[Nasional-m] Dicari, Orang Kuat Indonesia

Ambon nasional-m@polarhome.com
Fri Sep 6 23:12:02 2002


Kompas
Sabtu, 7 September 2002

Dicari, Orang Kuat Indonesia
Oleh Jakob Sumardjo

KRISIS besar membutuhkan orang kuat. Bukan kuat secara fisikal, tetapi kuat
secara karakter dan mental. Orang kuat ini akan menjadi orang besar, setelah
krisis diatasinya. Orang kuat ini berkualitas transenden, menembus, dan
mengatasi karakter-karakter pemimpin yang selama ini kita kenal. Jenis orang
kuat ini harus "jodoh" dengan impian masyarakat Indonesia sekarang.


Kita tidak bisa lagi meniru orang kuat bangsa-bangsa lain. Orang kuat itu
kontekstual. Orang kuat kita di masa lampau, belum tentu cocok dengan
konteks kebutuhan sekarang. Orang kuat yang kita cari kini, belum tentu akan
menjadi kuat sepuluh atau dua puluh tahun mendatang. Apalagi menjiplak orang
kuat dalam sejarah bangsa-bangsa lain. Mereka memiliki orang kuatnya
masing-masing. Setiap zaman melahirkan orang kuatnya sendiri. Nilai-nilai
sezaman membutuhkan kualitas orang kuatnya sendiri.

Namun, apakah "orang kuat", "orang baik", "orang saleh", "orang besar" itu?
Kebesaran, kebaikan, kekuatan, kesalehan itu suatu kualitas. Sebagai umumnya
kualitas, ia hanya dapat dikenali lewat pengalaman. Dan, pengalaman baru ada
bila ada pertemuan, bila ada peristiwa. Jadi, orang kuat itu kini sudah
harus menunjukkan kualitas kuatnya, meski dalam ruang terbatas. Tidak ada
orang kuat yang deus ex machina alias turun dari langit. Orang kuat itu
nyata, berdarah daging, kesesakan seperti sesak napas bangsa sekarang ini.
Ia ada di antara kita. Ia dialami dalam lingkungan terbatasnya. Tetapi, ia
jarum di setumpuk jerami.

Orang kuat itu nilai yang teralami, terasakan oleh lingkungannya. Ibarat
sebuah lukisan yang kuat, yang hanya terasa kekuatannya oleh penghayatnya.
Dikatakan, orang kuat itu kontekstual, karena nilai "kuat" yang dimiliki
orang itu sesuai dengan kebutuhan nilai-nilai masyarakatnya. Orang kuat itu
memiliki relasi nilai dengan masyarakat. Lantas, nilai-nilai manakah yang
diimpikan oleh masyarakat bangsa ini sekarang?

Masyarakat kini telah jemu dengan ketidakpastian, dengan wacana muluk dan
cerdas, dengan huru-hara, dengan kekerasan, dengan kepalsuan, dengan perang
kepentingan egoistik, dengan korupsi terang-terangan, dengan demonstran
bayaran, dan tidak mempercayai politikus yang mengatasnamakan rakyat.

Masyarakat kini menginginkan kepastian-kepastian. Apa yang tertulis, itulah
yang dilakukan. Apa yang diucapkan, itulah yang dilakukan. Ucapan dan
tulisan adalah contract social. Ucapan dan tulisan adalah hukum yang berlaku
buat semua, yang memerintah dan yang diperintah, si kaya atau si miskin.

Masyarakat kini juga tidak membutuhkan pameran kecerdasan dan pengetahuan,
tetapi tindakan yang berkualitas. Masyarakat membutuhkan rasa aman, rasa
dilindungi, rasa diperhatikan atau dipedulikan, rasa dimiliki. Masyarakat
menjunjung tinggi kejujuran, ketulusan tanpa pamrih, keikhlasan mengabdi,
pengorbanan pemimpin, keteladanan pemimpin. Masyarakat menginginkan
lenyapnya pembedaan-pembedaan, kotak-kotakan, menonjolkan kepentingan
golongan.

Masyarakat menginginkan terwujudnya kesatuan, meninggalkan subyektivitas
golongan, dan memfokuskan obyektivitas persoalan. Masyarakat tidak ingin
lagi mendengar berita korupsi yang spektakuler. Ini amat menyakitkan.
Tega-teganya menilep uang negara, uang rakyat yang menanggung utang.
Masyarakat menginginkan wakil-wakilnya, yang mengatas- namakan diri mereka,
untuk memahami isi hati masyarakat yang sebenarnya, bukan mendengarkan suara
hati sendiri. Negara ini milik bersama, milik rakyat dan milik yang
memerintah, penderitaan rakyat adalah penderitaan pemimpin, keinginan rakyat
adalah keinginan pemimpin. Pluralisme itu dalam nilai-nilai idealnya, tetapi
yang terpenting, bagaimana nilai-nilai ideal kelompok dan golongan
melahirkan nilai kualitas yang dapat dirasakan bersama oleh keseluruhannya.


