[Nasional-m] Gagasan Program MENSEJAHTERAKAN Bangsa - Bambang Utomo ideas@cianjur.wasantara.net.id

nasional-m@polarhome.com nasional-m@polarhome.com
Mon Sep 23 21:12:16 2002


Terimakasih atas saran Anda. Berikut ini saya sertakan usul yang telah diubah dengan
versi plain-text. 

Merdeka!
 B. Utomo


  ANEKA "LOMBA PRESTASI Rp. 1 MILYAR":
Gagasan Program MENSEJAHTERAKAN Bangsa
 Oleh: Bambang Utomo - <ideas@cianjur.wasantara.net.id>


DASAR PEMIKIRAN

 * "Hasil nyata" dari Gerakan Reformasi di Indonesia sejauh ini - yang belum
kunjung (untuk tidak menyebutnya menyimpang) dari tujuan luhurnya semula.

 * Masih maraknya berbagai aktivitas negatif di masyarakat seperti: demo
unjuk rasa yang silih-berganti, adu kepentingan antarpimpinan kelompok di
pusat disusul adu jotos antarbawahan di daerah, anarki sosial, konflik SARA,
pelanggaran HAM (+ pengingkaran TAM - Tanggungjawab Asasi Manusia),
tindak kriminalitas, terorisme, bom, pengerahan massa, "perang saudara",
politik uang, janji-janji kosong, dan lain sebagainya.

 * Kian terpuruknya berbagai aspek kehidupan bangsa, baik karena kekeliruan
kebijakan pemerintah di masa lalu, penegakan hukum yang plin-plan sampai
sekarang, praktik KKN yang tetap berlangsung, ditambah dampak krisis
ekonomi regional maupun global yang terus melanda dewasa ini.

 * Kekhawatiran berbagai pihak dalam menyimak dampak berbagai krisis
tersebut terhadap kemungkinan disintegrasi atau terpecah-belahnya keutuhan
dan persatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) di masa depan.
Kemungkinan mana kian didorong oleh konflik separatisme yang tak
berkesudahan di Aceh, serta potensi gerakan serupa yang mulai muncul di
beberapa daerah lain. * Telah diupayakannya aneka-ragam solusi pencegahan oleh
berbagai pihak di masyarakat. Antara lain lewat ajakan:
Dialog-rembug-silaturahmi-dan--rekonsiliasi nasional, curah pendapat, pertemuan
informal tokoh nasional kunci, pembentukan aneka Forum (Rektor, Indonesia Damai),
Sidang Istimewa MPR, pergantian Presiden dan Wakilnya, penetapan kabinet
"Gotong-Royong", pembentukan Pansus DPR, Sidang Tahunan MPR sampai maksud
meng-amandemen serta mengubah UUD 1945 -- dengan atau tanpa pendirian Komisi
Konstitusi.
Seperti kita ketahui, serangkaian upaya tersebut di atas tidak atau belum
memberi hasil nyata yang diharapkan.

 * Perlunya dicari pendekatan alternatif guna melengkapi (bukan mengganti!)
langkah-langkah solusi tersebut di atas. Suatu alternatif yang bisa menghasilkan
terobosan inovatif-konstruktif sebagai pelengkap upaya-upaya korektif-rehabilitatif
yang sudah banyak dilakukan orang sampai sekarang. Keduanya merupakan
pilihan aktivitas yang sepintas tampak serupa, tapi sesungguhnya sangat berbeda
dampaknya bagi masyarakat. Betapa pun "suksesnya", tindakan korektif-rehabilitatif
itu lebih berfungsi menyambung hidup (survival). Sedangkan langkah
inovatif-konstruktif akan mampu memajukan kesejahteraan (prosperity) kehidupan
bersama. Namun sayangnya, tradisi berpikir di masyarakat kita cenderung mendorong
orang memprioritaskan upaya-upaya mempertahankan, ketimbang memajukan kehidupan.
Ya, bahkan konsep ketahanan nasional yang kita terapkan sejauh ini pun lebih
berorientasi "membela negara" ketimbang "mensejahterakan rakyat"....

