[Nasional-m] Diuji, Komitmen Kita pada ......

Ambon nasional-m@polarhome.com
Wed Sep 4 23:36:01 2002


http://www.kompas.com/utama/news/0209/04/032339.htm

KCM
Rabu, 04 September 2002, 14:23 WIB

Diuji, Komitmen Kita pada Pelaksanaan Pasal 34 Amandemen UUD

BUKANLAH kabar baru bahwa saudara kita di Kalimantan Tengah (Kalteng)
terancam kelaparan. Dengan keterbatasan sarana transportasi, andalan bagi
mereka yang tinggal di daerah pedalaman Kalteng adalah transportasi sungai.
Pada musim kering seperti sekarang ini, sungai itu tidak bisa dimanfaatkan.
Kedalaman Sungai Kahayan tidak memungkinkan bagi perahu kecil sekalipun
untuk bisa melaluinya. Akibatnya tidak usah heran apabila masyarakat di
daerah pedalaman Kalteng tidak bisa mendapat pasokan bahan makanan yang
mencukupi.
Itulah yang kita tangkap dari laporan surat kabar ini beberapa hari lalu.
Sekitar 2.789 jiwa bukan hanya terancam krisis pangan, tetapi harus
menghadapi kondisi kehidupan yang tidak layak.
MEMANG krisis pangan yang dimaksudkan bukanlah tidak ada bahan makanan sama
sekali. Masyarakat setempat masih memiliki alternatif dengan mengonsumsi
umbi-umbian dan ikan yang bisa ditangkap di sungai-sungai.
Hanya saja sepanjang Orde Baru, masyarakat kita dibiasakan bahwa bahan
makanan pokok itu adalah beras. Bahkan, kemudian berkembang pemahaman bahwa
kita belumlah makan kalau belum makan nasi.
Inilah yang sebenarnya membawa beban bagi kita sekarang ini, di mana kita
harus menyediakan beras bagi seluruh rakyat yang ada di Sabang sampai
Merauke. Potensi-potensi wilayah dan kebiasaan makan di suatu daerah sudah
berubah sama sekali. Masyarakat Maluku dan Papua juga ikut makan nasi,
padahal dulu mereka biasa makan sagu. Demikian juga masyarakat Nusa Tenggara
Timur yang dulu biasa makan jagung, sekarang harus juga makan nasi.
MENGUBAH kembali kebiasaan itu bukanlah perkara yang gampang. Apalagi bahan
makanan yang dulu biasa dikonsumsi masyarakat di suatu daerah tidak
diteruskan pembudidayaannya.
Ketersediaan bahan makanan lokal kini menjadi persoalan lain. Kita dengan
mudah mengatakan soal diversifikasi pangan, namun dalam pelaksanaannya di
lapangan tidaklah mudah.
Kebiasaan masyarakat kota yang mengganti konsumsi nasi dengan roti, ternyata
membuat impor gandum menjadi meningkat. Demikian pula halnya dengan kedelai
dan jagung, yang juga masih tinggi angka impornya.
SENGAJA kita mengangkat persoalan di Kalteng ini ke permukaan agar kita
semua sadar akan adanya persoalan yang dihadapi saudara-saudara kita di
Kalteng. Mereka membutuhkan bantuan dari kita karena keadaannya akan semakin
memburuk apabila terus dibiarkan.
Mereka tidak bisa kita minta untuk pergi sendiri membeli bahan kebutuhan ke
ibu kota Provinsi Palangkaraya, karena jaraknya terlampau jauh untuk
ditempuh dengan berjalan kaki. Sekarang ini bukan hanya persediaan beras
yang semakin menipis, tetapi bahan bakar untuk penerangan pun sangat
terbatas. Rumah-rumah yang mereka tempati praktis tidak lagi memiliki sumber
cahaya di malam hari. Mereka benar-benar dipaksa hidup di tengah kegelapan.
Keadaan ini harus segera kita pecahkan sebelum berubah menjadi sikap
frustrasi. Kita menangkap kecenderungan ke arah sana, di mana masyarakat
bersikap curiga kepada para pendatang dan tindakan anarkis pun meningkat,
khususnya ketika mereka melihat beras.
