[Nasional-m] Lulusan Program Sarjana Belum Tenaga Profesional

Ambon nasional-m@polarhome.com
Thu Sep 5 00:00:03 2002


Kompas
Kamis, 5 September 2002

Lulusan Program Sarjana Belum Tenaga Profesional
Oleh J Drost SJ

BISA diadakan berpuluh-puluh seminar, namun semua percuma selama masalah
pokok, masalah dasar, tidak ditangani. Kalau lulusan perguruan tinggi (PT)
tidak bermutu, tidak mendapat pekerjaan, maka sesuai dengan kebudayaan kita,
dicari kambing hitam: sistem PT jelek, kurikulum tidak sesuai dengan
kebutuhan (apa?), dosen-dosen tidak bermutu, dan seterusnya. Tidak pernah
ada yang mau mengaku bahwa dialah kambing hitam itu!
Walau staf dosen semua doktor dan amat pandai memberikan kuliah,
perpustakaan lengkap, laboratorium amat canggih, selama mayoritas mahasiswa
tidak mampu dan tidak siap menempuh studi di universitas, lulusan kebanyakan
universitas kita tidak akan memenuhi tuntutan masyarakat abad ke-21.
Mereka tidak memiliki potensi belajar untuk menempuh studi di universitas.
Kenyataan ini, yang tidak mau diterima oleh kebanyakan orang kita, sudah
bertahun-tahun terbukti oleh hasil UMPTN. Yang lulus UMPTN hanya 10 persen.
Yang lain diluluskan karena ada tempat. Yang lulus diterima di ITB, IPB, UI,
UGM, dan beberapa universitas swasta yang baik. Nilai rata-rata dari mereka
yang diterima di ITB: 7,7, di UI: 7,8.
Yang sebetulnya tidak lulus tetap diterima, terutama di PTN luar Jawa dan di
banyak universitas swasta, misalnya, nilai rata-rata dari yang diterima di
salah satu PTN di luar Jawa hanya 4,9. Penerimaan dari mereka yang
sebetulnya tidak mempunyai kemampuan intelektual untuk studi di universitas
mengakibatkan bahwa secara nasional yang gugur untuk PTN: 85 persen dan PTS:
91 persen.
Herankah kita bahwa lulusan universitas luar negeri lebih baik? Di luar
negeri tidak ada UMPTN. Yang lulus VWO, Gymnasium, atau A-level, lebih
kurang 30 persen dari para pelajar sekolah menengah, berhak diterima di
universitas. Ketiga sekolah itu adalah SMU unggul. Mereka adalah
pelajar-pelajar yang berkemampuan intelektual tinggi. Ini sama dengan
lulusan SMU unggul kita.
Pengalaman di Jakarta membuktikan hal itu dengan hasil Ebtanas 1997. NEM
rata-rata program B (IPA): 7,00. NEM rata-rata program (IPS): 7,9. SMU
non-unggul untuk IPA: 5,12, untuk IPS: 5,60. Semua lulusan SMU unggul bisa
langsung diterima di universitas, tanpa UMPTN.
Jadi, jelas bahwa persiapan para siswa untuk masuk universitas ternyata
hanya terjadi di SMU unggul, yang menerima pelajar dengan NEM SLTP 45 ke
atas (=7,5), yang merupakan lulusan dari SLTP umum yang termasuk paling
baik. Jadi, Depdikbud ternyata menciptakan sekolah-sekolah seperti
Gymnasium, VWO, dan A-Level dengan membiarkan dan mendorong munculnya SMU
unggul dan SLTP unggul. Lulusan sekolah-sekolah ini, yang sungguh-sungguh
mampu mengikuti kurikulum 1994 yang berat sekali, siap menjadi mahasiswa
universitas.
Yang saya bicarakan adalah universitas bukan sekolah tinggi, akademi, atau
politeknik. Untuk universitas sudah ada kemungkinan menerima mahasiswa yang
matang memulai studi universitas, dengan hanya menerima lulusan SMU unggul:
SMU yang memadai kurikulum 1994 secara murni. Kalau universitas-universitas
kita, karena alasan apa pun, tetap akan menerima lulusan SMU biasa, jangan
berkeluh kesah bahwa mutu studi dan mutu hasil studi begitu rendah.
Akan tetapi, tidak hanya keadaan sekolah menengah kacau-balau, tetapi sistem
pengajaran tinggi pun dikacaukan. Keluhan umum ialah bahwa lulusan luar
negeri dihargai dan lebih gampang mendapat pekerjaan. Maklum, lulusan Eropa,
