[Nasional-m] Sistem Perekrutan Anggota Polri

Ambon nasional-m@polarhome.com
Tue Sep 17 00:12:16 2002


Suara Merdeka
Selasa, 17 September 2002 Karangan Khas

Sistem Perekrutan Anggota Polri
Oleh: Saratri Wilonoyudho

KASUS kebrutalan Bripka Alex Suwondo yang menembak mati tiga orang dan
kemudian dia sendiri juga bunuh diri, menarik untuk dicermati lebih lanjut.
Peristiwa ini mestinya makin membukakan mata para petinggi di jajaran
kepolisian untuk: pertama, menengok kembali sistem pembinaan dan pemantauan
rutin kondisi psikologis para anggotanya dan kedua mengakhiri proses
perekrutan para anggota Polri yang sampai saat ini ditengarai tidak
profesional.
Sederhana saja kalau kita iseng-iseng mengawasi para calon anggota Polri
atau mereka yang baru saja menyelesaikan pendidikannya, sekilas saja nampak
postur tubuh atau "aura" mereka sebagai seorang penegak hukum tidak
meyakinkan.
Dengan postur tubuh yang rata-rata kecil dan (kelihatannya) wajah dan
pandangan mata yang tidak meyakinkan, maka kita akan sampai kepada
kesimpulan yang sama, bagaimana mungkin negara ini akan ditegakkan jika
kondisi para calon aparat penegak hukum seperti itu?
Wajar jika masyarakat tetap curiga bahwa kebanyakan perekrutan para anggota
Polri dilakukan tidak mengikuti prosedur standar yang benar.
Istilah "titipan" atau "uang" masih sering terdengar dalam setiap kesempatan
ada perekrutan anggota Polri, termasuk kalau mereka ingin bersekolah lebih
tinggi lagi di lembaga pendidikan Polri, seperti melanjutkan ke Secapa,
PTIK, dan sebagainya.
Konsekuensi logis yang mengekorinya, negeri ini hanya memiliki sedikit
anggota Polri yang benar-benar profesional. Masyarakat awam pun sering
menyangsikan profesionalitas mereka, setidaknya dalam kasus-kasus ringan di
jalan raya umpamanya.
Ketidakprofesionalan mereka jelas akibat masalah yang amat kompleks, mulai
dari sistem rekrutmen, pembinaan, monitoring, kesejahteraan, dan seterusnya.
Selama ini studi kepolisian banyak dilakukan oleh mereka yang berlatar
belakang disiplin ilmu hukum saja, seakan masalah kepolisian hanya masalah
yuridis belaka. Jarang para psikolog, ahli pendidikan, ahli komunikasi
massa, budayawan, dan seterusnya dilibatkan.
Sederhana saja, tugas kepolisian amat kompleks karena bersentuhan dengan
masyarakat dan tugas-tugas "kotor" lainnya.
Syarat-syarat
Walter C Reckless dalam The Crime Problems menyebutkan, sistem dan
organisasi kepolisian yang kuat merupakan faktor penting dalam menciptakan
masyarakat yang berdisiplin dalam menjalankan aturan hukum. Syarat lainnya
ialah: hukum yang berwibawa, peradilan yang efektif, birokrasi yang baik,
dan budaya masyarakat yang mendukung.
Menyambung Reckless, Sullivan juga menganggukkan kepala tanda setuju.
Katanya, untuk mewujudkan sistem dan organisasi kepolisian yang kuat, ada
empat aspek yang dicermati: Pertama, seorang anggota polisi mesti memiliki
motivasi yang kuat (well motivated).
Dua, memiliki pengalaman dan pendidikan yang baik (well education).
Tiga, berlatih yang cukup (well trained). Empat, memiliki peralatan yang
lengkap (welfare).
Tentu saja dua pakar tersebut hanya berteori. Praktik di lapangan tidak
semudah itu. Di negara-negara maju seperti Amerika, dalam menjalankan
tugasnya, aparat kepolisian sering berhadapan dengan pilihan yang sulit,
yakni antara law in action dan law in the books, demikian kata Skolnick
dalam Justice Without Trial.
Hukum dan ketertiban merupakan dua sisi yang saling berhadapan, karena di
dalam hukum terkandung pembatasan-pembatasan untuk mencapai ketertiban,
sehingga masyarakat kadang merasa hilang kemerdekaannya.
Dalam law in action polisi dituntut mampu bertindak sebagai penerjemah
ketentuan-ketentuan yang ada dalam hukum pidana, sehingga seolah-olah ia
mendapat kesempatan untuk menguji batas-batas sifat sah kekuasaan yang ada
pada polisi.
Sang polisi akhirnya diharapkan berperan bak sosok Hunter, yakni mesti
cerdas, tangkas, disiplin, berani, melindungi, datang tepat pada waktunya,
dan seterusnya. Karena sering memba tasi "kemerdekaan" masyarakat lewat
penertiban hukum, bisa jadi Polri juga dibenci masyarakat, sekaligus
dikagumi.
Dengan kata lain Skolnick ingin mengatakan, dalam berhadapan langsung dengan
masyarakat, polisi harus mampu memainkan peran yang mengandung dua unsur
yang penting, yakni: bahaya dan kewenangan. Unsur bahaya cukup jelas, karena
polisi langsung berhadapan dengan masyarakat, sehingga ia mesti senantiasa
memelihara "rasa curiga" dalam bertugas.
Namun sebaliknya, jika unsur kewenangan sampai kebablasan, yang terjadi
adalah kesewenangan. Apalagi jika rasa curiga itu dilatarbelakangi oleh
kepentingan pribadi sebagaimana dirasakan oleh Bripka Alex.
Sampai kapan kita akan memiliki aparat kepolisian yang profesional dan
benar-benar mampu menegakkan hukum di negeri ini? (18)
- Saratri Wilonoyudho, dosen Universitas Negeri Semarang.