[Nasional-m] Penanggulangan Kekerasan Tanpa Kekerasan

Ambon nasional-m@polarhome.com
Thu Sep 19 22:00:52 2002


SUARA PEMBARUAN DAILY
----------------------------------------------------------------------------
----

Penanggulangan Kekerasan Tanpa Kekerasan

JE Sahetapy

Morality can not be legislated, but behavior can be regulated.

Martin Luther King



ekerasan bukan barang kemasan baru dari abad ke-21 dan bukan pula solusi
baru melalui kekerasan terhadap kekerasan. Yargon awam tentang kekerasan
bahwa kekerasan identik dengan (perbuatan) fisik, sesungguhnya tidak selalu
harus berarti demikian. Perbuatan kekerasan tidak harus selalu dengan
menggunakan atau secara fisik. Ia bisa berupa sesuatu yang nonfisik, yang
psikologis, yang teologis, yang kultural, yang sosial, yang ekonomis, yang
struktural, dari yang berwajib/ berkuasa, secara psikis, sampai pada yang
bersifat nara- tif. (Untuk yang naratif lihat Turpin dan Kurtz, 1997: 91).

Bahkan secara logika mungkin sulit diterima, kalau dikatakan dalam bentuk
penipuan yang jelas secara kasat mata bukan kekerasan, pada asasnya menurut
yargon awam, ujung-ujungnya adalah "kekerasan". Atau dari optik viktimologi
implikasi atau konsekuensi akhir adalah dapat terwujud pada kristalisasi
(penggunaan) kekerasan. Tentang ungkapan terakhir sebagaimana disinggung di
atas akan diulas sepintas di bawah ini.

Kekerasan sudah dikenal sejak permulaan penciptaan. Sebelum agama-agama
besar mendapatkan wahyu demi eksistensinya, kekerasan demi dan melalui serta
oleh agama-agama itu sendiri, kekerasan sudah dikenal dan menggunakan
kekerasan atas nama agama itu sendiri. Padahal Tuhan Allah yang memiliki
sifat dan hakikat serta berwujud segala "maha" serta rahmani dan rahimi,
belum tentu mengizinkan atau membenarkan kekerasan untuk sang khalik serta
untuk dan atas nama agama.

Sepanjang yang dapat ditelusuri, bentuk kekerasan yang boleh dapat dikatakan
untuk pertama kali, adalah kekerasan fisik oleh Kain terhadap Habel.
Mengherankan betapa Kain tega membunuh Habel dalam konteks persembahan
agama. Di sini tidak akan diulas motivasi kekerasan Kain terhadap Habel,
adiknya sendiri. Perhatikan pernyataan (kekerasan) dari Kain terhadap Sang
Pencipta sebagai Alfa dan Omega: "Apakah aku penjaga adikku" (Kejadian 4:
9).


Bentuk Kekerasan

Menurut Turpin dan Kurtz (1997:2): Understanding human violence is one of
the central tasks of our time, yet we still know very little about it oleh
karena "... we have neglected the search for fundamental causes ...". Tetapi
sesungguhnya, dengan mengingat apa yang telah disinggung di atas, kalau
anatomi kekerasan boleh dibelah dan dianalisis, tidak selamanya bentuk atau
wujud kekerasan selalu harus selalu secara fisik.

Secara teoretik akademik dikenal berbagai bentuk kekerasan, antara lain:
symbolic violence (Elias, 1993), workplace violence (Solomon and King,
1993), structural violence, bureaucratised vio- lence (Turpin dan Kurtz,
1997), anarchic violence (Hobbes, 1928), juvenile violence, religious
violence, cultural violence.

Kalau cerita Samson dan Delilah boleh dikedepankan, antiklimaksnya dengan
pengguntingan rambutnya Samson, maka permulaan kekerasan sebenarnya baru
dimulai sesungguhnya, kendatipun sebelum itu Samson berhasil melepaskan
dirinya dari belenggu kekerasan yang direkayasa Delilah. Akhir cerita Samson
sudah diketahui: juga dalam implementasi kekerasan.

Turpin dan Kurtz (1997:91) dengan merujuk kepada Perang Teluk (I) antara
Amerika Serikat dengan sekutunya melawan Saddam Hussein, dalam The Persian
Gulf War dimulai dengan penipuan narasi juga. Digambarkan betapa pribadi
Saddam yang serba jahat, bukan saja terhadap rakyatnya sendiri, tetapi juga
terhadap bangsa-bangsa lain dan memiliki senjata-senjata nuklir yang
merupakan doomsday machines (Newsweek, 29 Oktober 1990). Mereka menulis
bahwa: "... legitimacy or illegitimacy of violence is established trough
narratives..." (h.91). Dan karena Saddam seperti Hitler, maka only violence
could stop him (h.103).

Kalau diperkenankan mengangkat cerita Adam dan Hawa terutama dari optik
viktimologik sebagai master narrative sebagai suatu "...apocalyptic vision
of a titanic struggle between good and evil..." (Philip Smith dalam Turpin
dan Kurtz, 1997:103). Dalam Kitab Kejadian 3:3 dapat dibaca: "jangan kamu
makan ataupun raba buah itu, nanti kamu mati".


Antiklimaksnya: "... terbukalah mata mereka berdua dan mereka tahu, bahwa
mereka telanjang ..." (Kej 3:7). Konsekuensi lebih lanjut: "dengan berpeluh
engkau akan mencari makananmu, sampai engkau kembali lagi menjadi tanah,
karena dari situlah engkau diambil, sebab engkau debu dan engkau kembali
menjadi debu". (Kej 3:19).