 * Kepercayaan penyusun bahwa betapa pun buruknya sikon masyarakat kita saat ini,
pasti masih ada orang maupun pihak-pihak yang peduli, mau dan mampu ikut
menyumbang ke arah memajukan kesejahteraan bangsa. Namun sayangnya,
"potensi kebaikan" termaksud kalah kuat dibanding "aktualisasi keburukan" yang
berlangsung di masyarakat. Kenyataan mana menuntut ditemukannya semacam
strategi dan taktik untuk bisa menyeimbangkan, kalau mungkin bahkan mem-plus-kan
arus kebaikan sosial di kemudian hari.

 * Hasil studi Griya Gagasan (nama Perpustakaan, Lembaga Studi & Biro Pelatihan
dan Konsultasi yang penyusun kelola) tentang kecenderungan manusia selaku
"mahluk yang gemar bermain" pada umumnya, serta dampak hadirnya lomba
sebagai sejenis permainan sosial penting di hampir semua kebudayaan di dunia.
Artinya, secara subyektif tanpa diselenggarakannya lomba atau sayembara apa
pun, bisa-bisa saja ada sementara 'oknum' di masyarakat yang terpanggil untuk
berprestasi di bidang tertentu tanpa pamrih duniawi hari ini (meskipun bisa jadi
mereka sangat mendambakan "hadiah" di akhirat nanti). Tetapi secara obyektif
dengan hadirnya lomba berkala, apalagi yang nilai hadiahnya besar, pasti akan
menarik minat dan keikutsertaan banyak pihak di masyarakat. Belum lagi
kemungkinan memilih bidang-bidang kehidupan sosial tertentu, terutama yang
penting-tapi-terabaikan, yang sengaja ingin kita rekayasa pembudidayannya.
Sejarah penuh bukti, bahwa terselenggaranya tradisi lomba berhadiah telah
meningkatkan aktivitas dan prestasi masyarakat di bidang yang bersangkutan - baik
yang para pemenangnya dipertandingkan di suatu tempat (semisal Olimpiade 4-tahunan)
maupun yang diseleksi dan dinilai secara diam-diam (seperti halnya Hadiah Nobel
setiap tahun). Memang idealnya, apabila masyarakat dalam kondisi normal atau sehat,
lomba-lomba pemacu kreativitas demikian tidak mendesak digalakkan (meskipun kalau
kita simak, begitu banyak tradisi lomba dan sayembara berhadiah diselenggarakan orang
di negeri-negeri maju). Bahkan mungkin tidaklah berlebihan untuk menyimak
jumlah-ragam-dan-mutu hadiah yang beredar sebagai salah satu indikator kemajuan
suatu masyarakat atau bangsa.

 * Melihat-memperhatikan-dan-menimbang bahwa pemberian hadiah kepada mereka
yang berjasa di masyarakat perlu dibudayakan sebagai semacam upaya "balas budi"
secara sosial. Mengapa? Karena hal sebaliknya, tindakan "balas dendam" kepada
orang-orang yang bersalah berupa aneka ragam hukuman (sejak kurungan penjara
sampai kursi listrik!), sudah sejak lama hadir di masyarakat. Sangat tidak adil,
bukan?
Bahkan sementara kalangan masyarakat kita--maupun di negeri orang--ada yang
masih menempatkan tindakan balas dendam sebagai tradisi yang patut dijunjung
tinggi (contohnya: "Carok" di Madura, "Siri" di Bugis atau "Vendetta" di Italia).
Dengan kata lain, kebudayaan telah mendidik kita untuk menuntut "ganti rugi"
(lengkap berikut "bunganya") atas setiap pengalaman buruk yang diakibatkan
orang lain kepada kita; sementara semua pengalaman yang menguntungkan kita serap
habis tanpa kewajiban memberi ganjaran apa pun. Betapa tidak adilnya! Padahal
andaikan keseimbangan di bidang keadilan sosial termaksud berlangsung, seluruh
masyarakat juga yang akan menikmati manfaatnya. Karena itulah, kembali Griya
Gagasan memberanikan diri mencanangkan sebuah alternatif indikator
kemajuan/kemunduran masyarakat yang bisa sama-sama kita uji kesahihannya
sebagai berikut:

