[Nasional-m] Sulit Menghilangkan Malaria dan TB di Indonesia

Ambon nasional-m@polarhome.com
Tue Sep 17 20:48:01 2002


SUARA PEMBARUAN DAILY

Sulit Menghilangkan Malaria dan TB di Indonesia

BENGKULU - Sulit menghilangkan penyakit malaria dan tuberkulosis (TB) di
Indonesia karena penyebab kedua penyakit itu tidak hanya bergantung pada
kekebalan tubuh manusia, tetapi juga lingkungan. Karena itu, akhir tahun
2002, direncanakan pemberantasan malaria secara komprehensif dan serentak
per wilayah.
Hal itu diutarakan Direktur Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan
Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan (PPMPL Depkes) Prof Umar Fahmi
Achmadi kepada Pembaruan, Senin (16/9).
Menurut dia, TB dan malaria berbeda dengan penyakit polio karena virus polio
hidup di tubuh manusia, sementara di lingkungan hanya sekitar seminggu. Atas
dasar itu, eradikasi polio dilakukan dengan imunisasi.
Dikatakan, kuman TB menginfeksi semua manusia, baik yang sehat maupun yang
sakit. Namun, pada orang sehat, kuman itu tidak bermanifestasi karena
"tidur". Apabila daya tahan tubuh lemah, kuman bermanifestasi. Kuman TB
hidup di lingkungan yang gelap dan lembab.
Kasus TB Indonesia di dunia menduduki peringkat ketiga setelah Cina dan
India. Tidak berbeda jauh dengan malaria. Lingkungan sangat berperan karena
vektor penyakit tersebut (nyamuk malaria) hidup di lingkungan yang tidak
bersih.
Meskipun plasmodium pada manusia bisa dihilangkan, sangat sulit
menghilangkan nyamuk malaria. Terlebih penyakit menular tidak mengenal
batas.
Karena itu, pemberantasan malaria harus dilakukan secara menyeluruh
(lingkungan, obat, dan pemeriksaan kesehatan). Misalnya, keberhasilan
penanggulangan malaria di Darwin, Australia. Di daerah itu, lingkungan
dijaga agar tidak ada perindukan nyamuk malaria.
"Di sana, jika ada orang mengeluh sakit malaria, sudah ada standar prosedur
penanganannya. Kami punya konsep penanganan malaria secara terpadu dan
komprehensif antara kawasan yang berdekatan," ujarnya.
Dana Global
Dijelaskan, PPMPL telah mendapat persetujuan dari Dana Global (Global Fund)
sebesar US$ 44 juta hanya untuk menanggulangi penyakit malaria di empat
provinsi, yaitu Maluku, Nusa Tenggara Timur, Papua, dan Maluku Utara.
Diharapkan dana itu cair tahun ini, dan akan dialokasikan untuk memberantas
malaria secara bersamaan di empat provinsi sebagai pengganti Komando
Pemberantasan Malaria (Kopem) yang dilakukan tahun 60-an.
Setiap daerah punya program yang mirip dengan daerah lain, tetapi
disesuaikan dengan kebutuhan setempat sehingga ada spesifikasinya. Program
pemberantasan per kawasan (pulau/provinsi) itu akan diawasi oleh pengawas
dari PPMPL. Hal yang sama juga akan dilakukan di provinsi lain.
Untuk itu, akan dibentuk Komite Nasional Pemberantasan Penyakit Malaria yang
terdiri dari PPMPL (Depkes) dibantu Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan
para donor untuk mencari dana bantuan internasional.
"Sekarang pemberantasan malaria belum komprehensif, harus ditangani
lingkungan sebagai tempat perindukan nyamuk malaria, obat, dan laboratorium.
Di Indonesia, ekosistem antara manusia dan nyamuk menyatu sehingga sulit
dilakukan pemberantasan," kata Umar.
Selain itu, Dirjen PPMPL menjelaskan desentralisasi memberi peluang lebih
besar penyebaran penyakit menular. Pasalnya, setiap daerah mempunyai uang,
dan mobilitas orang pun semakin tinggi. Karena itu, sangat diharapkan setiap
kabupaten sadar akan pentingnya pemberantasan malaria, khususnya untuk
kawasan yang berdekatan.
Dilupakan
Umar mengatakan penyakit malaria adalah penyakit yang dilupakan oleh tenaga
medis/fakultas kedokteran. Setiap provinsi belum tentu punya ahli malaria
(ahli parasit dan ahli klinik). Semua fakultas kedokteran berada di
kota-kota besar, terutama di Pulau Jawa, yang pada masa lalu tidak mempunyai
kasus malaria.
Dia mencontohkan, kasus malaria sangat sulit ditemukan di RS Sardjito
Yogyakarta. Padahal, tidak jauh dari daerah itu, ada kawasan endemis
malaria, seperti Bukit Menoreh, Kulonprogo. Sulitnya mendapatkan kasus
malaria di rumah sakit karena pasien berobat di Puskesmas sehingga ketika
mahasiswa kedokteran belajar, mereka tidak mempelajari malaria.
Di Bengkulu, ada beberapa kawasan yang endemis malaria. Namun sejauh ini,
menurut Kepala Dinas Kesehatan Bengkulu dr Sabri Mahrib, belum ada wabah
malaria dalam setahun terakhir. Berbeda dengan tahun 60-an, pernah ada
kejadian luar biasa (KLB) malaria. (143/N-4)


Last modified: 17/9/2002