyak anggota masyarakat bisa secara langsung
merasakan manfaat kehadirannya. Dalam kondisi ekonomi yang terpuruk seperti
sekarang ini sumbangan 2,9 persen GDP nasional dan menghidupi 1,2 juta jiwa
tidak bisa dianggap sepele. Apalagi kenyataannya sekarang tidak ada industri
besar lainnya yang mau ke KTI kecuali industri pertambangan. KTI mempunyai
potensi yang besar dalam cebakan mineral logam dan batu bara.
Sementara itu, kalangan tertentu yang tidak mengerti tentang industri
pertambangan secara teratur menciptakan disinformasi kepada publik bahwa
pemerintah terlalu banyak memberi izin kepada pengusaha pertambangan dan
dalam ukuran yang sangat luas sehingga industri pertambangan dapat menguasai
lahan yang luas sekali. Sayang sekali bahwa disinformasi ini juga turut
disebarluaskan oleh beberapa pihak di kalangan media massa bahkan beberapa
pejabat di luar sektor pertambangan. Yang tidak mereka ketahui adalah bahwa
izin pertambangan dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat dan oleh Pemerintah
Daerah sesuai pembagian kewenangan yang ada dalam UU No. 11/1967.
Pada tingkat permulaan, kepada para penambang besar diberikan izin
Penelitian Umum/Eksplorasi. Jumlah izin yang dikeluarkan selama ini cukup
banyak karena dari seratus pengusaha eksplorasi rata-rata hanya empat yang
berhasil mendapatkan cadangan yang kemudian dapat diproduksi. Para pemegang
izin eksplorasi tidak "menguasai'' lahan eksplorasi karena tidak ada
transfer kepemilikan lahan. Eksplorasi dilakukan tanpa menghambat aktivitas
masyarakat dan praktis tidak banyak mengubah tata lingkungan. Pada tingkat
eksplorasi cebakan mineral belum diketahui ada di mana sehingga belum perlu
menggali lubang produksi apapun. Yang mungkin digali hanya beberapa lubang
kecil untuk maksud seismik dan contoh geologis. Karena itu mendapatkan
daerah eksplorasi yang luas tidak berarti bahwa seluruh daerah itu akan
digali.
Sangat Terbatas
Berbeda dengan wilayah pengusahaan hutan (HPH) di mana seluruh daerah
konsesi hutan dapat ditumbuhi pohon sehingga luas izin akan dipertahankan
terus, di daerah pertambangan konsentrasi cebakan mineral terpusat di suatu
areal yang sangat terbatas. Semakin luas areal eksplorasi pertambangan
semakin banyak pajak yang dibayar. Karena itu areal yang sudah dieksplorasi
segera dikembalikan kepada pemerintah sehingga wilayah kerja perusahaan
semakin kecil dan terbatas pada areal cebakan mineral saja.
Dengan demikian, posisi luas total areal eksplorasi KK pada tahun 2001 sisa
sekitar 6 juta ha di seluruh Indonesia. Luas ini pun mungkin sudah banyak
ditinggalkan para pengusaha karena kondisi investasi dan iklim usaha di
Indonesia bagi pertambangan tidak menarik lagi. Luas areal pertambangan yang
sesungguhnya dimanfaatkan untuk produksi di seluruh Indonesia secara total
hanya 135 ribu ha (0,1% dari luas daratan Indonesia). Luas ini pun sudah
termasuk areal untuk prasarana dan fasilitas umum/sosial.
Lokasi pertambangan selama ini berada di luar hutan lindung dan hutan
konservasi, tetapi sejak sekitar 1999 beberapa tempat tersebut dinyatakan
sebagai hutan lindung. Beberapa perusahaan bahkan tidak tahu apakah
daerahnya dimasukkan hutan lindung karena tidak diberitahukan secara resmi
oleh instansi yang bersangkutan. Apalagi tidak ditentukan dengan patokan
koordinat geografis. Jadi hutan lindung masuk ke wilayah kerja pertambangan
dan bukan pertambangan yang masuk hutan lindung. Dari luas eksplorasi yang
sisa 6 juta ha itu, diperkirakan ada sekitar 2 juta ha yang perlu diteliti
kembali apakah betul merupakan hutan lindung atau tidak.