  "Suatu masyarakat akan MAJU apabila tindakan balas budi yang terjadi
 di antara anggotanya lebih banyak daripada praktik balas-dendam.
 Sebaliknya, masyarakat mana akan MUNDUR jika balas-dendamlah
 yang lebih banyak terjadi ketimbang balas-budi".
                             (Kedermawanan Baru,1985)

MENGUSULKAN: Menyelenggarakan aneka sayembara atau lomba berhadiah besar
(diusulkan "Rp 1 Milyar") untuk berbagai bidang prestasi sosial maupun kemanusiaan
di Indonesia. Adapun prestasi sosial-kemanusiaan yang dimaksud adalah: segala
kegiatan individu maupun kolektif yang membawa manfaat bagi kehidupan orang banyak.
Dan semakin besar, luas dan berkelanjutan dampak manfaat tersebut, kian tinggi pula
nilai prestasi yang bersangkutan -- termasuk jumlah uang yang layak menyertainya.

BEBERAPA PERSIAPAN YANG DIPERLUKAN:

 1. Membentuk Kelompok Studi yang terdiri dari pemikir-pemikir kreatif serta pakar
ilmuwan lintas disiplin. Fungsinya adalah sebagai "Think Tank" dan sekaligus
komite-pengarah sejak tahap persiapan, pemilihan jenis lomba, pengumuman,
pelaksanaan, seleksi pemenang, penganugerahan hadiah  sampai pemantauan hasil
aneka lomba termaksud. Dan demi efektivitasnya, disarankan agar kelompok pemikir
mana bukan hasil bentukan "dari atas" oleh pemerintah (seperti pola yang lazim
selama ini), melainkan dimunculkan "dari bawah" -- sebagai wujud kepedulian
pihak-pihak yang berkepentingan di masyarakat.

 2. Melestarikan & Merintis Tradisi Lomba. Khusus untuk tradisi yang sudah ada
(semisal Piala Kalpataru untuk bidang Lingkungan Hidup, Upakarti di bidang
Industri Kecil atau Adinegoro di bidang jurnalistik, Citra di bidang
perfilman, dan lain sebagainya); sebaiknya tetap dilestarikan -- sambil
menambahkan nilai uang yang memadai pada hadiahnya. Di lain pihak, aneka
lomba baru pun hendaknya segera dirintis -- khususnya untuk bidang-bidang
penting yang belum punya tradisi hadiah sampai sekarang. Sekali lagi, sebagai
mahluk yang gemar bermain, tanpa hadiah yang bernilai ekonomis pun, tentu ada
pihak-pihak yang mau mengikuti "permainan lomba" semata-mata demisimbol-simbol
psikologik (misalnya sistem kepangkatan) yang menyertainya.Tapi dengan adanya hadiah
uang besar, pasti jauh lebih banyak lagi merekayang akan tergiur mengikutinya. Dan
memang peranserta sebanyak mungkinpihak di masyarakat itulah yang menjadi maksud
usulan program ini.

 3. Dukungan Formal. Agar lebih efektif, berhubung nilai-nilai feodalisme
yang masih dianut di Indonesia, tentunya program ini memerlukan dukungan politis
dari pemerintah. Baik secara langsung misalnya lewat instruksi Presiden kepada
semua Menteri dan kepala daerah agar menggalakkan serta merintis tradisi lomba
berhadiah di lingkungan departemen/wilayah masing-masing. Jelas, betapa akan
sangat bermanfaatnya apabila seluruh hirarki pemerintahan di tanah air berkenan
menteladani dimulainya "Gerakan Balas Budi Sosial" berupa lomba aneka prestasi
termaksud sesuai lingkup dan skala tugas masing-masing. Umpamanya: "Hadiah
Rp 1 Milyar" Ibu Presiden dan Bapak Wapres di pusat, "Hadiah Rp 500 Juta" dari
Gubernur di tiap propinsi, "Hadiah Rp 100 Juta" dari Bupati di tiap Kabupaten,
"Hadiah Rp 25 Juta" di tiap Kecamatan, Hadiah "Rp 10 Juta" di tiap Kelurahan,
Hadiah Rp 5 Juta di tiap Desa, dst. Untuk mengambil contoh kemungkinan tersebut
terakhir saja, bisa Anda bayangkan dampak "revolusi positif" yang bakal terjadi
jika setiap tahunnya terselenggara lebih dari 60.000 lomba berhadiah sesuai
jumlah desa di seluruh tanah air tercinta. Ya, mengapa tidak?