Jenis Kekerasan

Sebagaimana telah disinggung di atas, ada berbagai macam dan jenis
(kejahatan) kekerasan. Tentu tiap bentuk dan jenis kekerasan memerlukan
penanganan secara khusus. Lazimnya kekerasan telah diatur dalam KUHP akan
ditangani sesuai prosedur hukum formal yang acapkali tidak luput pula dari
penggunaan kekerasan (secara ilegal). Namun ada tanggapan yang keliru ketika
Jhering pernah menulis bahwa law without force is an empty name. Jadi
penggunaan hukum terutama dari kacamata sekuler - ada juga yang dibenarkan
secara teologis - lazimnya menggunakan kekerasan. Tetapi kekerasan yang
bagaimana? Orang lalu sampai pada suatu kesimpulan: apakah mungkin
"penanggulangan kekerasan - yang lazimnya dikualifikasi sebagai kejahatan,
dilakukan tanpa kekerasan"?

Non violence movement, pergerakan tanpa kekerasan pernah dibicarakan secara
panjang lebar dalam dunia hukum, khususnya dalam dunia pidana (Silakan baca
disertasi Sahetapy dalam "Suatu studi tentang pembunuhan berencana"). Dapat
diperkirakan bahwa gerakan non violence sedikit sekali pengikutnya, apalagi
pengaruhnya. Namun dari optik kriminologi dan viktimologi ada saja yang
berusaha menjadikannya sebagai proposisi untuk mengulasnya. Dengan merujuk
kepada Mahatma Gandhi, orang melihatnya sebagai seorang tokoh gerakan non
violence (tanpa kekerasan). Sayang, hidupnya harus berakhir dengan
kekerasan. Ia ditembak mati oleh pengikutnya sendiri yang tidak sependapat
dan menerima jalan yang begitu mulia dalam rencana menghadapi kekerasan
tanpa kekerasan.

Tokoh lain yang luar biasa menonjol sepanjang sejarah manusia dan kehidupan
dalam dunia spiritual/religius adalah Yesus Kristus. Sayang, ajaran dan
contoh teladan hidup-Nya yang begitu agung dan mulia, tidak diikuti dengan
konsisten dan konsekuen oleh para murid-Nya. Proposisinya sangat sederhana:
"Hendaklah engkau mengasihi sesamamu manusia - juga musuhmu - seperti dirimu
sendiri". Dengan perkataan sekuler yang sangat sederhana, mana mungkin Anda
akan mencelakakan atau melakukan kekerasan terhadap diri Anda sendiri? Hanya
orang yang tidak waras yang akan berbuat kekerasan terhadap dirinya sendiri.


Kebudayaan

Robert Elias memang benar. Setelah membahas panjang lebar tentang A culture
of Violent Solutions yang menyangkut berbagai perspektif dan membuat
masyarakat pada akhirnya menggunakan "violence is the solutions of choice"
mengakhiri tulis- annya dengan menulis: "We are the culture of violent
solutions, but violence will not solve our problems and is itself a problem
and the root of most of our other sosial ills (1997:143).

Lalu bagaimana dengan masyarakat kita di Indonesia? Masyarakat kita yang
begitu pluralistik dalam hampir seluruh way of life-nya, dengan kadar
penggunaan kekerasan secara berbeda, yang pada dasarnya berakar juga dalam
kekerasan (kultural) meskipun sudah disiram dengan ajaran agama yang pada
dasarnya tidak ingin menggunakan kekerasan juga atas nama agama itu sendiri.

Yang mengherankan juga, Indonesia sebagai suatu bangsa yang dijuluki ramah
dan halus budi pekerti (dalam bahasa Belanda: "het zachtste volk op aarde"
dengan beberapa pengecualian, ternyata kini telah terperangkap dalam
menawarkan upaya dengan menggunakan kekerasan dan kadang-kadang dengan
mendalihkan ajaran agamanya, entah itu benar atau tidak, entah itu
rasionalistik atau emosional.

Lalu mengapa hal itu bisa terjadi! Mengapa bangsa yang katanya berbudi
luhur, ramah dan entah kualifikasi apa yang hendak diberikan kepada bangsa
ini menjadi semacam "homo homini lupus" dalam hampir seluruh bidang
kehidupan dari strata atas sampai yang di bawah? Tentu akan banyak jawaban
yang dapat diberikan, bergantung pada sudut pandang dan pangkal tolak
analisis. Tetapi satu hal yang mungkin dapat dipakai untuk pokok bahan
renungan kita semua tanpa kecuali: Indonesia kini tidak memiliki seorang
pemimpin yang dapat diandalkan dalam seluruh aspek kehidupan berbangsa,
bernegara dan dalam realitas penghidupan sosio-spiritual.

Lalu dengan meminjam ungkapan bahasa Belanda yang ditulis secara indah bagi
mereka yang prihatin dengan kehidupan berbangsa dan bernegara dewasa ini:
"Het volk is redeloos. De regering is radeloos. Het land is reddeloos".
Artinya secara bebas: rakyat sudah tidak dapat berbicara lagi. Pemerintah
sudah bingung. Negara ini (seolah-olah) tidak dapat tertolong (lagi). Semoga
ini tidak akan terjadi.


Penulis adalah Guru Besar Emeritus, Ketua Komisi Hukum Nasional.

----------------------------------------------------------------------------
----
Last modified: 19/9/2002