Ini adalah akibat dari penetapan lokasi hutan lindung secara sepihak dan
tanpa koordinat geografi. Di antara tempat itu ada 20 lokasi yang sedang
dipertimbangkan pemerintah untuk mengembalikan fungsinya sebagai lokasi
pertambangan. Kedua puluh lokasi ini tersebar di beberapa pulau di KTI dan
KBI. Jumlah luas keseluruhannya sekitar 600.000 ha sehingga dapat dikelola
sedemikian agar tidak merusak hutan lindung secara keseluruhan.
Investasi bisnis pertambangan bentuknya adalah Foreign Direct Investment
(FDI) yang berarti tidak ada pinjaman luar negeri yang membebani utang
negara. Di wilayah yang sangat membutuhkan pembangunan seperti di KTI dewasa
ini terdapat empat proyek pertambangan yang siap berinvestasi sebesar US$
3,5 miliar dalam bentuk FDI di Papua, Maluku Utara dan Sulawesi Tengah.
Proyek-proyek ini sudah menunggu izin pemerintah selama lebih dari dua tahun
belum juga diputuskan.
Apabila menunggu terlalu lama, dana pembangunan tersebut dapat lari ke
negara-negara lain yang juga haus akan investasi di bidang pertambangan. FDI
sukar didapat sehingga tidak tertutup kemungkinan bahwa dana FDI tersebut
lari ke negara-negara yang lebih akrab investasi dan lebih serius ingin
mengatasi krisis ekonominya seperti di Cina, Kazakhstan atau Chile. Daerah
seperti Sulawesi Utara sudah pernah ditinggalkan FDI tambang karena masalah
ketidakpastian seperti itu dan tiadanya tertib hukum (tambang liar yang
merambah ke dalam wilayah kerja pertambangan).
"Multiplier Effect''
Banyak orang tidak sadar akan arti potensi investasi US$ 3,5 miliar terhadap
ekonomi di daerah KTI yang bersangkutan. Apabila diambil angka rendah local
content sebesar 20 persen saja, dana yang dapat beredar dalam negeri adalah
US$ 700 juta atau Rp 3,5 triliun. Bayangkan berapa besar pajak yang dapat
disumbangkan pada pemerintah dan betapa besar multiplier effect ekonomi yang
dapat dibangkitkan bagi masyarakat KTI. Belum lagi dinilai infrastruktur
jalan, listrik, pelabuhan dan pengembangan wilayah yang akan terjadi. Maka
cukup bijaksana jika pemerintah lebih bersungguh-sungguh mempertimbangkan
izin bagi proyek-proyek tersebut.
Rencana penutupan beberapa tambang seperti PT KEM, juga tidak meminjam dana
Bank Dunia. Bank Dunia hanya diajak dalam penyusunan konsep penutupan
tambang karena pengalaman mereka dalam pola penutupan tambang di luar
negeri. Pola dan persiapan penutupan tambang di Indonesia disusun bersama
antara perusahaan, masyarakat setempat, dan pemerintah setempat agar pola
penutupannya disetujui oleh para stakeholders yang bersangkutan.
Rasanya bangsa ini perlu menyadari bahwa kita berada dalam kondisi krisis
ekonomi dan sosial yang sangat parah sehingga perlu mendorong dunia bisnis
untuk meningkatkan aktivitas ekonomi dan memperluas investasi. Tanpa
peningkatan investasi tidak akan ada pertumbuhan sehingga masalah
pengangguran tidak dapat diatasi. Tindakan yang mencerminkan permusuhan
terhadap dunia bisnis perlu dihindari karena mereka menciptakan pendapatan
negara dan menciptakan lapangan kerja.
Unsur-unsur pembangunan, termasuk industri pertambangan, harus diberikan
semangat dan hak-haknya yang wajar agar bisa lebih banyak berprestasi. Jika
perlu dapat diberikan kemudahan-kemudahan tertentu sebagai pionir yang
bergerak ke daerah terpencil. Akhirnya perlu didorong agar pembangunan
didasarkan atas prinsip pembangunan yang berkelanjutan dengan tiga unsur
utamanya yaitu: keberlanjutan ekonomi, keberlanjutan sosial dan
keberlanjutan lingkungan. Industri pertambangan perlu melaksanakan Toronto
Declaration yang dicetuskan oleh industri pertambangan internasional.
Deklarasi ini menunjang pembangunan yang berkelanjutan.
Penulis adalah Direktur Eksekutif Indonesian Mining Association.


Last modified: 31/8/2002