[Nasional-m] Perlindungan hukum terhadap pekerja pers

Ambon nasional-m@polarhome.com
Thu Sep 19 02:12:01 2002


Surya
18/9/2002

Perlindungan hukum terhadap pekerja pers

Oleh: Prof Dr Samsul Wahidin SH MS, Guru Besar Hukum Komunikasi-Pers FH
Unlam Banjarmasin


Ihwal perlindungan hukum dalam profesi jurnalistik (khususnya media cetak) -
sebenarnya berhubungan erat dengan dua kebutuhan dasar: (1) terkait dengan
perlindungan hukum terhadap pekerja pers dengan segala kompleksitas
permasalahannya; (2) menyangkut perlindungan hukum terhadap masyarakat
akibat arogansi pers.
Dua masalah ini idealnya diletakkan dalam perspektif bersamaan dan
diimplementasikan dalam makna yang sama pula, sehingga sajian pers akan
mencerminkan nilai keadilan dan perlindu-ngan terhadap HAM. Jadi, tak semata
menitikberatkan pada perlindungan terhadap para pekerja pers dengan
menyampingkan perlindu-ngan terhadap masyarakat. Sebenarnya banyak efek
negatif langsung maupun tidak, yang harus ditanggung warga masyarakat akibat
arogansi pers. Namun kea-daan itu tak cukup menyadarkan kita, dan lebih
banyak tertutup oleh aspek positif yang disampaikan pers.
Yang dimaksud dengan perlindungan hukum, berkait dengan upaya penegakan
hukum pers, diawali dengan terjadinya interaksi sosiologis antara pers dan
masyarakat. Hubungan antara pers dan masyarakat itu, idealnya sejajar. Pers
merupakan refleksi dari hak untuk mengeluarkan pendapat, sedangkan
masyarakat merupakan refleksi dari hak untuk memperoleh informasi. Selama
ini yang terjadi adalah mengemukanya hubungan subordinat antara pers dan
masyarakat.
Akibat ketaksejajaran hubungan ini muncul meka-nisme yang timpang, yang
beranjak pada asumsi munculnya sesuatu yang tak benar ketika terjadi
interaksi antara pers dan masyarakat. Intinya, masyarakat dalam kedudukannya
sebagai penerima informasi maupun subjek yang menjadi bahan informasi merasa
adanya ketidakbenaran dalam sajian pers. Meka-nisme yang ditempuh dalam
perspektif yuridis berdasar hukum pers melalui tiga cara: (1) hak jawab; (2)
jalur hukum (perdata maupun pidana); (3) hak jawab dan jalur hukum.
Mekanisme melalui hak jawab, seringkali dipandang tak efektif, karena
beberapa hal.
Pertama, orang belum tentu membaca jawaban tadi. Kendati pun menurut kode
etik penyampaian hak jawab itu harus dilakukan sesuai dengan batasan
tertentu, tetapi jawaban yang disampaikan tak menjamin berubahnya pendapat
masyarakat me-ngenai masalah tertentu. Apalagi hak jawab tak berhubungan
dengan benar-tidaknya satu sajian.
Kedua, hak jawab dari perspektif pers mencerminkan kurang profesionalnya
pers, sehingga pencantumannya seringkali direkayasa dengan berbagai dalih
untuk menutupi kesalahan. Jika hal tsb menyebabkan turunnya kre-dibilitas
penerbitan, biasanya pencantuman hak jawab disertai catatan yang mengandung
keinginan untuk menggambarkan pers bukanlah pihak yang harus dipersalahkan.
Ketiga, hak jawab justru mendatangkan pertanyaan baru. Masyarakat cenderung
berpegang pada sajian pertama. Berbagai pertanyaan seringkali muncul
sehubu-ngan adanya hak jawab tsb.
Melalui jalur hukum, se-ringkali dipandang tak efektif. Dalam kasus yang
bermuatan delik pers, jalur hukum cenderung bertele-tele dan berakhir dengan
ketidakpuasan pihak yang merasa dirugikan. Dari berbagai kasus menunjukkan,
proses yang menunjukkan kekurangseriusan aparat dalam menangani delik pers.
Ini dapat "dimaklumi" sehubungan posisi aparat penegak hukum yang kinerjanya
memerlukan peran pers. Muncullah kerja sama yang dilembagakan dalam pola
kemitraan, saling bantu, dsb. Akibatnya masyarakat yang secara tulus
mengadukan pers kurang memperoleh tanggapan secara baik. Fenomena demikian
mulai bergeser sejak pers menemukan kebebasaannya di era reformasi. Namun
apakah hal itu akan berlanjut, masih harus ditunggu.
Di sisi lain, belum ada yurisprudensi tentang delik pers. Dari berbagai
kasus, seringkali diselesaikan di luar pengadilan, baik dengan prinsip
win-win, maupun me-wassa-lam-kan pengaduan terhadap pers. Ukuran untuk ini
tak jelas, kecuali berlindung di balik argumentasi penyelesaian berdasar
hukum merupakan ultimum remidium, se-hingga dipandang sah-sah saja, bahkan
diutamakan penyelesaian dengan cara lain. Termasuk batasan waktu yang harus
dijadikan patokan limitatif untuk menyelesaikan perkara sehubungan dengan
pengaduan terhadap pers. Melalui dua jalur, juga dipandang tak efektif.
