[Nasional-m] Belajar dari Kasus Akbar Tandjung

Ambon nasional-m@polarhome.com
Mon Sep 23 00:00:40 2002


Suara Merdeka
Senin, 23 September 2002 Karangan Khas

Belajar dari Kasus Akbar Tandjung
Oleh: Jabar Al Faruqi

BILA mau jujur, harus diakui Akbar Tandjung adalah tokoh politik paling kuat
saat ini. Sulit dijerat hukum, sulit dilengser dan memiliki keterampilan
politik di atas rata-rata politisi pada umumnya.
Kekuatannya tidak hanya pada kemampuannya meredam gejolak rival-rival
politik di intern partai Golkar, tetapi lebih jauh mampu meyakinkan dan
meredam semua kekuatan eksternal yang ingin menggoyang dirinya. Kerumitan
sepelik apa pun bisa dilalui dengan mudah dan selamat.
Pemilu tahun 1999, semua partai politik, LSM, media massa dan tokoh-tokoh
masyarakat memusuhi Golkar. Bahkan banyak LSM secara terang-terangan
kampanye anti-Golkar. Semua prediksi meleset. Golkar masih menempati
peringkat ke -2 urutan partai besar perolehan suara. Padahal saat itu banyak
orang terutama di Jawa yakin Golkar akan lenyap.
Dalam episode selanjutnya, Ir Akbar Tandjung, Ketua Umum Golkar yang mantan
ketua umum PB HMI itu terlibat skandal Buloggate II. Para pengusul Pansus
Buloggate II yakin Akbar akan tamat riwayatnya. Kenyataannya, pembentukan
Pansus Buloggate II gagal dan selamatlah Akbar Tandjung dari upaya
pengadilan politik.
Proses pengadilan atas kasus Buloggate II yang akhirnya memutuskan hukuman
tiga tahun bagi Akbar Tandjung juga menimbulkan masalah baru. Akbar dituntut
mundur atau non-aktif, namun dia bersikukuh tidak mau mundur maupun
non-aktif dari ketua DPR. Ia berdalih sedang mengajukan proses banding.
Dalam proses banding ini, dirinya tidak bersalah sebab belum ada putusan
yang pasti. Sikap Akbar Tandjung ini memunculkan pro dan kontra.
Argumentasi Akbar harus mundur atau non-aktif, karena ada peraturan berupa
Tap MPR No VI/MPR/2001 tentang etika kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sebaliknya yang berlawanan mengatakan Akbar belum bersalah sehingga tidak
perlu mengundurkan diri atau non-aktif.
Tap No VI/MPR/2001 itu pada awalnya memang secara tegas mengatur siapa pun
pejabat negara yang diperiksa atau menjadi tersangka dalam tindak pidana
harus mengundurkan diri dari jabatannya. Namun usulan itu tidak didukung
oleh fraksi-fraksi besar di DPR sehingga dicarikan jalan tengah yang
moderat.
Tap MPR No VI/2001 tentang rumusan etika politik dan kehidupan berbangsa
menjadi sebagai berikut: etika politik dan pemerintahan mengandung misi
kepada setiap pejabat dan elite politik untuk bersikap jujur, amanah,
sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati dan
siap untuk mundur dari jabatan publik apabila terbukti melakukan kesalahan
dan secara moral kebijaksanaannya bertentangan dengan hukum dan rasa
keadilan masyarakat.
Sikap pro dan kontra ini telah membuahkan gerakan pengumpulan tanda tangan
baik yang melakukan mosi tidak percaya terhadap Akbar maupun yang mendukung.
Namun ternyata jumlah tanda tangan yang terkumpul lebih banyak yang
mendukung Akbar daripada yang mengajukan mosi tidak percaya.
Yang mengajukan mosi tidak percaya 79 orang, sedangkan yang mendukung
kepemimpinan Akbar berjumlah 86 orang. Pengajuan mosi tidak percaya itu pun
akhirnya tidak dibacakan oleh pimpinan sidang paripurna DPR yang dipimpin
sendiri oleh Akbar Tan djung. Akbar akhirnya memenangkan polemik tersebut.
Kelihatannya nasib usulan mosi tidak percaya terhadap ketua DPR meskipun
akan terus diupayakan, akan bernasib lebih tragis daripada usulan
pembentukan Buloggate II. Sebab usulan ini tidak mendapatkan dukungan besar
dari fraksi-fraksi dan partai politik.
Bahkan sejak dini, PDI-P menganggap masalah usulan mosi tidak percaya
terhadap Akbar Tandjung adalah masalah intern DPR. Masalah antara ketua DPR
dan anggota-anggota DPR bukan masalah fraksi atau pun partai politik. Oleh