HAL ini menjadi lebih relevan karena kita baru saja menyelesaikan amandemen
UUD 1945. Dalam UUD 1945 yang kita perbarui itu, kita sepakat untuk
menekankan kepedulian terhadap kehidupan sesama warga.
Pasal 34 UUD 1945 secara tegas menyatakan tanggung jawab negara terhadap
fakir miskin dan anak telantar. Bahkan, pada Ayat (2) Pasal 34 itu dikatakan
bahwa negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan
memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat
kemanusiaannya.
Bunyi Pasal 34 itu bukan hanya harus indah dalam kata-kata. Yang jauh lebih
penting adalah bagaimana semua itu bisa diimplementasikan dalam kehidupan
sehari-hari.
INILAH tantangan yang harus bisa kita penuhi. Semua itu bukan hanya menjadi
tanggung jawab pemerintah, tetapi kita semua yang telah sepakat untuk
melakukan amandemen terhadap konstitusi kita.
Secara khusus, kita ingin meminta perhatian dari para politisi, khususnya
mereka yang menjadi anggota partai politik, yang terlibat dalam amandemen
UUD 1945. Mereka seharusnya memberi contoh penerapan dari bunyi Pasal 34 UUD
1945 yang mereka amandemen itu, dengan secara langsung membantu
saudara-saudara kita yang ada di Kalteng.
Para anggota partai politik bukan hanya duduk ongkang-ongkang kaki di
Jakarta, tetapi turun langsung ke daerah untuk menunjukkan simpati, empati,
dan kepedulian kepada mereka yang sedang menderita. Bahkan, mereka harus
bisa menggerakkan kepedulian masyarakat dan juga mendorong eksekutif untuk
segera bertindak.
Dari KTT Bumi, Kerakusan Ciptakan Kemiskinan dan Krisis Ekologi
PEMIMPIN spiritual India Mahatma Gandhi pernah mengingatkan, Bumi
menyediakan cukup kebutuhan seluruh umat manusia, tapi bukan untuk
kerakusan. Memang, orang-orang yang rakus dan kemaruk senantiasa tidak
pernah puas dan merasa kurang, sekalipun sudah berkelimpahan. Peringatan
Mahatma Gandhi sangat relevan dengan situasi global, lebih-lebih saat ini.
Kerakusan tidak hanya menciptakan kemiskinan bagi sesama manusia, tapi juga
bisa merusak alam. Keserakahan membuat alam dieksplorasi secara berlebihan.
Persoalan kemiskinan dan kerusakan ekologis itulah yang menjadi tema sentral
dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi yang berlangsung di Johannesburg,
Afrika Selatan, sejak Senin 2 September hingga Rabu 4 September ini.
Konferensi sendiri dimulai 26 Agustus lalu.
Para pemimpin 187 negara, termasuk Presiden Megawati Soekarnoputri,
membicarakan tentang Bumi yang telah dirusak oleh keserakahan, kehancuran
ekologis, ketidakadilan, kesenjangan kaya-miskin, penderitaan, perang,
penyakit, dan kematian. Kekayaan bagi orang atau negara tertentu merupakan
kemiskinan bagi orang atau negara lain.
JIKA tidak segera diambil langkah bersama secara cepat dan simultan,
kehancuran akan semakin parah. Kemiskinan dan kehancuran ekologis akan terus
merebak. Bencana kehancuran ekologis tidak lagi dalam hitungan ratusan atau
puluhan tahun, tapi malah dalam hitungan satu generasi.
Sejak KTT Bumi pertama di Rio de Janeiro, Brasil, tahun 1992, belum ada
terobosan penting dalam menyelamatkan Bumi dari bahaya kemiskinan dan
kehancuran ekologis. Padahal, kerisauan tentang merebaknya kemiskinan dan
kehancuran ekologis semakin sering dikumandangkan dalam rentangan waktu 10
tahun sejak KTT Rio.
Kerisauan serupa disampaikan dalam KTT Milenium di New York tahun 2000.
Sekitar dua milyar orang kini bergulat dalam kesulitan hidup karena
