[Nasional-m] Mendamba Sikap Kenegarawanan Pemimpin Bangsa

Ambon nasional-m@polarhome.com
Fri Sep 6 23:36:33 2002


SUARA PEMBARUAN DAILY

Mendamba Sikap Kenegarawanan Pemimpin Bangsa
Oleh Putera Manuaba

Tatkala menjadi keynote speaker pada diskusi yang diadakan Sekretariat
Bersama Persaudaraan Muda-Mudi Vihara Budhayana Indonesia (Sekber PMVBI)
beberapa waktu lalu, cendekiawan Muslim Nurcholish Madjid kembali menegaskan
keprihatinannya perihal negara bangsa kita yang miskin negarawan. Padahal,
baginya, di tengah kondisi multikrisis bangsa seperti sekarang ini,
kepemimpinan kaum negarawan mutlak dibutuhkan. Sebuah negara bangsa tanpa
negarawan, cenderung akan membuat dirinya terfragmentasi, terserpih-serpih,
dan tak terarah.
Keprihatinan tokoh yang akrab dipanggil Cak Nur itu tentunya juga menjadi
keprihatinan kita bersama. Bagaimana tidak, andaikata kita mau menyadari,
sesungguhnyalah bangsa ini benar-benar tengah mengalami krisis kepemimpinan
yang serius. Secara empirik, pelaksanaan reformasi di segala bidang
seakan-akan terhenti, jalan di tempat, dan "membeku" menjadi wacana-wacana
utopia, karena kurang disikapi dengan tindakan praksis. Hal seperti inilah
barangkali yang di abad lampau menjadi satu bentuk kegelisahan
filsuf-sosiolog Karl Marx ketika mengkritisi para pemikir utopis
pra-Marxian. Kata "reformasi" yang baru saja menggema keras seolah-olah
menjadi kata bertuah sampai ke pelosok-pelosok di negeri ini, kini
kehilangan pamornya, dan bahkan sekarang orang-orang sudah mulai jarang dan
"malu-malu" mengucapkannya lagi.
Di tengah kelangsungan hidup negara-bangsa kita yang tak jelas platform dan
program prioritas utamanya, negara-bangsa ini terasa hidup tertatih-tatih,
apalagi karena dirinya lebih banyak menjadi objek penderita, terutama bagi
mereka yang gila kekuasaan dan harta. Kaum itu ada dan menyebar di berbagai
lembaga negara (baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif). Mereka
seakan-akan tidak peduli dengan pentingnya semangat nasionalisme,
kebangsaan, dan keindonesiaan. Padahal semestinya, sebagaimana yang
dikatakan Ben Anderson, berlangsungnya kehidupan suatu negara-bangsa secara
ideal manakala orang-orang memiliki imajinasi tentang adanya suatu bangsa.
Negara-negara adalah komunitas politik yang diimajinasikan, terbatas, serta
menjamin kebebasan dan kemerdekaan hak asasi manusia.
Negara-bangsa adalah "rumah rakyat" yang sebagiannya mewujud dalam
simbol-simbol kenegaraan dan kebangsaan yang berjiwa. Jika ada pembayangan
atas bangsa-bangsa semacam itu, niscaya pemimpin akan memperhatikan
pentingnya negara-bangsa dijaga dengan segenap jiwa raga kebangsaan,
sehingga ada ketulusan, keikhlasan dan pengorbanan yang menghiasi dirinya
selaku pemimpin.
Kurang Kondusif
Pada saat ini Tampak model kepemimpinan yang dipergunakan dalam pengelolaan
negara-bangsa kita adalah belum mengedepankan sikap kenegarawanan.
Kepemimpinan yang selama ini dilaksanakan lebih mengikuti model kepemimpinan
politisi, dan ini agaknya kurang kondusif untuk situasi saat ini, tak hanya
karena keniscayaan bangsa kita yang serba pluralistik tetapi terutama karena
kondisi negara-bangsa kita yang tengah mengalami multikrisis. Dalam realitas
empirik nampak bahwa kepemimpinan itu cenderung lebih mementingkan
kepentingan pribadi dan golongan. Kepentingan yang lebih luas dan kompleks,
yang menyangkut kepentingan bangsa dan rakyat kecil, tampak kurang
terakomodasikan. Model kepemimpinan itu juga sangat potensial bisa melakukan
tindakan diskriminatif.
Ditambah lagi dengan semaraknya politik aliran, yang mewujud dalam sistem
kepartaian dan kepemimpinan, juga semakin "mengancam" keutuhan bangsa
sebagai sebuah bangsa yang bineka. Aliran-aliran yang masuk dalam sistem
politik kepartaian itu, tanpa tersadari akan berdampak pada terbangunnya
jurang atau sekat pemisah yang membuat rakyat tak bebas memilih dan
cenderung menjadi terfragmentasi, ibarat perahu retak.
Dampak lainnya, loyalitas rakyat nampak mengalami pergeseran. loyalitas pada
negara-bangsa yang notabene harus semakin diteguhkan justru bergeser menjadi
loyalitas buta misalnya pada pemimpin partai, sehingga eksistensi
negara-bangsa seakan-akan ditinggalkan begitu saja. Kendati negara-bangsa
masih dilibatkan, tetapi keberadaannya hanyalah akan diperlakukan sebagai
