[Nasional-m] Antara Megawati dan Arroyo

Ambon nasional-m@polarhome.com
Fri Sep 6 23:36:04 2002


Sinar Harapan
6 Sept. 2002

Antara Megawati dan Arroyo
 Oleh
Mustofa Muchdhor

Bagaimana seorang pemimpin merespons suatu peristiwa yang melibatkan warga
negaranya, pada akhirnya akan menentukan kadar kepemimpinan dan
kebijaksanaan (wise) sang pemimpin tersebut. Dalam peristiwa pemulangan
tenaga kerja ilegal dari Malaysia ke negara asal lantaran negeri jiran itu
menerapkan Undang-Undang Keimigrasian yang baru, misalnya, muncul dua sikap
yang berbeda dari dua pemimpin, Indonesia dan Filipina—dua negara yang
warganya banyak dideportasi.
Kedua pemimpin itu, Presiden Megawati Soekarnoputri dan Presiden Gloria
Macapagal-Arroyo, sama-sama memiliki pelbagai persamaan. Keduanya perempuan
yang memiliki peluang besar untuk mereformasi negerinya yang kini dilanda
krisis. Keduanya juga putri mantan presiden. Ayah Megawati adalah Soekarno,
presiden pertama RI. Sedangkan ayah Gloria Macapagal-Arroyo adalah Diosdado
Macapagal, yang juga pernah menjadi Presiden Filipina tahun 1960-an. Dari
segi pendidikan, Arroyo lebih beruntung ketimbang Megawati. Arroyo
menyelesaikan studinya di Universitas Georgetown, Washington. Ia bahkan
berhasil meraih gelar doktor di bidang ekonomi dari Universitas Filipina.
Sedangkan Megawati tak menyelesaikan studi S1-nya—Fakultas Pertanian,
Universitas Padjadjaran (1965-1967) dan Fakultas Psikologi Universitas
Indonesia (1970-1972), keduanya tak terselesaikan.
Pada masa pemerintahan Corazon Aquino, Arroyo diangkat sebagai Wakil Menteri
Perdagangan dan Industri. Ini merupakan karier awalnya di bidang
pemerintahan dan politik. Pada tahun 1992, ia terpilih sebagai anggota
Senat—satu posisi yang berhasil dipertahankan kedua kalinya pada tahun 1995.
Pada tahun 1998, ia memenangkan pemilihan umum sebagai wakil presiden,
mendampingi Presiden Joseph Estrada. Nasib akhirnya mengantarkan dirinya ke
kursi presiden setelah Estrada pada Januari 2001 kena impeach karena tuduhan
suap dari judi gelap jueteng.
Adapun Megawati, memulai karier politiknya pada tahun 1987. Ketika itu
Partai Demokrasi Indonesia (PDI) sedang mencari sosok yang bisa menaikkan
suaranya yang kempes. Untuk itu, dipasanglah nama Mega sebagai salah seorang
calon legislatif pada daerah pemilihan Jawa Tengah. Kharisma Soekarno
tampaknya cukup ampuh untuk dijual ke publik. Ini dibuktikan dengan
keberhasilannya mendongkrak popularitas dan suara PDI. Singkatnya, Mega
berhasil duduk di Senayan. Pada tahun itu pula ia terpilih sebagai Ketua DPC
PDI Jakarta Pusat.
Tapi, eksistensi Mega di Gedung DPR/MPR tak banyak gaungnya. Tak ada
prestasi yang mengagumkan dari kehadirannya sebagai wakil rakyat. Ia bukan
saja banyak diam, tapi juga suka mangkir. Tapi bintang Mega sebagai politisi
menjadi berkilau ketika tahun 1993 ia berhasil menjadi Ketua Umum DPP PDI.
Naiknya Mega ini tak mulus. Seusai Konggres PDI di Medan yang tidak
menghasilkan keputusan politik apa-apa, PDI lantas menyelenggarakan Kongres
Luar Biasa di Surabaya. Pada kongres inilah Mega berhasil mengalahkan Budi
Hardjono, yang didukung oleh pemerintah untuk menggantikan Soerjadi.
Singkat kata, Mega akhirnya terpilih sebagai Ketua Umum PDI. Status Mega ini
dikukuhkan lagi oleh Musyawarah Nasional PDI di Jakarta. Tapi dalam
perjalanannya, pemerintah (tepatnya Soeharto) tidak puas dengan terpilihnya
Mega sebagai Ketua Umum PDI. Karena itu, Mega pun didongkel dalam Kongres
Medan tahun 1996. Kongres yang digerakkan oleh Fatimah Ahmad itu menaikkan
kembali Soerjadi. Peristiwa ini akhirnya berujung pada konflik internal yang
berlarut-larut dan berakhir tragis. Kantor PDI di Jalan Diponegoro dikuasai
oleh pihak Mega.
Namun, Soerjadi yang didukung pemerintah mengultimatum akan merebut secara
paksa kantor DPP PDI yang dikuasai kubu Mega itu. Ancaman Soerjadi itu
ternyata bukan gertak sambal. Pada 27 Juli 1996 kelompok Soerjadi merebut
paksa kantor DPP PDI dari pendukung Mega. Aksi penyerangan yang kemudian
dikenal dengan peristiwa 27 Juli itu menyebabkan banyak pendukung Mega
meninggal dan ”hilang”. Jakarta ketika itu benar-benar mencekam. Ketika
Soeharto tumbang dan Habibie menggantikannya, Mega mendirikan PDI Perjuangan
(PDIP).
Sejak peristiwa itu, pamor Mega naik drastis. Pertama, ia menjadi simbol
perlawanan terhadap status quo. Kedua, ia dimitoskan sebagai ”dewi” keadilan
oleh pendukung Mega yang notabene dari kalangan wong cilik. Ini tampak pada
pemilihan umum pertama pasca Orde Baru. Jargon ”pejah gesang nderek Mega”
diusung oleh massa PDIP. Dukungan terhadap Mega tampak mendapat
legitimasinya pada Pemilu 1999 yang dinilai paling demokratis itu. Langkah
Mega ke kursi presiden tampaknya tinggal menghitung hari. Tapi apa boleh
buat, 33 persen suara yang dikantongi PDIP ternyata tak cukup untuk
mengantarkannya ke istana. Melalui serangkaian manuver Poros Tengah, ia
dikalahkan oleh Abdurrahman Wahid, ”kakak” Mega. Singkat kata, ia cuma dapat
kursi wapres. Posisi ini tampaknya bisa mengobati massa Mega yang marah
karena Mega gagal menjadi presiden. Seperti Arroyo, Mega akhirnya
menggantikan Abdurrahman karena ia dipaksa turun oleh SI MPR. Ia resmi
menjadi presiden pada Senin Kliwon, 23 Juli 2001.