***
ITULAH keinginan rakyat sekarang ini, krisis ini. Dan, rakyat membutuhkan
pemimpin yang mengandung nilai-nilai keinginan itu. Rakyat menginginkan
pemimpin yang tegas, berani karena benar, benar karena menurut hukum. Rakyat
tidak butuh pameran intelektual, tetapi buah dari keintelektualan mereka.
Buah intelektual adalah kualitas perbuatan pribadi. Tidak peduli IQ-nya
rendah atau ilmunya dari "setan", yang penting berani bertindak tegas sesuai
contract social, jujur, tanpa pamrih, mengutamakan kepentingan bersama, jauh
dari aji mumpung, berani tidak populer, bahkan berani mati demi keselamatan
dan kesejahteraan rakyat.

Rakyat tidak menginginkan kualitas pemimpin yang sekarang ini. Pemimpin yang
arogan, hanya peduli pada golongan sendiri, pemimpin egoistik, punya telinga
bukan untuk mendengar, punya mata bukan untuk melihat, kecuali golongan
sendiri, kelompok sendiri, daerah sendiri, konco-konco usahanya sendiri.
Pemimpin yang mabuk kuasa. Pemimpin mumpung. Pemimpin yang takut kehilangan
kursi.

Pemimpin yang diinginkan adalah yang kuat karakternya, yang tidak ragu untuk
membenarkan dan menyalahkan. Pemimpin yang tidak melihat batas-batas
golongan dan kepentingan. Pemimpin transenden, pemimpin ambivalen. Berkuasa
tetapi tidak menguasai. Kaya tetapi tidak memiliki. Cerdas tetapi
menyembunyikan kecerdasannya. Jujur tetapi rendah hati. Berbicara melalui
kerja. Termasyhur tetapi berlaku biasa. Berprinsip tetapi terbuka. Berpartai
tetapi untuk semua. Menghukum dengan menangis. Berdoa bukan untuk dirinya.

Karakter pemimpin yang demikian itu mungkin banyak kita miliki. Tetapi,
pemimpin bangsa adalah juga pemimpin transenden. Ia tidak bisa memunculkan
dirinya dengan usahanya sendiri, lebih-lebih di masa-masa krisis besar
bangsa ini. Orang yang terlalu percaya pada kerja rasionya, bahwa pemimpin
itu dapat diperjuangkan, patut dicurigai kejujuran dan otentitas
kepemimpinannya. Ia bukan lagi pemimpin transenden. Orang kuat adalah orang
panggilan. Siapa yang memanggil? Hati nurani dan jeritan kebutuhan rakyat
sendiri. Pemimpin sejati tidak ingin menjadi pemimpin. Pemimpin sejati akan
merasa sebagai korban bila terpilih memimpin. Dia akan memilih memimpin di
konteksnya sendiri, karena merasa di situlah tempatnya.

Bila kualitas pemimpin yang demikian itu terpilih menjadi orang kuat, maka
kebesarannya akan diuji. Kualitas pemimpin yang demikian itu akan ada di
tengah-tengah dualisme yang plural ini. Ia akan "terjepit" antara yang kanan
dan kiri, antara mayoritas dan minoritas, antara yang keras dan yang lunak.
Kreativitas dan kepekaannya diuji. Di saat-saat inilah keberanian dan
ketegasannya terhadap kebenaran mendapatkan tantangannya. Krisis-krisis
besar kepemimpinannya semacam ini, tidak jarang memakan jiwanya sendiri.

Tarik-menarik kepentingan dualistik yang plural inilah ciri khas konteks
Indonesia. Orang kuat Amerika mungkin hanya menghadapi dualisme dua partai,
tidak ada lagi dualisme rasial. Tetapi, di Indonesia masih menggejala secara
api di bawah sekam, dualisme partai-partai, dualisme kepercayaan, dualisme
rasial, dualisme bagian barat dan bagian timur, dualisme anak emas dan anak
tiri. Namun, api di bawah sekam ini akan mudah dipadamkan bila tidak datang
tiupan. Belajar dari pengalaman sejarah, orang Indonesia dasarnya terbuka,
toleran, mudah diatur, mudah patuh, tidak banyak menuntut, suka mengakurkan
hal-hal dualistik, siap menerima yang asing, tidak menyukai ekstreminitas.
Karena sifat-sifatnya itu, bangsa Indonesia cenderung malas berpikir,
akibatnya mudah dihasut. Pemikir-pemikir otentik Indonesia itu jarang muncul
di gelanggang dunia, karena lebih banyak mengiyakan, menerima, daripada
menidakkan dan kritis. Yang dualistik itu adalah pasangan komplementer.

Orang kuat Indonesia adalah pemimpin yang memenuhi kebutuhan "dunia tengah"
manusia Indonesia, di tengah-tengah krisis ini. Dunia tengah itu
menyeimbangkan kembali gerak ekstremitas ketidaksukaan terhadap karakter
pemimpin-pemimpinnya yang sekarang. Gerak yang terlalu mengkanan ini, harus
ditarik kembali ke arah kiri. Dan itu hanya dapat dilakukan oleh orang kuat,
yang berkarakter sederhana, jujur, tulus, memikirkan rakyat kecil, seperti
Bung Hatta. Kharismatik dan patriotik seperti Bung Karno. Berani dan
blak-blakan seperti Gus Dur. Kosmopolit seperti Syahrir. Transenden seperti
Mangunwijaya dan Aa Gym. Repot.



JAKOB SUMARDJO Budayawan