karena itu, Akbar Tandjung akan dijamin lolos kembali dalam menghadapi mosi
tidak percaya yang intinya menuntut dirinya non-aktif dari ketua DPR.
Penulis mengamati sejak dari proses awal pemilu 1999 sampai masalah kasus
Akbar Tandjung saat ini, ternyata banyak pelajaran yang bisa diambil sebagai
catatan penting dalam proses belajar berbangsa dan bernegara.
Pertama, ternyata kekuatan Golkar yang pada awal reformasi diprediksikan
akan hancur masih tetap kuat. Lebih jauh, pemerintahan pasca runtuhnya rezim
Orde Baru mulai dari Habibie, KH Abdurrahman Wahid dan Megawati masih sangat
tinggi ketergantungannya terhadap kekuatan Golkar.
Dengan kata lain, dari pergantian kepemimpinan yang satu ke kepemimpinan
yang lain, Golkar masih bisa mendikte presidennya. Pada saat Habibie
berkuasa Golkar masih mendominasi pemerintahan terutama di tingkat
menterinya. Pasca Pemilu 1999, dan Gus Dur terpilih sebagai presiden, Golkar
juga masih mendominasi elite politik.
Golkar juga memiliki andil besar dalam menjatuhkan pemerintahan Gus Dur.
Apalagi pada saat sekarang, di era presiden Megawati ini. Golkar sangat
kelihatan peranannya, sehingga kelompok parlemen jalanan yang sering
berdemonstrasi itu sering berujar, saat ini bukannya Megawati mendikte Akbar
Tandjung, tetapi sebaliknya Akbar Tandjung yang mendikte Megawati.
Hal ini terbukti dari keputusan-keputusan politik PDI-P yang selalu
menguntungkan Golkar.
Kedua, keterlibatan Akbar Tandjung dalam kasus Buloggate II dengan vonis
majelis hakim tiga tahun penjara, banyak orang memprediksikan Golkar dengan
Akbar Tandjung sebagai ketua umumnya akan kalang kabut. Tetapi apakah
kenyataannya seperti itu? Masih perlu kita tunggu.
Sebaiknya kita jangan mudah berkesimpulan seperti itu agar tidak terjerumus
dalam kesalahan yang sama. Sebab bisa saja pada pemilu tahun 2004 itu partai
Golkar justru akan meningkat perolehan suaranya. Hal ini sangat mungkin
karena tiga hal.
1). Kasus ini akan menguatkan konsolidasi internal Partai Golkar terutama di
luar Jawa. Padahal secara statistik, gubernur di luar Jawa 90% dijabat oleh
orang Golkar.
2). Sesuai sifat dasar manusia Indonesia adalah mudah melupakan perkara
sehingga masalah di Indonesia itu hanya mampu bertahan untuk diperhatikan
tidak lebih dari dua minggu. Setelah itu masyarakat akan jenuh. Karena
pemilu 2004 masih jauh, masyarakat akan lupa kesalahan yang pernah dilakukan
Golkar dan Akbar Tandjung.
3). Mungkin Akbar Tandjung akan menang dalam kasus banding atau kasasi. Kita
perlu ingat, semakin ke atas, maka putusan pengadilan semakin politis. Akbar
Tandjung boleh kalah di tingkat pengadilan negeri Jakarta, tetapi tidak
menutup kemungkinan akan menang di tingkat banding atau kasasi.
Ketiga, Akbar Tandjung adalah benar-benar seorang pemain politik yang ulung,
belum ada tandingnya di negeri ini. Sifatnya yang selalu dingin, merasa
tidak memiliki masalah, dan selalu mudah berkelit dalam menghadapi segala
tekanan menjadikan kita mendapatkan banyak pelajaran.
Yang terakhir ini juga akan memberikan pelajaran berharga bagi para anggota
DPR bahwa dari detik ke detik, dari keputusan ke keputusan dan dari Tap ke
Tap MPR ternyata Akbar dan Golkar sudah mendalami dan menyiasati sedemikian
rupa. Oleh karena itu para politisi lain yang menjadi lawan Akbar akan
selalu dikalahkan dalam berargumentasi.
Keempat, dalam era reformasi ini kekuatan reformis dan suara hati nurani
rakyat di lembaga DPR ternyata hanya diwakili oleh segelintir manusia saja.
Kekuatan reformasi baru sebatas retorika, jargon dan bahkan omong kosong.
Enak didengar tetapi pedih dirasakan.
Oleh karena itu, wajar kalau tuntutan rakyat untuk menegakkan hukum dan
mengangkat citra DPR hanya menjadi jeritan hati rakyat namun belum menjadi
kepedulian anggota DPR.(18)
- Jabir Al Faruqi, Direktur Lembaga Studi Agama dan Pembangunan (LSAP)