 4. Kesiapan Finansial. Tak kalah penting kiranya diupayakan tersedianya dana
yang memadai dari berbagai pihak (pemerintah, swasta maupun badan-badan
internasional) demi keberhasilan program ini. Dan untuk mencegah hal-hal yang
"diinginkan" (maksud saya yang tidak dinginkan), sumber dananya tentu bukan
kocek pribadi sang pejabat (kalaupun hal itu "mungkin"); melainkan dari anggaran
resmi/APBD (bukan pula yang non-budjeter) atau lewat dana kolektif masyarakat
yang bisa dihimpun (misalnya lewat loterei yang murni acak berkala; bukan judi
"tebak angka" terselubung!). Dan sekali lagi, sangat dianjurkan agar hadiah uang
yang disediakan cukup tinggi nilainya agar mampu serta-merta mengalihkan minat
dan perhatian masyarakat luas mengikuti aneka jenis lomba termaksud. Lalu
mengapa "Rp 1 Milyar"? Penetapan jumlah tersebut sebenarnya sekedar simbol
yang dianggap punya makna psikologik "tertinggi" bagi masyarakat Indonesia
dewasa ini. Buktinya banyak kaum produsen yang memakai angka sejumlah
tersebut dalam kampanye promosinya, seperti: "Hadiah Rp 1 Milyar Extra-Joss"
untuk atlet Indonesia peraih Medali Emas Olimpiade 2000 Sidney, "Jepret 1 Milyar
Fujifilm", "Tawa 1 Milyar Ciptadent", "Beasiswa Plus Rp 1 Milyar So Klin", "Andaikan
Kudapat Satu Milyar Bank HSBC-Visa", dan yang paling populer belakangan ini
adalah acara "Who Wants To Be A Millionaire-nya Bank Mandiri" di RCTI. Ya, kalau
beberapa produsen barang dan jasa komersial saja mampu menyelenggarakannya,
mengapa sebagai bangsa kita tidak? Padahal terbukti kita sanggup mengeluarkan
Rp 20 Milyar untuk biaya penyelenggaraan sebuah Sidang Tahunan MPR - terlepas
dari ada tidaknya manfaat konkret yang dihasilkannya.

 5. Partisipasi Seluruh Masyarakat. Kunci keberhasilan program aneka lomba nasional
ini terletak pada peranserta berbagai pihak di masyarakat. Sebagai pengandaian lain,
alangkah baiknya apabila setiap asosiasi profesi yang ada di tanah air mau
melestarikan (jika sudah ada) serta merintis (yang belum punya) lomba prestasi di
bidang masing-masing.
Juga betapa akan melegakannya jika semua partai politik terdaftar di Indonesia
terpanggil mencanangkan sayembara berhadiah di bidang prestasi kemasyarakatan sesuai
visi serta misinya -- anggaplah sebagai semacam pendidikan politik "pra-kampanye"
menjelang Pemilu 2004 y.a.d.  Di lain pihak, donor-donor asing (NGO) pun mungkin
perlu diimbau peransertanya dalam menyelenggarakan sayembara berhadiah sesuai sektor
nirlaba pilihan masing-masing. Percaya atau tidak, paling tidak mekanisme demikian
bisa meminimalkan (kalaupun belum menghapus) praktik penyalahgunaan bantuan "gratis"
oleh LSM-LSM domestik yang menjadi badan perantaranya selama ini. Dan berhubung
otomatis akan dikontrol oleh para pemenangnya, dana program sayembara itu sangat
sulit dikorupsi dibanding umpamanya proyek menolong korban banjir di ibukota, bukan?

 6. Keterlibatan Pers. Jelas peranan media massa, baik cetak maupun elektronik, akan
sangat membantu keberhasilan program ini. Namun berhubung kecenderungan umum di dunia
pers lebih memprioritaskan pemberitaan hal-hal negatif (sesuai rumus jurnalistik:
"Bad news = Good news") ketimbang informasi positif; maka pada gilirannya mungkin
kampanye aneka lomba yang diusulkan di sini memerlukan kemampuan pihak penyelenggara
menerbitkan media komunikasinya sendiri berupa: poster iklan layanan masyarakat,
tabloid/majalah, serial sinetron, sandiwara radio, media Internet, dan sebagainya.

