[Nasional-m] Mengapa Rakyat Selalu Jadi Korban?

Ambon nasional-m@polarhome.com
Tue Sep 17 00:12:09 2002


Suara Merdeka
Selasa, 17 September 2002 Tajuk Rencana

Mengapa Rakyat Selalu Jadi Korban?

-Hari-hari belakangan ini, wacana yang berkembang di kalangan masyarakat
adalah membanjirnya gula impor di pasaran dalam negeri. Berbagai usulan
untuk mengatasinya pun ikut-ikutan membanjir, salah satunya usulan tentang
kenaikan bea masuk impor. Usulan itu melihat bahwa dengan dinaikkannya bea
masuk, secara otomatis gula impor akan berkurang. Sepintas lalu memang
logis, namun apakah cara itu tepat, karena boleh jadi persoalannya tidak
hanya terletak pada bea masuk, tetapi juga terkait dengan masalah yang lain.
Wakil Presiden Hamzah Haz pun serta merta menyatakan ketidaksetujuannya
terhadap usulan tersebut. Menurut dia, solusi harus lebih komprehensif dan
menyangkut restrukturisasi industri gula.
- Apa pun solusinya, yang pasti membanjirnya gula impor pastilah menyodok
nasib petani tebu. Mereka yang selalu mendambakan nilai tukar produksi
pertaniannya secara memadai itu pada kenyataannya selalu direpotkan oleh
keterjepitan pasar. Mereka tidak dapat menentukan harga jual, karena
mekanisme pasar memaksa me-reka hanya menerima penentuan harga oleh pa-sar.
Dulu bahkan harga diatur oleh Bulog, sehingga malah menekan harga di tingkat
petani. Karena itu, justru banyak petani yang enggan menanam tebu. Sebab,
nilai tukarnya rendah. Akibatnya, pasokan tebu ke pabrik gula pun menurun
dari waktu ke waktu. Wajar kalau saat ini tercatat 44 unit dari 60 unit
pabrik gula di seluruh Indonesia terancam bangkrut.
- Kasus gula impor hanyalah salah satu contoh dari sekian banyak kasus yang
selalu memakan korban rakyat kecil. Kasus serupa juga menimpa para petani
padi di pedesaan. Akhir-akhir ini mereka juga terdesak oleh masuknya beras
impor dari berbagai negeri, misalnya Thailand dan Vietnam. Persaingan sudah
demikian tajam, sehingga petani-petani dalam negeri itu pun dihadapkan pada
nilai tukar yang rendah. Persaingan sudah sangat bebas. Ini mengakibatkan
harga beras impor dengan kualitas tidak kalah dari beras dalam negeri, mampu
bersaing, bahkan mungkin lebih murah dari beras domestik. Kenyataan ini
mengakibatkan petani dalam negeri menjerit, nilai harga jual produk mereka
merosot karena tersaingi oleh beras-beras impor.
- Kasus yang lain tentu masih banyak, misalnya buah impor dari Thailand dan
mainan anak-anak dari Taiwan dan RRC. Dalam konteks yang lain, kasus-kasus
tersebut sebenarnya mencerminkan ketidaksiapan Indonesia menghadapi era
perdagangan bebas. Bangsa ini belum siap bersaing secara terbuka dengan
negara-negara lain, bahkan dengan negara-negara tetangga sesama anggota
ASEAN. Karena itulah, kita dapat membayangkan betapa runyam produksi dalam
negeri, termasuk pertanian, pada saat kawasan ini memasuki era perdagangan
bebas ASEAN (ASEAN Free Trade Area - AFTA) tahun depan. Kita bisa bayangkan,
betapa berat nasib para petani dan rakyat kecil yang lain, yang selama ini
selalu menjadi korban dari laju pembangunan.
- Mengapa rakyat kecil selalu menjadi korban? Itulah pertanyaan yang sangat
layak kita ajukan kepada para pemimpin. Para elite, yang di tengah-tengah
kesusahan rakyatnya justru asyik-masyuk dengan urusan mereka sendiri. Ada
yang senang bepergian ke luar negeri dengan berbagai macam alasan, ada yang
asyik meng-urusi proyek bernama QSAR, ada yang asyik dengan posisinya
sebagai terdakwa, ada pula yang sibuk mengurusi konflik partai. Para elite
itu asyik dengan dunianya. Waktu mereka habis untuk mengurus masalah yang
sering tidak berkaitan sama sekali dengan nasib rakyat, seperti nasib para
petani tebu, petani padi, petani buah-buahan, dan juga para perajin yang
tidak lagi menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
- Benar kata John Naisbitt tentang paradoks-paradoks yang sedang terjadi.
Bangsa ini mungkin sedang diterpa badai paradoks itu. Ada sekelompok orang
yang hidup bermewah-mewah, menghamburkan-hamburkan uang, tetapi ada
sekelompok lain, yang jumlahnya lebih banyak, yang harus hidup
pontang-panting. Kalau kondisi itu terus-menerus terjadi, apa bedanya dari
Orde Baru? Dulu dikatakan pembangunan hanya menjadikan rakyat sebagai objek,
sehingga rakyat dijadikan korban. Lalu, apa bedanya sekarang, kalau toh
rakyat kecil tetap menjadi korban? Kita hanya dapat mengimbau semua pihak
untuk merenungi kenyataan ini. Janganlah globalisasi, perdagangan bebas, dan
sejenisnya, malah membuat rakyat kecil lebih menderita.