Runtuhnya Mitos
Naiknya Mega menjadi presiden tak luput dari serangkaian mitos. Pertama,
mitos tentang kembalinya pulung kerajaan yang murca (menghilang sementara)
yang dimiliki oleh Soekarno (Kuntowojoyo: 2002). Kedua, mitos sebagai simbol
wong cilik dan tumbal (korban) Orde Baru. Mitos ini patut dipertanyakan
kembali kini setelah Mega memegang kendali pemerintahan. Pandangan bahwa
seorang yang pernah menjadi korban penindasan, akan berpihak pada
orang-orang tertindas ketika dirinya berkuasa, ternyata tak terbukti. Yang
berlaku justru hukum besi kekuasaan: cenderung korup, menolak perubahan dan
mengawetkan kekuasaan.
Selama menjabat presiden, kita sulit menemukan kebijakan Mega yang pro
rakyat kecil. Ia lebih sering mengeluarkan kebijakan ekonomi yang pro-IMF.
Pencabutan subsidi, misalnya.

Dalam bidang politik, Mega juga kerap menerapkan cara-cara lama: otoriter
dan monolitik. Kekecewaan beberapa tokoh penting di tubuh PDIP—Dimyati
Hartono, Eros Djarot, Sophan Sophiaan, Indira Damayanti, misalnya,
menunjukkan hal ini. Di tingkat arus bawah, kekecewaan rakyat kecil juga
tampak menguat. Ini bisa dilihat dari sikap kukuh Mega yang mempertahankan
Sutiyoso. Sikap ini tampak aneh dan melawan rumus gerakan pro-demokrasi.
Bagaimana mungkin Mega mencalonkan kembali orang yang diduga kuat terlibat
dalam peristiwa 27 Juli? Lupakah Mega akan nasib tragis pendukungnya yang
menjadi korban keganasan militer pada peristiwa itu?
Dan kini kekecewaan itu tampak kian mengkristal menyusul sikap diam Mega
dalam peristiwa pemulangan ratusan ribu TKI dari Malaysia. Jika Arroyo
terbang ke Bongao—satu wilayah paling selatan di Filipina— untuk menerima
kedatangan lebih dari seribu warganya yang diusir dari Malaysia, menjemput
mereka, dan membesarkan hati mereka, Megawati malah lebih memilih untuk
melanglang buana ketimbang mengunjungi kamp-kamp penampungan TKI. Di jalur
diplomasi, Arroyo pun berhasil meyakinkan Mahathir untuk menghentikan
sementara pemulangan imigran gelap ke Filipina. Langkah ini dimaksudkan
untuk memudahkan penyelidikan terhadap dugaan adanya penyiksaan terhadap
para pekerja Filipina.

lawan politiknya
Sikap Arroyo tersebut amat kontras dengan Presiden Megawati dan elite
politik lainnya. Rakyat di sini memang hanya dikunjungi ketika masa kampanye
tiba. Mereka hanya dianggap ada ketika kekuasaan seorang pemimpin terancam
tamat. Kata ”rakyat” memang kerap disebut dalam pidato-pidato politik, tapi
nasibnya tak pernah sungguh-sungguh diperjuangkan dalam kebijakan
politiknya. Ketika rakyat menderita atau sedang ditimpa musibah, elite kita
justru mempolitisasi penderitaan mereka untuk menyerang lawan politiknya,
dan bukan mencari cara untuk menyelamatkan rakyat. Kalaupun akhirnya datang,
itu karena desakan publik. Jadi amat reaktif sifatnya.
Puluhan TKI meninggal, ratusan lainnya terserang penyakit, dan sisanya
didera ketidakpastian masa depan. Mereka adalah penyumbang devisa, alat
legitimasi bagi kepemimpinan seseorang, dan suara-suara mereka diperebutkan
dalam pemilu. Tapi kini ketika penderitaan datang, pemimpin mereka malah
melupakannya dan menganggap mereka sebagai beban negara yang memalukan.
Sesungguhnya mereka terlunta-lunta di negeri orang karena negara dan
pemimpinnya tak pernah memperhatikan kesejahteraan mereka.
Arroyo berhasil menunjukkan sikap empatinya terhadap penderitaan rakyat. Ia
menunjukkan nilai-nilai feminin dalam kepemimpinannya—kooperatif, bersikap
empati, sensitif, people-oriented, dan reflektif.
Sayang ketika rakyat meminta semua itu dan kondisi mereka sangat kritis,
elite politik kita tetap tak mau memberikannya.
Penulis adalah peneliti pada Forum Anak Bangsa Jakarta.