kemiskinan, tidak mendapatkan air bersih, tidak memperoleh aliran listrik,
pendidikan dasar, dan pengobatan kesehatan.
Keinginan melakukan terobosan telah dituangkan dalam Plan of Implementation
(Rencana Penerapan) setebal 71 halaman, yang akan diumumkan pada penutupan
KTT Bumi PBB tentang Pembangunan Berkelanjutan (WSSD - World Summit on
Sustainable Development) di Johannesburg. Tetapi, tidak ada satu kata pun
yang menunjukkan bahwa rencana itu bersifat mengikat.
HINGGA saat ini penanganan isu kemiskinan dan kehancuran ekologis dianggap
kurang serius. Dalam KTT Organisasi Pangan Sedunia (FAO) di Roma, Italia,
awal Juni lalu, dipaparkan tentang bahaya kelaparan dan kemiskinan di
negara-negara berkembang Asia dan Afrika. Secara khusus disoroti, ancaman
kelaparan 13 juta orang di sejumlah negara Afrika bagian selatan.
Angka-angka kelaparan yang disampaikan FAO sungguh mengejutkan. Sekitar 777
juta orang bergulat dengan kelangkaan pangan kronis, yang hampir mendekati
ambang kelaparan hebat. Sementara 815 juta orang telah terjebak dalam
kelaparan hebat, yang nyawanya terancam setiap saat. Pernah disinggung,
setiap empat detik satu orang meninggal secara mengenaskan akibat kelaparan
di seluruh dunia.
Bahaya-bahaya kelaparan umumnya berlangsung di Dunia Ketiga. Keadaan
diperparah oleh penyakit, konflik, dan perang. Proses pembangunan
berkelanjutan dihambat oleh kemiskinan dan kehancuran ekologis.
POSISI negara-negara berkembang pun menjadi lemah, termasuk dalam menghadapi
proses globalisasi yang menekankan kompetisi. Sebaliknya, negara-negara maju
diuntungkan dalam kompetisi itu. Kesenjangan antara kaya dan miskin dalam
tatanan global semakin melebar.
Negara-negara maju terus menikmati kelimpahan (affluence), sedangkan
negara-negara berkembang semakin menghadapi kelangkaan (scarcity). Tingkat
perkembangan dan kualitas kehidupan tampak begitu kontras.
Sebanyak 1,2 milyar orang, seperlima penduduk Bumi, hidup dengan nilai
kurang dari satu dollar AS per hari. Ibarat Bumi dan langit, rata-rata orang
Eropa hidup dengan 60 dollar per hari. Bahkan, Amerika Serikat lebih tinggi
lagi. Sekitar 300 juta orang, menurut data FAO, berjuang keras melawan
kegemukan.
Keinginan mengurangi jumlah penderita kelaparan di dunia memang meningkat,
tapi dinilai belum signifikan untuk melakukan terobosan. Sekadar untuk
diingat kembali, dalam KTT FAO tahun 1996 di Roma, para pemimpin dunia
menyatakan tekad mengurangi angka kelaparan dari 840 juta menjadi 400 juta
sampai tahun 2015.
Evaluasi atas hasilnya selama enam tahun terakhir sungguh mengecewakan.
Hanya 25 juta orang yang dibebaskan dari kelaparan selama enam tahun. Masih
815 juta orang yang terancam kelaparan hebat. Timbul skeptisisme, apakah
target pengentasan orang miskin akan tercapai tahun 2015 seperti
direncanakan?
TANTANGAN di depan mata tampaknya rumit. Upaya memberi makan kepada enam
milyar penduduk Bumi sudah terasa berat saat ini. Sementara jumlah penduduk
terus bertambah. Menurut perkiraan, jumlah penduduk Bumi akan mencapai
delapan milyar orang tahun 2030.
Daya dukungan lingkungan terus berkurang karena bencana ekologis yang terus
berlangsung. Keadaan diperparah oleh kerakusan yang terus merajalela.
Ekspresinya berupa korupsi pada tingkat negara, atau ketimpangan tatanan
ekonomi antara negara maju dan berkembang.