[Nasional-m] Lompatan Besar MPR

Ambon nasional-m@polarhome.com
Mon Sep 2 08:49:52 2002


Kompas
Senin, 2 September 2002

Lompatan Besar MPR
Oleh Sulastomo

MPR telah melakukan lompatan besar. Dengan perubahan UUD 1945, Indonesia
sudah memiliki UUD yang lebih sempurna dari sebelumnya.
Dengan UUD 1945 yang telah diamandir, di hadapan kita telah terbentang suatu
era Indonesia baru yang lebih demokratis dan lebih maju, kata Ketua MPR
Amien Rais, menutup Sidang Tahunan MPR 2002. Yakinkah Anda, perubahan UUD
1945 akan membawa perbaikan? Jajak pendapat Kompas (12/8/2002) menyebutkan,
51,2 persen responden tidak yakin akan membawa perbaikan. Hanya 37,5 persen
responden menyatakan yakin akan membawa perbaikan.
Perubahan itu sebenarnya juga sangat mendasar. Misalnya pemilihan presiden
dan wakil presiden secara langsung dalam satu pasangan. Sistem MPR, yang
menjadi ciri khas sistem politik, sudah kita tinggalkan sehingga presiden
bukan lagi mandataris MPR. Secara filosofis amat berbeda. Presiden akan
menjalankan pemerintahan berdasar program yang ditawarkan kepada rakyat,
yang membuka jalan baginya terpilih sebagai presiden dan tidak lagi berdasar
GBHN yang disusun MPR, yang sedikit banyak mencerminkan kemauan kita
bersama.
Perubahan ini akan membuka proses demokrasi kita, dari proses demokrasi yang
lebih mendahulukan musyawarah/ konsensus, menjadi proses demokrasi yang sama
sekali tidak mempersoalkan pengambilan keputusan melalui suara majoritas
(voting), meski tidak menutup jalan konsensus/musyawarah. Selain itu,
dihapuskannya Utusan Golongan dalam MPR, khususnya TNI juga perlu memperoleh
pemikiran, mengingat TNI, sebagaimana dikatakan para petinggi TNI, belum
siap memperoleh hak memilih dan dipilih.
Perubahan-perubahan ini, tentu akan amat berpengaruh dalam proses demokrasi
dan jalannya pemerintahan. Akankah lebih baik atau buruk, tentu masih
terlalu dini untuk menjawab pasti. Variabel yang agaknya amat penting adalah
UU bidang politik yang kini sedang digarap DPR, selain proses
pelaksanaannya. Bukankah tidak jarang, konsep yang bagus, pelaksanaannya
justru buruk? Seandainya kita berasumsi sistemnya sudah bagus, maka faktor
manusia juga tidak kalah penting. Inilah barangkali, yang terjadi selama
ini.
Selain itu, ada lompatan jauh yang perlu memperoleh acungan jempol, yaitu
dicantumkannya kemauan politik untuk melaksanakan sistem jaminan sosial bagi
seluruh rakyat (Pasal 34 Ayat 2). Bila sistem ini nanti dilaksanakan secara
benar, tatanan penyelenggaraan kesejahteraan rakyat akan amat memperoleh
momentum perubahan yang sangat mendasar, yang insya Allah akan membawa
perbaikan yang berarti. Optimisme saya, justru terletak di sini.
Siapkah kita dengan perubahan-perubahan seperti itu?
***
APA implikasi pemilihan presiden/wakil presiden secara langsung? Untuk dapat
memenangkan pemilihan presiden, calon pasangan presiden dan wakil presiden
harus memperoleh suara (popular votes) lebih dari 50 persen dengan
sedikitnya memperoleh suara 20 persen pada lebih dari separuh daerah
provinsi (Pasal 6A, Ayat 3). Bila tidak ada pasangan calon presiden/wakil
presiden yang mencapai perolehan suara seperti itu, maka pasangan calon
presiden/wakil presiden yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua
dipilih lagi pada putaran kedua. Pasangan yang memperoleh suara terbanyak,
dilantik sebagai presiden/ wakil presiden. (Pasal 6A Ayat 4).
Ketentuan itu menimbulkan pertanyaan, mengapa pada putaran kedua tidak ada
ketentuan sebagaimana putaran pertama? Ketentuan itu, akhirnya, hanya
merujuk jumlah suara sehingga ketentuan perolehan suara minimal 20 persen
pada lebih separuh daerah provinsi sesungguhnya kurang berarti lagi. Selain
itu, lebih menguntungkan pasangan calon presiden/wakil presiden yang menang
di provinsi besar (Jawa). Sebab, dalam konstelasi politik seperti sekarang,
