[Nasional-m] Tak Ada Alasan Dongkel Akbar

Ambon nasional-m@polarhome.com
Fri Sep 6 02:48:02 2002


Suara Karya

Tak Ada Alasan Dongkel Akbar
@ Vonis Hakim Di Luar Dakwaan Jaksa

Jumat, 6 September 2002
JAKARTA (Suara Karya): Azas praduga tak bersalah (presumption of innocence)
sebagai prinsip hukum universal yang juga dianut sistem hukum Indonesia
perlu dijunjung tinggi. Taat asas terhadap prinsip itu, maka tidak ada
alasan untuk mendongkel kedudukan Akbar Tandjung dari jabatan Ketua DPR,
karena belum ada keputusan yang berkekuatan hukum tetap atas diri Akbar.
Penegasan ini disampaikan Ketua Fraksi Partai Golkar (FPG) DPR Marzuki
Achmad, Kamis (5/9), di Jakarta. "FPG bertekad menolak semua upaya untuk
menggusur Akbar Tandjung karena vonis yang dijatuhkan pengadilan belum
merupakan keputusan final yang bersifat tetap. Masih ada upaya banding,
kasasi dan PK bila perlu," katanya.
Sesuai pasal 57 Tata Tertib (Tatib) DPR, menurut Marzuki, tidak ada alasan
untuk membentuk Dewan Kehormatan karena tidak diatur mengenai penggusuran
seorang ketua DPR, melainkan hanya anggota Dewan saja. Ia melihat,
upaya-upaya untuk menggusur Akbar Tandjung dari kedudukannya sebagai Ketua
DPR merupakan upaya politicking dan mengandung unsur balas dendam serta
unsur persaingan tidak sehat menjelang Pemilu 2004.
Marzuki mengemukakan, fraksinya saat ini berupaya menjaga solidaritas
anggota, menjaga semangat juang dan hubungan harmonis dengan sesama anggota
dewan dari fraksi-fraksi lainnya. "Kami tak ingin target terhambat karena
semangat kerja menurun, ngambek atau marah," ujarnya.
Sementara itu, Presiden Megawati Soekarnoputri menolak mengomentari vonis PN
Jakarta Pusat terhadap Akbar yang dijatuhi hukuman penjara tiga tahun.
"Pemerintah tidak punya wewenang untuk bicara tentang vonis terhadap Akbar,
karena itu merupakan wewenang pengadilan," kata Megawati, seperti dilaporkan
Antara seusai penutupan KTT Pembangunan Berkelanjutan di Johannesburg,
Afsel.
Didampingi Menko Perekonomian Dorojatun Kuntjoro-Jakti, Sekretaris Negara
Bambang Kesowo serta Menteri Luar Negeri Hassan Wirayuda, Megawati
mengatakan, "Tolong tanya saja pada mereka yang terlibat dalam proses
peradilan tersebut".
Bukan Korupsi


Pakar senior di bidang hukum pidana dari Universitas Trisakti Jakarta Prof
Dr Andi Hamzah SH berpendapat, vonis tiga tahun penjara untuk Akbar Tandjung
terlalu berat, mengingat Akbar Tandjung sebenarnya hanya melanggar hukum
administrasi dan bukan melakukan pelanggaran tindak pidana korupsi. "Penjara
tiga hari saja bagi orang yang sebenarnya tidak bersalah sangatlah berat,
apalagi tiga tahun. Itu lama sekali," katanya dalam diskusi bertajuk
"Tinjauan Vonis terhadap Akbar Tandjung," di Jakarta, kemarin.
Andi Hamzah menyatakan, seharusnya apa yang diputuskan majelis hakim dalam
memutus perkara adalah sesuai surat dakwaan jaksa. Jangan sampai memutus
perkara di luar dakwaan jaksa. "Mau divonis berapapun sebenarnya tidak
masalah, asalkan sesuai aturan main," katanya.
Dalam surat dakwaan, demikian Andi Hamzah memberikan analisisnya, Akbar
Tandjung, Dadang Sukandar dan Winfried Simatupang didakwa memperkaya diri
dan orang lain. Sedangkan hakim dalam putusannya menyatakan ketiganya tidak
memperkaya diri dan orang lain. Tetapi di sisi lain, hakim justru menyatakan
ketiganya terbukti melakukan tindak pidana. "Jadi, ada semacam keraguan pada
hakim karena terdakwa dianggap melanggar tindak pidana korupsi, namun tidak
terbukti memperkaya diri," ujarnya.
Menurut Prof Andi Hamzah, kalau pun Akbar Tandjung dianggap atau diyakini
menggelapkan uang itu sehingga divonis tiga tahun, maka hal itu harus
menjadi bagian dari surat dakwaan. "Tetapi, ternyata dalam surat dakwaan
tidak menyebut-nyebut bahwa Akbar Tandjung menilep uang itu," tuturnya.
Dakwaan Mentah


Andi Hamzah, ahli hukum pidana yang juga berpengalaman lama menjadi jaksa
itu menilai bahwa surat dakwaan jaksa sebenarnya masih mentah dan tampak
dibuat sangat terburu-buru. "Mungkin karena adanya tekanan dari publik agar
kasus itu segera dilimpahkan ke pengadilan. Dakwaan yang mentah itu tidak
mampu mengungkap apa sebenarnya yang terjadi dengan Rp 40 miliar itu,"
katanya.
Ahli hukum dari Universitas Indonesia T Nasrullah menduga, vonis tiga tahun
terhadap Akbar Tandjung kemungkinan dimaksudkan untuk sementara meredam
emosi publik. Sebab, kalau Akbar diputus bebas dikhawatirkan akan terjadi
"keributan." Tetapi, itu sebenarnya hanyalah suatu kekhawatiran belaka.
Hakim tentu tidak boleh menjadikan hal itu sebagai bahan pertimbangan.
Mengenai adanya tekanan agar Akbar mundur dari posisinya sebagai Ketua DPR,
Nasrullah berpendapat hal itu adalah persoalan politik. "Pasal 8, UU tentang
Kehakiman menyebutkan seseorang tidak bisa dianggap bersalah sebelum ada
keputusan hukum tetap. Sampai sekarang Akbar masih terdakwa sampai ada
keputusan berkekuatan hukum tetap," katanya tegas.
Jaksa Agung MA Rachman tidak bersedia menilai vonis terhadap Akbar Tandjung.
Ia menyerahkan sepenuhnya upaya hukum banding pihak kejaksaan kepada jaksa
penuntut umum (JPU) Fachmi SH. "Seperti yang saya dengar, Fachmi mengatakan
bahwa ia masih pikir-pikir dalam sepekan ini untuk banding atau tidak,"
ujarnya.
Akbar Tandjung sendiri, kemarin, tetap menjalankan aktivitasnya sebagai
Ketua DPR. "Saya akan terus melaksanakan tugas-tugas saya, baik sebagai
Ketua DPR maupun sebagai Ketua Umum DPP Partai Golkar," katanya. Akbar tetap
berpendirian bahwa vonis itu belum final, karena dirinya telah menyatakan
banding. Karena itu, ia minta kepada masyarakat agar tidak memposisikan
dirinya sebagai orang yang sudah bersalah sampai ada keputusan pengadilan
yang berkekuatan hukum tetap.
Sementara itu, DPD Golkar Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat sepakat
tetap mendukung kepemimpinan Akbar Tandjung hingga 2004 sesuai amanat Rapim
Golkar, Februari lalu. Mereka berpendapat, putusan PN Jakarta Pusat belum
final dan berharap Akbar akan menang dalam pengadilan tingkat banding.
(J-3/H-3/K-1)