[Nasional-m] Habis Gelap, Kapan Terbit Terang?

Ambon nasional-m@polarhome.com
Wed Sep 18 21:00:07 2002


Sinar Harapan
18/9/2002

O P I N INo.  4216

Habis Gelap, Kapan Terbit Terang?

Pernahkah terbayang seperti apa perempuan Indonesia, kalau tidak ada Kartini
atau Dewi Sartika? Mungkin akan ada Kartini dan Dewi Sartika lain yang akan
memperjuangkannya, tapi entah berapa tahun kemudian. Mungkin kita akan
mengalami keterlambatan dibanding sekarang.
Pelan tapi pasti, kita meyakini pendidikan akan diperjuangkan. Sebagaimana
hakikat cahaya yang menerobos kekelaman, pendidikan mendapatkan jalannya
agar umat manusia tercerahkan. Hal ini mengingat pentingnya dampak
pendidikan bagi peningkatan kualitas hidup sebuah bangsa, misalnya mulai
dari ”sekadar” melek huruf sebagai syarat untuk mengaskes informasi, hingga
partisipasi dalam pengambilan keputusan dan kebijakan publik sebagai salah
satu indikator demokrasi.
Namun, ada hal penting dampak pendidikan, khususnya bagi kaum perempuan,
yang luput dari perhatian publik. Hal ini justru menjadi perhatian Peraih
Nobel Ekonomi tahun 1998, Prof. Amartya Kuman Sen (Beyond the Crisis:
Development Strategies in Asia, 1999).
Dari berbagai literatur empiris kontemporer, Sen membuktikan bahwa
pendidikan bagi kaum perempuan ternyata efektif dalam menurunkan tingkat
kesuburan serta angka kematian bayi. Dengan semakin tingginya jenjang
pendidikan sekolah yang dialami kaum perempuan serta kesempatan bekerja di
luar rumah, perempuan muda memiliki alasan kuat untuk menunda kelahiran.
Pada saat yang bersamaan, perempuan lebih sadar akan hak-hak reproduksinya
(memutuskan kapan dan berapa anak yang akan dilahirkan) serta berkemampuan
untuk mempengaruhi keputusan keluarga. Bekal pendidikan yang baik bagi
perempuan juga modal menjadi ibu yang lebih paham kesehatan, sanitasi, dan
gizi bagi anak-anaknya.
Sen melihat tingginya tingkat kesuburan secara umum menjadi beban bagi
kualitas kehidupan perempuan muda. Dengan hamil berkali-kali dan kesibukan
merawat anak, kesejahteraan dan kebebasan ibu muda ini dapat sangat
terbebani.
Menurut Rektor Trinity College ini, keberhasilan Republik Rakyat Cina (RRC)
dalam mengurangi tingkat kesuburan tidak benar-benar memperlihatkan
efektivitas pembatasan hukum Draconian (”satu anak dalam setiap keluarga”
dan batasan lainnya), denda ekonomi maupun hukuman lain yang mulai
diberlakukan pada tahun 1979.
Sementara itu, beberapa negara bagian India tingkat kesuburan secara
signifikan lebih rendah daripada di RRC. Kendati di India tidak ada
peraturan hukum apa pun menyangkut pengendalian angka kelahiran ini, India
melakukan perluasan tingkat pendidikan secara pesat.
Memang terdapat fakta bahwa India memiliki sektor pendidikan tinggi yang
sangat luas. Bahkan untuk setiap satu orang pendidikan universitas di RRC,
terdapat sekitar enam di India.
Perluasan tingkat pendidikan inilah yang juga dinikmati kaum perempuannya
yang kemudian berdampak bagi tingkat kesuburan. Contohnya di Kerala, negara
bagian ini melakukan perluasan tingkat pendidikan secara pesat.
Hasilnya, berbagai distrik dengan jumlah penduduk 30 juta ini mengalami
penurunan tingkat kesuburan yang pesat. Dalam dua dekade (1979-1991) angka
kesuburan di Kerala turun dari 3,0 persen menjadi 1,8 persen.
Pada periode yang sama (sejak kebijakan Draconian dan tindakan koersif
lainnya dilembagakan), tingkat kesuburan di RRC turun ”hanya” 0,8 persen
dari 2,8 persen di tahun 1979 menjadi 2 persen di tahun 1991. Saat ini,
tingkat kesuburan di Kerala telah di bawah 1,7 persen, sedang di RRC masih
sekitar 1,9 persen.
Selain itu, Kerala menikmati keunggulan lainnya. Karena proses penurunan
tingkat kesuburan ini berbasiskan kebebasan, bukan paksaan, tingkat kematian
bayi pun turut menurun pesat. Pada pertengahan dekade 90-an, tingkat
kematian bayi di Kerala 16 untuk bayi perempuan dan 17 untuk bayi laki-laki.
Angka ini jelas jauh lebih rendah dibanding di RRC yang menerapkan proses
penurunan secara koersif. Di RRC, angka kematian bayinya 33 untuk bayi
permpuan dan 28 untuk bayi laki-laki. Sebelumnya kedua negara ini memiliki
angka kematian bayi yang sama tingginya.