agaknya tidak akan ada pasangan presiden/wakil presiden dari satu partai
yang akan memenangkan pemilihan pada putaran pertama.
Selain itu, harus ada kerja sama/koalisi atau aliansi dengan kelompok
lainnya. Koalisi itu, idealnya berlandaskan platform perjuangan yang sama
atau hampir sama. Misalnya, antara kelompok "nasionalis" dengan kelompok
"nasionalis" lainnya. Atau antara kelompok Islam dengan kelompok Islam
lainnya. Tetapi, pengelompokan seperti ini akan amat berbahaya sebab isu
"SARA" akan amat kental. Idealnya, antara Islam dan faham nasionalisme dapat
saling mengisi sehingga tidak boleh ada dikotomi antara Islam dan
nasionalisme.
Selain itu, koalisi juga bisa saja terjadi antara sebuah partai politik atau
beberapa partai politik dengan kelompok independen/nonpartisan yang selama
ini menjadi penonton. Suatu hal, yang mungkin juga perlu diperhitungkan
partai-partai politik, karena pencalonan pasangan presiden/wakil presiden
harus melalui partai politik yang ada. Koalisi antara partai dengan kelompok
independen mungkin akan lebih menarik karena akan memicu isu konflik
ideologi atau "sara". Warna yang netral, yang akseptabel untuk semua
kelompok, barangkali justru memiliki daya tarik yang besar bagi para
pemilih.
Dengan ketentuan pemilihan pasangan presiden/wakil presiden sebagaimana
dikemukakan di atas, proses penentuan pasangan presiden/wakil presiden
mungkin akan amat menarik. Tidak saja pertimbangan dari aspek kredibilitas
calon dimata pemilih, tetapi juga (tidak mustahil) kesepakatan pembagian
kekuasaan antara partai/kelompok yang akan melakukan koalisi/aliansi.
Se-macam kabinet bayangan, mungkin sudah terbentuk sejak awal. Disertai
program-program yang dijanjikan, akan terbuka peluang terbentuknya
pemerintahan yang lebih baik, karena (tentunya) tidak dimungkinkan lagi
partai-partai semata-mata berbagi-bagi kekuasaan tanpa akuntabilitas publik
yang jelas, kalau hendak memenangkan pemilihan presiden/wakil presiden.
Dengan memperhatikan ketentuan dan distribusi pemilih, dimana pada akhirnya
pasangan calon presiden/wakil presiden yang memperoleh suara terbesar akan
dilantik sebagai presiden/wakil presiden, maka calon pasangan presiden/wakil
presiden yang memperoleh suara yang besar di provinsi yang banyak
pemilihnyalah yang akan keluar sebagai pemenang.
Berikutnya, partai-partai mungkin akan terbelah, antara partai pendukung
calon pasangan presiden/wakil presiden yang berhasil memenangkan pemilihan
dengan yang dikalahkan. Mungkin belum diperghitungkan, bahwa hal itu akan
melahirkan kelompok partai pendukung presiden/ wakil presiden/pemerintah dan
partai-partai yang kalah, yang (tentunya) akan melakukan oposisi. Semacam
konsep Dwipartai akan terbentuk dengan sendirinya. Jumlah partai, dengan
sendirinya akan berkurang, melalui proses koalisi yang longgar yang kemudian
(mudah-mudahan) berlanjut menjadi fusi.
Variabel lain yang akan menentukan lompatan itu adalah sistem pemilihan umum
yang hendak diterapkan. Apabila ketentuan sistem distrik atau kombinasi
distrik/proporsional yang dipilih, dengan bobot distrik tetap lebih besar,
maka lompatan itu mungkin akan lengkap. Rakyat, tidak lagi ibarat memilih
kucing dalam karung, melalui partai perantara partai, tetapi langsung
memilih wakilnya untuk anggota DPR. Partai-partai juga akan lebih
berhati-hati menentukan calonnya, sehingga kualitas wakil rakyat akan
semakin meningkat. Penyederhanaan jumlah partai politik juga akan lebih
memperoleh dorongan, sejalan dengan kecenderungan terbentuknya sistem
dwipartai sebagai dampak pemilihan presiden/wakil presiden secara langsung.
Tetapi, kalau sistem pemilu yang ditetapkan masih sistem proporsional
sebagaimana pemilihan umum selama ini, maka akan terjadi keadaan yang
mungkin serba dilematis, selain menunjukkan adanya inkonsistensi cara
berpikir kita.