objek kepentingan.
Yang jelas, sistem aliran politik itu memang hanya akan menambah sulit
munculnya pemimpin yang berkapasitas, berkualitas, dan bersikap sebagai
negarawan. Untuk itu, dalam kondisi negara-negara seperti ini, sesungguhnya
alangkah baiknya sistem politik aliran itu ditinggalkan saja, agar
memungkinkan munculnya pemimpin yang berkarakteristik sebagai negarawan.
Mengapa demikian? Oleh karena kepemimpinan negarawan lebih mementingkan
rasionalitas, profesionalitas, intelektulitas, dan nasionalitas. Negara,
sebagai satu bentuk entitas dan organisasi modern, sebenarnya pengelolaannya
tak membutuhkan hal-hal yang bersifat irasional. Irasionalitas mungkin hanya
diperlukan sebatas untuk membangkitkan dan memupuk jiwa dan semangat diri
untuk dapat bersikap rasional, jujur, tulus, objektif, dan bijaksana.
Agar reformasi dapat berjalan dan multikrisis dapat teratasi, maka memang
sebaiknya negara-bangsa ini dipimpin oleh kaum negarawan, bukan oleh
politisi. Jika ada kesadaran semacam itu, seharusnya para politisi dapat
mengembangkan jiwa, semangat, dan sikap pengabdiannya menjadi negarawan.
Sebagai pemimpin, ia harus memperjuangkan nasib seluruh rakyat secara
netral, tulus dan tanpa pamrih. Ia harus dapat memposisikan dirinya bukan
lagi sebagai wakil dari golongan atau kelompok tertentu, tetapi wakil
seluruh rakyat yang beragam. Bagi seorang negarawan, pengabdian dan
perjuangan yang dilakukannya adalah demi kebaikan seluruh rakyat. Maka, di
sini juga berarti sudah terjadi lintassuku, agama, ras, dan aliran. Selain
itu, sudah tidak dipersoalkan lagi tentang mayoritas dan minoritas. Kaum
negarawan selalu akan memandang bahwa seluruh rakyat adalah rakyat
Indonesia, tanpa pilih kasih.
Berkoar-koar
Kini kita belum melihat ada pemimpin bangsa yang berkarakteristik negarawan,
yang mampu mengakomodasi kepentingan seluruh rakyat. Kita belum mempunyai
pemimpin yang terampil, baik dari segi kemampuan politik maupun kompetensi
yang relatif menjanjikan mampu membawa negeri ini keluar dari krisis. Walau
dalam wacana para pemimpin berkoar-koar menyatakan mewakili kepentingan
seluruh rakyat, namun realitasnya toh belum bisa bersikap netral terhadap
seluruh rakyatnya.
Seorang negarawan memang akan selalu mampu bersikap sportif. Misalnya ketika
kalah dalam berkompetisi secara sehat, ia harus dapat mengakui dan mendukung
kepemimpinan lawan politiknya selama pemerintahan berlangsung; dan bukan
sebaliknya. Dengan bersikap kenegarawanan, pastilah akan tertanam dalam
dirinya jiwa kesatria. Oleh karena itu, tujuan utama kaum negarawan bukanlah
terletak pada pencapaian kekuasaan, tetapi pada kemampuan mensejahterakan
dan membahagiakan rakyat.
Sekarang ini, kaum politisi nampak lebih berlomba-lomba mempertahankan dan
merebut kekuasaan, serta mencari celah agar dapat berkuasa. Nuansa
penyelenggaraan negara sangat dimeriahkan oleh atmosfer semacam itu. Mereka
lupa bahwa tugas utama terpenting sesungguhnya adalah kebaikan bersama
(general goodness), namun rakyat -terutama rakyat kecil- justru terabaikan.
Rakyat tetap saja sulit mengusahakan sesuap nasi. Rakyat tetap saja
sendirian.
Apabila target utama para pemimpin adalah kekuasaan, maka pastilah ada
kesulitan untuk menyelesaikan problem-problem besar yang membelit
negara-bangsa ini. Misalnya, korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), justru
menjadi semakin subur dan berani. Persoalan KKN seakan-akan sudah beres,
padahal sesungguhnya justru semakin parah.
Melihat kondisi yang demikian, negara-bangsa ini sesungguhnya memerlukan
format kepemimpinan yang baru, yakni kepemimpinan yang berkarakteristik
negarawan. Dengan sikap semacam itu, kita harapkan berbagai persoalan besar
bangsa yang menghadang dapat teratasi. Perlu diingat bahwa kekuasaan
bukanlah tujuan final, puncak, dan klimaks.
Yang jelas, dalam kondisi bangsa seperti ini, kita memang sangat membutuhkan
kaum negarawan tampil memimpin negeri ini di barisan paling depan agar roda
agenda reformasi dapat dijalankan dengan baik dan segera bisa terbebas dari
krisis. Dalam hal ini kaum negarawan adalah agen penting yang sangat
menentukan kelangsungan hidup negara-bangsa ini.
Penulis adalah pemerhati sosial-budaya, dosen Unair, dan Ketua Komunitas
Kajian Kebudayaan dan Masyarakat Unair, Surabaya.


Last modified: 6/9/2002