Sebab, akhir-nya juga menghasilkan sesuatu yang sifatnya sama.
Atas dasar hal di atas, sebagian masyarakat lebih memilih penyelesaian
secara "Hukum Adat" dengan mela-kukan penganiayaan, perusakan, bahkan
pembunuhan terhadap orang yang dipandang harus bertanggung jawab atas
munculnya sajian pers bermasalah. Cara menyelesaikan masalah dengan cara
peradilan jalanan dinilai lebih efektif. Secara kuantitas hal demikian
sering terjadi. Tentunya ini mengkhawatirkan bagi pekembangan kebebasan pers
ke depan.
Di satu sisi, hal di atas menghadirkan urgensinya perlin-dungan hukum
terhadap pekerja pers dari tindakan "Hukum Adat" warga masyarakat yang tak
puas atas sajian pers. Dari perspektif ini, terasa ketidakadilan yang
diterima pekerja pers yang menyebabkan terganggunya kinerja pers. Hukum (UU
Pers) memberikan tiga macam proteksi yang secara yuridis tak memberikan
tempat sama sekali terhadap penyelesaian secara hukum adat.
Pertama, proteksi kepada pekerja pers dengan adanya jaminan siapa saja yang
meng-halang-halangi profesi wartawan akan disanksi. Juga, orang yang
menghambat pe-nerbitan pers akan disanksi.
Kedua, proteksi kepada masyarakat atas jaminan sebuah penerbitan tak boleh
menyiarkan sesuatu yang bertentangan dengan nilai yang hidup di masyarakat.
Nilai itu berbasis kesusilaan, kesopanan dan nilai lain yang secara
universal dan peka dipegang masyarakat (setempat).
Ketiga, mencegah muncul-nya pers tanpa identitas. Untuk itu pers dituntut
mencantumkan penanggung jawab secara jelas, sehingga ketika sajian
bermasalah, dapat diajukan tuntutan pada alamat yang jelas.
Pertanggungjawaban normatif di atas memang tak memuaskan. Bahkan sanksinya
bersifat administratif, seperti keharusan membayar denda, misalnya.
Sedangkan kedudukan delik pers itu juga tak pasti. Delik aduan (klacht
delict)- kah atau delik formal yang tak harus menunggu pengaduan masyarakat?
Jika memang bukan klacht delict, bagaimana mekanismenya? Apalagi ketentuan
yang berhubungan de-ngan aplikasi kinerja (misal-nya pencemaran nama baik,
fitnah dsb) tetap mengacu pada KUHP, sehingga batasan tentang delik pers itu
menjadi kabur, baik konsep maupun aplikasinya.
Sesuai dengan asas profesionalisme, idealnya pertanggungjawaban itu
dikaitkan dengan kondisi objektif penerbitan pers yang merupakan kumpulan
para profesional. Tanggung jawab harusnya dipikul oleh subjek yang memang
berbuat, sesuai dengan deskripsi 'politik keredaksian' yang dijadikan dasar
oleh lembaga pers. Dengan demikian, akan sesuai dengan asas dalam hukum
pidana, 'siapa yang berbuat ia harus bertanggung jawab.' Juga, sesuai dengan
prinsip keadilan paparan tentang 'tindak pidana secara materiil yang
meletakkan kewajiban secara aktif kepada aparat penegak hukum.'
Perlindungan hukum terhadap pekerja pers dapat diambil dari konsep
perlindu-ngan hukum terhadap orang yang melaksanakan tugas dalam
kedudukannya sebagai pegawai negeri. Yakni, 'orang yang mengganggu dan
menye-babkan terhambatnya pekerjaan - apalagi sampai melakukan intervensi
secara fisik - hukumannya ditambah de-ngan sepertiganya (pasal 212 KUHP
dst)'. konsep demikian, sekurangnya menjadi upaya perlindungan hukum yang
memadai.
Di atas itu semua, anjakan berpikir hubungan antara pers dan masyarakat tak
perlu dari sisi represif dengan membuat tesis tentang tidak harmonis-nya
hubungan pers-masya-rakat. Idealnya, karena pers sebagai institusi sosial,
semestinya menyuarakan kebenaran di masyarakat. Tak semata-mata demi
kebenaran, tetapi terkandung misi untuk menenteramkan dan mendamaikan
masyarakat. Karena itu, fakta yang dalam takaran jurnalistik dipandang
sebagai sakral dimaknai sedemikian rupa, sehingga terpulang pada seleksi
apakah sebuah sajian dipandang menenteramkan dan mendamaikan mayarakat atau
tidak. Kalau tidak, ada kewajiban moral untuk tak menyajikan kepada
masyarakat - kendati pun secara ekonomis me-nguntungkan.
Manakala kinerja para pekerja pers sampai tahap demikian, akan terwujud pola
interaksi harmonis antara pers dan masyarakat. Untuk itu, diperlukan
konsistensi atas penegakan hukum terhadap terjadinya delik pers oleh aparat
penegak hukum, sehingga warga masyarakat pun terayomi dari tindak arogansi
pers. Sementara itu, pekerja pers juga dapat melaksanakana profesinya secara
benar. Keseimbangan ini yang belum terwujud di dalam UU Pers sekarang.