[Nasional-m] Prospek Agribisnis Dan Pelajaran Dari Kasus QSAR

Ambon nasional-m@polarhome.com
Sun Sep 8 22:36:03 2002


Suara Karya

Prospek Agribisnis Dan Pelajaran Dari Kasus QSAR
Oleh Ryan Kiryanto

Senin, 9 September 2002
DALAM situasi krisis, banyak orang menjadi lebih cerdas, namun tak sedikit
pula yang menjadi lebih bodoh. Yang cerdas dan punya moral baik, bisa
bertahan hidup secara berkecukupan dan hidup tentram. Sebaliknya, yang
"bodoh" dan berpikir picik, cenderung mencari jalan pintas untuk memperbesar
kekayaan, kendati harus menabrak rambu-rambu hukum.
Kasus dugaan penggelapan dana sekitar 6.500 investor senilai sekitar Rp 500
miliar oleh Haji Ramly Araby, Direktur Utama PT Qurnia Subur Alam Raya
(QSAR) dan kelompoknya cukup menggambarkan ilustrasi di awal tulisan ini.
Dengan janji-janji dan iming-iming yang muluk-muluk dan jelas-jelas tidak
masuk akal, ribuan pemodal kini gigit jari karena "mimpinya" untuk jadi
orang kaya baru hilang musnah.
Betapa tidak, dalam kondisi ekonomi belum pulih sepenuhnya, PT QSAR berani
menjanjikan keuntungan hingga 100 persen dari modal yang ditanamkan para
investor. Jelas iming-iming itu tidak masuk akal alias ngawur. Dalam kondisi
ekonomi normal saja rata-rata keuntungan usaha di sektor agribisnis hanya
sekitar 25 persen, apalagi di saat krisis ekonomi tengah berlangsung.
Maka, ketika para pemodal menuntut haknya untuk memperoleh bagian keuntungan
seperti dijanjikan, pengelola PT QSAR dengan berbagai dalih menyatakan tidak
mampu memenuhinya. Akhirnya kasus ini menjadi urusan aparat penegak hukum
karena diduga ada unsur penipuan yang merugikan investor.
Yang menarik, sebelum kasus ini mencuat dan menghebohkan jagad bisnis
Indonesia, dengan cerdas dan cerdiknya bos PT QSAR dan konco-konconya
menawarkan iklan ajakan berinvestasi di sektor agribisnis yang mereka
kelola. Untuk meyakinkan calon investor, kabarnya mereka "menjual" nama
pejabat tinggi pemerintah dan anggota legislatif yang dikabarkan pernah
meninjau lokasi perkebunan.
Dengan "menjual" nama sejumlah pejabat, pengelola PT QSAR seperti mendapat
beking dan dukungan sehingga semakin gencar dan nekad dalam "memasarkan"
tawaran iklan investasinya. Tak heran jika dalam waktu cukup singkat mampu
meraup dana sekitar Rp 500 miliar dari sekitar 6.500 investor. Bahkan
kabarnya dengan pendekatan keagamaan, bos QSAR mampu membuai para investor
miskin. Ini tampak dari diberlakukannya sistem pembagian keuntungan yang
mendasarkan diri pada prinsip syariah atau bagi hasil.
Akibatnya, ketika ada investor mengajukan permohonan pailit QSAR atas
ketidakmampuannya memenuhi kewajibannya atau wanprestasi, mereka baru
tersadar bahwa sudah terperangkap ke dalam kubangan investasi tanpa untung.
Dana yang mereka tanamkan untuk mendapatkan bagi hasil dari industri
agrobisnis QSAR kini semakin tidak jelas.
Padahal yang terjadi sebelumnya adalah hanya memanfaatkan masuknya investor
baru untuk menutup pembayaran bunga dan pembayaran uang pangkal bagi
investor yang masuk lebih awal. Bisnis ini sempat lancar, karena masuknya
investor baru. Bahkan jumlah dana yang masuk lebih besar. Orang yang sudah
mendapatkan bunga langsung menanamkan kembali dananya. Yang diambil cuma
bunga. Belakangan manajemen QSAR tak mampu memenuhi kewajibannya dan
tinggallah para investor gigit jari.
Kini setelah kasus QSAR terkuak, banyak kalangan mengkhawatirkan kasus ini
akan menjadi preseden buruk dalam investasi agribisnis. Para pengusaha
agribisnis lainnya yang secara profesional mengelola usahanya bisa terkena
getahnya akibat kasus memalukan itu. Ini ibarat efek domino, dimana satu
kasus bisa mengimbas luas.
Yang lebih dikhawatirkan adalah apabila kalangan lembaga kreditur -
khususnya perbankan - dan para investor terpengaruh lantas tidak sudi lagi
memasuki sektor agribisnis. Maklum, mereka akan berpikir ulang untuk
menanamkan modal ke sektor tersebut. Padahal, untuk membangun kepercayaan
membutuhkan waktu lama.
Jika kekhawatiran itu menjadi kenyataan, maka dampaknya akan sangat besar