Sementara presiden/wakil presiden dipilih langsung, wakil rakyat/anggota DPR
dipilih melalui lembaga perantara (partai politik), yang berarti tidak
dipilih langsung. Hal ini tidak mustahil akan menimbulkan proses politik
yang rancu, bahkan instabilitas politik, karena presiden yang harus
bertanggungjawab langsung kepada rakyat, dikontrol oleh lembaga legislatif
yang sepenuhnya dikontrol partai politik, yang membuka peluang perubahan
kelompok pemerintah dan oposisi. Perubahan yang terjadi, masih "setengah
hati".
Selain itu, untuk lebih menyempurnakan lompatan itu, dalam UU tentang partai
politik, ketegasan batas ambang perolehan suara (threshold) harus lebih
ditegakkan, agar orang tidak begitu mudah mendirikan partai politik. Bahkan,
batas ambang itu perlu ditingkatkan misalnya menjadi sedikitnya 5 persen.
***
DIHAPUSKANNYA fraksi Golongan dalam MPR masih memerlukan tindak lanjut.
Sebagaimana Pemilu 1955, amat dimungkinkan birokrasi, BUMN, dan TNI/Polri
akan menjadi ajang perebutan partai-partai. Padahal, secara institusional,
lembaga-lembaga itu harus tetap netral. Lembaga-lembaga itu harus dapat
melaksanakan tugas sebagai abdi masyarakat, melindungi seluruh rakyat,
bermanfaat bagi seluruh rakyat, tanpa membedakan status anggota masyarakat
dan harus dikelola secara profesional. UU tentang penyelenggaraan
pemerintahan, agaknya amat mendesak, agar profesionalisme melekat dalam
penyelenggaraan birokrasi, TNI/Polri, dan BUMN. Ini amat penting untuk
membangun adanya kontinuitas dalam menyelenggarakan administrasi
pemerintahan.
Selanjutnya yang juga amat menggembirakan adalah kemauan politik untuk
membangun sistem jaminan sosial (Pasal 34 Ayat 2). Apabila program ini
dilaksanakan dengan baik, bebas dari ajang perebutan kepentingan politik,
tidak saja berdampak meningkatnya kesejahteraan sosial, tetapi juga
berdampak ekonomi, karena program jaminan sosial juga merupakan mekanisme
mobilisasi dana masyarakat, re-distribution of income, pembentukan tabungan
nasional, yang pada gilirannya akan meningkatkan kemampuan investasi,
perluasan lapangan kerja, meningkatnya kemampuan pemanfaatan teknologi serta
pemerataan hasil pembangunan.
Sebagai penutup, barangkali kita harus menyamakan persepsi, bahwa keabsahan
perubahan UUD 1945 dijamin UUD 1945 itu sendiri (pasal 37). Melaksanakan UUD
1945 secara murni dan konsekuen hendaklah dipahami secara utuh, bahwa UUD
1945 memang membuka peluang untuk perubahan itu.
Perubahan proses demokrasi (misalnya), mungkin dianggap sudah saatnya.
Sebab, perubahan zaman mengharuskan kita bergerak lebih cepat sehingga
proses voting dianggap sebagai proses yang biasa. Apakah proses perubahan
UUD 1945 sudah benar, inilah sebenarnya yang harus dikaji, sebab UUD
merupakan kontrak sosial kita bersama. Kalau UUD harus diubah, maka harus
memperoleh persetujuan dari pemilik UUD itu, yaitu rakyat Indonesia. Apakah
MPR sekarang sudah merepresentir seluruh rakyat Indonesia, inilah
(sebenarnya) yang harus kita persoalkan, baik kita pro maupun kontra
perubahan itu.
Di sinilah (sebenarnya) relevansi pembentukan Komite Konstitusi, yang
bertugas menyelaraskan dan menyempurnakan perubahan UUD 1945. Atau, gagasan
melakukan referendum untuk perubahan yang sangat mendasar itu, meski mungkin
sudah terlambat. Dalam hal itu, sebenarnya masih ada waktu untuk
menyempurnakan, agar lompatan besar itu benar-benar diterima secara ikhlas
oleh sebagian besar rakyat pada sidang tahunan mendatang, MPR wajib
mempertimbangkan semua itu.
Mudah-mudahan, perubahan UUD 1945 akan membawa perbaikan bagi kehidupan kita
berbangsa dan bernegara.
Sulastomo Koordinator, Gerakan jalan-Lurus
Search :










Berita Lainnya :
•Ancaman Tirani DPR
•Eksistensi Yayasan di Indonesia
•Kita Mengalami Krisis Hukum Ketenagakerjaan
•Lompatan Besar MPR
•POJOK
•REDAKSI YTH
•Supremasi Dewan Perwakilan Rakyat
•TAJUK RENCANA