Australia, dan kebanyakan lulusan Amerika telah mendapat gelar setingkat
magister, sedangkan lulusan kita baru mendapat gelar setingkat BA.
Sampai tahun 1970-an, universitas-universitas di Indonesia memakai pola dan
sistem Eropa (cq Nederland). Namun, kemudian diubah. Sistem Amerika
dicangkokkan pada pola Eropa. Di Amerika mahasiswa sebelum masuk universitas
harus masuk lebih dahulu di college yang berlangsung selama 3-4 tahun. Dalam
college belum ada fakultas dan jurusan.
Lulusan college mendapat gelar BA atau BSc, namun belum profesional, masih
pembentukan umum. Untuk menjadi profesional mereka harus mencapai gelar
magister, kemudian doktor di universitas atau graduate school: dokter,
insinyur (Ir), ahli hukum, fisikawan, dan sebagainya.
Di Indonesia statum 1 (dan 2, dan 3) memakai sistem Amerika yang dikawinkan
dengan pola Eropa, yaitu bahwa sejak masuk universitas sudah harus memilih
fakultas. Namun, waktu kuliah hanya empat tahun dan gelar sarjana bukan
sarjana yang masih umum, melainkan sudah terspesialisasi, karena pola yang
dipakai tetap pola Nederland. Jadi, ada sarjana ekonomi, sarjana kedokteran,
sarjana psikologi, dan sebagainya. Karena dipakai sistem Amerika, gelar itu
sebetulnya setingkat BA dan belum profesional. Padahal, pola Eropa dan
sistemnya menuntut kuliah minimal selama enam tahun dan mendapat gelar MA,
MSc, Diploma, Doktorandus, Ir, setingkat Magister.
Jadi, sarjana kita sebetulnya BA ekonomi, BA teknik, BA bahasa, BA
pendidikan. Supaya lulusan universitas kita setingkat lulusan luar negeri,
mereka harus mengambil dahulu gelar magister. Bukan magister manajemen (MM),
karena MM bukan gelar akademis melainkan profesional, seperti dokter,
apoteker, psikolog, akuntan.
Sulit menyebut seorang sarjana (BA) sebagai seorang profesional. Di luar
negeri, baik Ir ataupun diploma-Ir, Master of Engineering maupun MA dan MSc,
adalah pembentukan pada tingkat magister. Karena kenyataan ini sudah
disadari oleh universitas-universitas kita, maka, misalnya, di ITB seorang
sarjana tidak boleh memakai gelar Ir. Ia sarjana teknik dan baru boleh
memakai gelar Ir setelah lulus Magister Teknik. Di UI, seorang sarjana
psikologi belum psikolog, ia harus mengambil magister psikologi atau
pembentukan profesional selama dua tahun. Ini berlaku juga untuk akuntan,
apoteker dan sebetulnya untuk semua sarjana.
Jadi, Indonesia sudah memulai menuntut studi minimal enam tahun di
universitas untuk bisa menjadi seorang profesional. Oleh karena itu, para
guru sekolah menengah kita harus seperti di mana-mana di dunia. Magister
Pengajaran Sains, Inggris dan sebagainya; yang memang menuntut studi selama
enam tahun. Lama enam tahun adalah waktu yang dibutuhkan semua orang di
mana-mana untuk menjadi seorang profesional, seorang intelektual sejati.
Kenyataan ini seharusnya makin mendorong kita untuk mengubah sistem
perguruan tinggi kita, bukan sistem Amerika yang dicangkokkan pada pola
Eropa.
Pasti timbul gejala penolakan. Sekali lagi, atau pola Amerika:
college-universitas, BA, MA-PhD, atau pola Eropa: universitas, MA - Dr.
J DROST SJ Ahli pendidikan, tinggal di Jakarta
Search :










Berita Lainnya :
•Apa yang Mau Kita Bangun?
•Ketahanan Air dan Ketahanan Pangan
•Krisis Ekonomi Lanjutan
•Lulusan Program Sarjana Belum Tenaga Profesional
•Mahasiswa dan Kepemimpinan Alternatif
•Peluang dan Tantangan Rektor Baru di PT-BHMN
•Pemerintah Mulai Langgar UUD 1945
•Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara Langsung oleh Rakyat
•POJOK
•REDAKSI YTH
•TAJUK RENCANA