bagi pemulihan ekonomi. Pertama, sumbangan sektor agribisnis menjadi menurun
drastis dalam pertumbuhan ekonomi. Kedua, terjadi penurunan tajam dalam
penyerapan tenaga kerja. Ketiga, berpengaruh negatif bagi sektor industri
lainnya yang terkait langsung dengan sektor agribisnis.
Untuk itu, agar efek domino kasus QSAR tidak meluas, pemerintah harus
melakukan tindakan konkrit terutama untuk menenangkan para investor yang
menuntut modalnya kembali. Di samping itu pemerintah juga harus melakukan
kampanye secara intensif untuk mengkomunikasikan bahwa sektor agribisnis
tetap menjadi salah satu sektor pendorong pemulihan ekonomi. Dan yang
terakhir, pemerintah juga harus bertindak tegas terhadap oknum-oknum yang
diduga terlibat dalam tindak penipuan ini tanpa pandang bulu.
Jika hasil penyidikan aparat kepolisian mengindikasikan adanya dugaan kasus
penipuan, harus segera diproses untuk memberikan keyakinan dan kepastian
kepada masyarakat bahwa pemerintah serius untuk menegakkan hukum. Hal ini
juga menjadi terapi kejut (shock therapy) bagi pengelola agribisnis lainnya
untuk tidak main-main dan merugikan investor.
Jangan sekali-kali (pejabat) pemerintah menutup-nutupi kasus yang memalukan
ini karena isu keterkaitan sejumlah petinggi pemerintah dan elit politik
dalam kasus ini. Dalam era reformasi dan keterbukaan, masyarakat butuh
keberanian pemerintah untuk membuka segala aib yang terjadi agar kepercayaan
rakyat tetap terpelihara dengan baik. Jangan sampai terjadi reduksi atau
erosi kepercayaan rakyat terhadap pemerintah karena ketertutupan pemerintah
sendiri dalam menyikapi berbagai kasus yang mengemuka akhir-akhir ini.
Kalangan pengusaha agribisnis juga mengkhawatirkan sikap pemerintah terhadap
perusahaan sejenis. Sebab, setelah terjadi kasus itu, muncul dugaan
pemerintah akan mengambil langkah tegas terhadap perusahaan-perusahaan
agribisnis yang lain. Mereka berharap pemerintah tidak pukul rata dalam
menilai perusahaan investasi agrobisnis. Alasannya, dalam kondisi
perekonomian seperti sekarang sebenarnya industri agrobisnis dapat mendukung
pergerakan sektor riil, khususnya dalam menyerap tenaga kerja. Dengan kata
lain, sektor agribisnis mampu berperan menjadi bumper atau penopang di saat
sektor riil secara umum sedang kelimpungan.
Pemerintah justru harus memberikan dukungan yang kuat baik melalui tindakan
nyata maupun melalui regulasi yang pro agribisnis. Bahwasanya ada
penyimpangan dalam praktik agribisnis yang merugikan para pemodal
sebagaimana menimpa QSAR, hal ini tidak bisa digeneralisasikan. Artinya,
masih banyak pengelola dan pelaku usaha di sektor agribisnis yang bertindak
jujur, profesional dan penuh integritas.
Sebagian kalangan perbankan menilai bahwa sektor agribisnis memiliki prospek
yang baik untuk dibiayai sehingga tidak ada alasan bagi mereka untuk
meninggalkan sektor tersebut. Bank-bank yang memiliki pengalaman dalam
membiayai sektor usaha agribisnis tentu tidak akan gegabah untuk berpaling
dari sektor agribisnis yang selama ini terbukti mampu berperan efektif
menopang kestabilan ekonomi.
Dengan sumber daya alam yang melimpah, sektor agribisnis justru harus
didorong agar mampu menjadi pilar utama pembangunan ekonomi bangsa. Sungguh
ironis apabila Indonesia dengan segala kelimpahan sumber daya alamnya justru
tidak mampu menjadi pemain agribisnis yang mumpuni di pentas global.
Banjirnya produk impor berbasis agribisnis seperti buah-buahan dan ikan
dalam bentuk utuh atau segar maupun dalam kaleng tentu merupakan pukulan
telak bagi pemerintah dan rakyat Indonesia. Lalu masuknya impor gula pasir
dalam jumlah besar juga memukul pengusaha gula pasir lokal. Hal-hal seperti
itu hanya bisa dibendung apabila pemerintah dan pihak-pihak terkait memiliki
visi, misi dan komitmen yang sama untuk mengembangkan sektor agribisnis
nasional.
Semoga keberpihakan nyata pemerintah dan pihak-pihak terkait tersebut dapat
menghapus mimpi buruk dan trauma masyarakat untuk berusaha di sektor
agribisnis menyusul terbongkarnya kasus QSAR.***
(Ryan Kiryanto, praktisi dan analis perbankan)