[Nasional-m] Retorika Moral Para Tokoh Publik

Ambon nasional-m@polarhome.com
Mon Sep 9 01:12:03 2002


Suara Merdeka
 Senin, 9 September 2002 Tajuk Rencana

Retorika Moral Para Tokoh Publik

- Gampang beretorika soal moral, tetapi lebih sering tidak menunjukkan
contoh dan keteladanan. Para ulama sering menyindir, orang-orang semacam itu
ibarat suka memberi mauidzoh namun uswah-nya kurang, senang memberi nasihat
tapi lemah memberi contoh. Panggung kehidupan politik dan kenegaraan kita
pun kini makin disesaki oleh para tokoh yang lantang berteriak tentang
nilai-nilai moral ketika memberikan penilaian tentang suatu kejadian. Pada
saat bersamaan, rakyat disuguhi sejumlah paradoks dalam tampilan para
pemimpin. Moralitas seakan-akan hanya menjadi materi wajib dalam retorika.
Yang terbentang adalah kesenjangan, seakan-akan urusan moral di negeri ini
berada di dua alam: wilayah ucapan dan wilayah perbuatan.
- Ada penilaian menarik dari pengamat politik Bachtiar Effendi. Dia
berpendapat, argumen moralitas di balik tuntutan agar Akbar Tandjung turun
dari kursi Ketua DPR selepas vonis tiga tahun penjara dalam kasus dana
Bulog, harus dilihat dan dilandasi moralitas atau politik. Jika berlandaskan
moral, justru patut dipertanyakan, sebab ketidakhadiran para anggota DPR
dalam sidang-sidang selama ini menunjukkan mereka tidak memiliki moralitas.
Bachtiar juga mempertanyakan mengenai peranan Amien Rais sebagai anggota
DPR. Apakah pernah menjalankan tugas sebagai anggota DPR? Dia juga menilai,
keberangkatan Presiden Megawati Soekarnoputri ke luar negeri pada saat
puluhan ribu TKI keleleran dan membutuhkan bantuan merupakan persoalan moral
serius.
- Kasus Akbar hanya merupakan bagian di antara banyak contoh persoalan
moralitas. Dari kisah para terpidana yang tetap "berjaya" pada posisi-posisi
penting lembaga publik, juga tak sedikit yang suka memelintir komitmen
penegakan hukum, pembelaan pada rakyat kecil dan retorika politik yang
sering membodohi rakyat. Benar bila Bachtiar Effendi menghadapkan argumen
moral itu pada perbandingan yang "seakan-akan" sepele: ketidakhadiran para
anggota DPR dalam sidang-sidang di Senayan. Bahkan ada contoh moral yang
sebenarnya lebih ekstrem, yaitu keengganan banyak anggota DPR untuk mengisi
formulir daftar kekayaan yang harus disampaikan kepada KPKPN. Padahal,
aturan itu merekalah yang membuat. Tetapi mengapa justru mereka yang
melanggarnya?
- Terlepas dari argumen apa pun, kendati belum ada aturan yang bisa
dijadikan referensi oleh kalangan DPR, Akbar Tandjung pun seharusnya tidak
hanya berlindung pada proses hukum yang sedang berjalan menuju ke banding.
Apakah di balik tuntutan agar dia mundur dari posisi ketua DPR itu ada
kepentingan atau tidak, kehormatan lembaga perwakilan rakyatlah yang
semestinya dipertaruhkan. Kepentingan yang menjadi agenda sejumlah
pesaingnya di Partai Golkar atau partai-partai politik rival Partai Beringin
adalah proses wajar yang harus dilihat sebagai peluang. Namun apabila Bung
Akbar berani mendengarkan seruan hati nurani, tentulah pilihan terbaik
adalah mengundurkan diri untuk tidak menguatkan fakta bahwa politik memang
telah benar-benar meminggirkan moral.
- Di pentas lain, perjalanan Presiden Megawati ke luar negeri justru pada
saat puluhan ribu TKI menghadapi berbagai persoalan serbadarurat di
penampungan, termasuk yang masih tertahan di Malaysia, juga memuat persoalan
moralitas. Kecaman dari berbagai kalangan tentang kelemahan sense of urgency
dan sense of crisis hakikatnya memang tidak dapat dilepaskan dari
kepentingan politik pencitraan para lawan politik Mega. Namun dari realitas
rakyat, sorotan itu sebenarnya tidak berlebihan. Simpati, empati, dan
keterlibatan seperasaan seperti yang dengan enerjik diperlihatkan Presiden
Filipina Gloria Arroyo kepada para tenaga kerja negerinya yang mengalami
masalah serupa, mengekspresikan nilai-nilai dan komitmen moral luar biasa.
- Tahu prioritas, memahami urgensi, walaupun tidak sedikit agenda lain yang
dianggap tak kalah penting merupakan ungkapan moralitas para pemimpin. Pada
Akbar Tandjung, urgensi utamanya adalah memberi contoh moral dengan komitmen
memahkotakan wibawa kelembagaan DPR. Rakyat hanya tahu dia telah divonis
tiga tahun penjara, dan lebih banyak yang awam mengenai tarik-menarik
pertarungan politik di balik dinamika itu. Sederet contoh tersebut, apakah
memang mengindikasikan krisis moral sedang melanda para pemimpin kita?
Berbohong, memelintir ucapan, mati-matian mempertahankan kedudukan,
menyerang yang lain untuk menutup kelemahan, dan semacamnya. Tidak
disadarikah, betapa para pemimpin berada di pusat-pusat perhatian yang
(seharusnya) dijadikan teladan?