[Nasional-m] Otonomi Partai

Ambon nasional-m@polarhome.com
Fri Sep 6 02:02:17 2002


Media Indonesia
Forum Editorial
 Edisi: Jumat, 6 September 2002

Otonomi Partai

KEDUDUKAN Ketua Umum Golkar Akbar Tandjung semakin kencang diguncang banyak
pihak. Ada tekanan dari dalam, juga dari luar partai, agar Akbar Tandjung
mengundurkan diri. Tekanan ini kian menjadi-jadi, menyusul vonis hakim yang
menghukum Akbar tiga tahun penjara.
Masalah Akbar ini menjadi cermin kematangan berpartai. Dan, indikasi
ketangguhan berdemokrasi. Mengapa? Sebab, partai yang sehat dan kuat
merupakan salah satu sendi kehidupan demokrasi. Karena, melalui partailah
warga negara berserikat, menyalurkan aspirasi, dan memperjuangkan
kepentingannya. Partailah yang kemudian membawanya, misalnya, ke DPR dan
MPR.
Melalui partai pulalah, antara lain, orang-orang dijagokan. Apakah menjadi
presiden, gubernur, bupati, maupun menjadi wakil rakyat yang duduk di
parlemen. Karena itulah, partai kuat dan sehat merupakan kendaraan yang
sangat penting bagi efektifnya demokrasi.
Kehidupan partai di negeri ini telah mengalami pasang-surut. Ada masa
politik menjadi panglima, ketika semua kehidupan harus menjadi onderbouw
partai. Termasuk, pers. Tetapi, inilah panglima yang semata sebagai alat,
yaitu alat Bung Karno, Pemimpin Besar Revolusi.
Itulah yang terjadi di zaman Demokrasi Terpimpin. Sebuah era yang mengandung
predikat demokrasi, tetapi terpimpin, alias zaman diktator.
Di masa Orde Baru, yang sebaliknya terjadi. Politik menjadi faktor dependen.
Yang menjadi panglima adalah pembangunan ekonomi. Kehidupan partai
dibonsaikan, ditaklukkan, atas nama stabilitas politik demi tujuan
pertumbuhan ekonomi.
Jumlah partai disederhanakan melalui fusi yang dipaksakan kekuasaan.
Hasilnya, tinggal tiga partai, yaitu Golkar, PDI, dan PPP. Tetapi, hanya
jumlahnya saja ada tiga partai. Kenyataannya, bangsa ini sebetulnya hanya
punya partai tunggal.
Ketiga partai itu bukanlah partai yang mandiri, independen, otonom.
Pemilihan ketua partai, misalnya, selalu diintervensi. Yang terpilih
bukanlah pemimpin yang dikehendaki dari bawah, melainkan dari atas, yaitu
pemerintah. Itulah sebabnya, kongres partai selalu penuh konflik. Dan,
memang, kecuali Golkar, dua partai lainnya sengaja dibuat menjadi bonsai.
Puncaknya, campur tangan pemerintah terhadap PDI, yang menyingkirkan
Megawati Soekarnoputri.
Hasilnya ialah lahirnya kekuatan perlawanan yang disebut PDI Perjuangan.
Sebuah partai yang kemudian di zaman reformasi meraih suara terbanyak dalam
pemilihan umum. Megawati, yang semula disingkirkan kekuasaan, sekarang
menjadi berkuasa.
Demokrasi memerlukan partai yang kuat dan sehat. Partai yang berakar ke
bawah. Yang melahirkan dan mengganti pemimpinnya sendiri tanpa direcoki
tangan-tangan gelap dan tangan-tangan terang. Yang mengatur rumah tangganya
sendiri, tanpa diintervensi kekuatan-kekuatan di luar dirinya.
Dalam perpsektif itulah, persoalan yang sekarang mendera Golkar harus
dilihat dan ditempatkan. Setelah vonis hakim jatuh kepada Akbar Tandjung
maka persoalan kedudukannya sebagai Ketua Umum Golkar harus dikembalikan
kepada urusan rumah tangga Golkar. Biarkan mekanisme internal Golkar
menjawab kemelut yang sekarang dihadapi partai itu.
Adalah fakta, Golkar meraih suara terbanyak kedua dalam Pemilihan Umum 1999.
Ia, jelas, saingan yang efektif bagi partai lainnya, termasuk bagi PDI
Perjuangan, PPP, PAN, PKB, dan lainnya. Kasus Akbar ini mulai dimanipulasi
untuk mencuri di tikungan, dengan menohok partai saingan.
Demokrasi mengandalkan kompetisi yang sehat. Demokrasi juga menuntut
kemampuan membiarkan