Jauh Tertinggal
Di atas kertas, dalam Laporan Pembangunan Manusia (Human Development Report)
2002 Indonesia menunjukkan angka melek huruf perempuan dewasa (15 tahun ke
atas) telah mencapai 82 persen pada tahun 2000. Kendati demikian, angka ini
merupakan 89 persen dari jumlah laki-laki yang melek huruf dan di bawah
angka melek huruf secara nasional yang dilaporkan 86,9 persen.
Lebih kecilnya angka melek huruf perempuan, mencerminkan rendahnya
kepedulian terhadap pendidikan bahkan secara keseluruhan. Jangankan
perluasan pendidikan bagi perempuan, pendidikan secara umum saja hanya
mendapat porsi 7,9 persen dari total belanja Pemerintah Indonesia pada kurun
1995-1997 dan hanya 1,4 persen dari pendapatan nasional (Gross National
Product/GNP).
Untuk kurun waktu yang sama, rezim totaliter Myanmar padahal membelanjakan
14,4 persen dari anggarannya untuk sektor pendidikan umum. Sementara itu,
India dengan satu miliar penduduk mampu menganggarkan 11,6 persen untuk
pendidikan.
Kalau terhadap isu pendidikan saja Indonesia mulai terbelakang, apalagi
mengharapkan sinkronisasi isu pendidikan dengan kependudukan, Apalagi
mengharapkan perluasan pendidikan bagi perempuan, tampaknya seperti
menggantang asap.
Lebih dari setengah (104,6 juta orang) dari total jumlah penduduk Indonesia
(208,2 juta) padahal adalah perempuan. Sementara itu, kondisi objektif
perempuan Indonesia, khususnya golongan bawah, memperlihatkan kuantitas dan
kualitas pendidikannya masih jauh tertinggal dibandingkan dengan kaum
laki-laki di semua jenjang pendidikan (SD, SLTP, SLTA dan perguruan tinggi),
sebagaimana diakui Menteri Pemberdayaan Perempuan Sri Redjeki Sumaryoto.
Ia mengutip data BPS tahun 1997, delapan dari 100 orang perempuan yang
tinggal di kota masih buta huruf, sementara laki-laki tiga dari 100 orang.
Di pedesaan, kesenjangan ini lebih besar, yaitu 19 dari 100 perempuan,
sedang sembilan dari 100 laki-laki yang buta huruf.
”Dengan kata lain, pendidikan tertinggi yang ditamatkan perempuan secara
rata-rata, di kota dan di desa, masih jauh tertinggal dari laki-laki,”
ungkap Sri Redjeki dalam ”Seminar Kaukus Perempuan Parlemen Indonesia” di
Jakarta (15/7).
Hal yang serupa tergambar pada angka Gender Related Development Index (GDI)
Indonesia, dari 0,651 atau peringkat ke-88 (HRD 1988) menjadi 0,664 atau
peringkat ke-90 (HRD 2000) dan kini menjadi peringkat ke-91 (HRD 2002).

Anggaran Pendidikan
Harapan baru muncul ketika para wakil rakyat sepakat mendesakkan anggaran
pendidikan minimal sebesar 20 persen. Jumlah anggaran ini bahkan dimaktubkan
dalam amendemen Undang-undang Dasar (UUD) Tahun 1945 yang keempat tahun 2002
ini.
Dengan berlakunya konstitusi baru nanti, mau tidak mau pemerintahan yang
baru harus menganggarkan belanja untuk pendidikan minimal 20 persen dari
total Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Dalam hal ini, Kementerian Pemberdayaan Perempuan RI harus segera proaktif
untuk menyiapkan rencana anggaran pendidikan yang signifikan bagi perempuan.
Pendidikan ini tidak hanya dalam hal pendidikan formal, tapi terlebih
perluasan pendidikan informal yang signifikan dan terukur bagi perempuan.
Pendidikan sangat strategis bagi pintu masuk peningkatan partisipasi
perempuan dalam kehidupan publik. Tanpa peningkatan pendidikan yang
signifikan, sulit mengharapkan perempuan mencapai kesetaraan dan keadilan
gender mulai dari rumah hingga ke sektor strategis yang mempengaruhi
kebijakan publik.
Semoga pencantuman persentase minimal anggaran pendidikan segera diikuti
dengan arah kebijakan pendidikan yang berkeadilan dan berkesetaraan gender.
Perempuan yang berpendidikan baik (well educated) menjadi prasyarat
pendidikan generasi mendatang yang lebih baik pula.
(SH/mega christina)