KESIMPULAN
      Meskipun gagasan intinya telah lama penyusun pikirkan (Kedermawanan Baru,
1985), urgensi penyelenggaraan program aneka lomba berhadiah ini sesegera mungkin
lebih didorong keprihatinan penyusun menyimak betapa timpangnya banjir "energi
destruktif" dibanding aliran "energi konstruktif" yang beredar di masyarakat kita
saat ini. Jelas, kondisi mana akan berakibat mudah gagalnya upaya-upaya
penanggulangan terbaik mana pun yang kita coba lakukan -- baik secara kolektif maupun
individual. Pada gilirannya, kegagalan-demi-kegagalan tersebut akan semakin
memperluas rasa pesimisme dan apatisme di kalangan masyarakat. Karena itu, adalah
keyakinan penyusun bahwa apa yang sangat kita perlukan sekarang bukan menambah lagi
solusi-solusi rehabilitatif untuk sekadar me-NORMAL-kan berbagai krisis nasional yang
ada (survival); melainkan serangkaian inovasi yang mampu me-MAJU-kan atau
mensejahterakan (prosperity) bangsa Indonesia di masa depan. Aneka lomba berhadiah
besar yang diusulkan di sini hanyalah satu di antara alternatif program yang kiranya
mampu memancing dan memacu aktivitas konstruktif berskala luas di masyarakat kita
yang sedang "sakit parah" dewasa ini. Sebuah ajang perubahan secara cepat atau
"Revolusi yang Positif" tanpa musuh, bukan jenis revolusi penuh konflik dengan
ancaman "pertumpahan darah" seperti yang banyak dikhawatirkan orang bisa terjadi.

     Kebetulan, sejak lama penyusun mengamati betapa kuatnya dampak sosial suatu
lomba berkala dalam "menghidupkan" sektor kegiatan tertentu di masyarakat. Sekali
sebuah penghargaan sosial berlanjut menjadi tradisi, maka akan terpaculah berbagai
kemajuan tanpa henti di bidang yang bersangkutan - baik di tingkat lokal ("panjat
pohon Pinang" menyambut HUT Kemerdekaan), nasional (Kalpataru), regional-ASEAN
(Hadiah Magsaysay dari Filipina) maupun internasional (Nobel dari Swedia) - untuk
menyebut beberapa contoh.
Bukti serupa bisa kita simak di bidang lain, misalnya popularitas olahraga tinju di
masyarakat kita belakangan ini (yang kini bahkan sudah merebak ke kalangan siswa
SMU!) pasca hadirnya acara berkala "Gelar Tinju Profesional" berhadiah uang lumayan
di TV. Belum lagi ditambah tayangan jenis lomba perkelahian bebas "The Ultimate
Fighting Championship" terbaru, (yang versi Indonesianya pun sudah mulai ditiru oleh
TV lokal kita) -- padahal apatah manfaat sosial maupun kemanusiaan dari lomba-lomba
demikian?

      Contoh lomba lain yang sangat populer di dunia namun patut kita pertanyakan
manfaat kemanusiaannya adalah tradisi rekor GUINNESSS -- yang di sini pun sudah
ditiru oleh MURI (Museum Rekor Indonesia)-nya Jamu Jago di Semarang. Seringkali
orientasi aneka "prestasi Guinness" sekedar ingin menjadi nomor satu atau "yang
ter..." di seluruh dunia -- tanpa pertimbangan manfaat kemanusiaan apa pun yang
dihasilkan bidang bersangkutan.
Contohnya:
rambut terpanjang, gigi terkuat, teriakan terkeras, push-up terbanyak, berdiri di
atas satu kaki atau melipat tubuh terlama, dan lain sebagainya - termasuk, ma'af,
menaklukkan puncak gunung tertinggi-Himalaya--yang menjadi dambaan begitu banyak
pendaki gunung di seluruh dunia. Karena itulah-sekali lagi--usulan ini ingin
membatasi aneka lomba prestasi yang dimaksud untuk bidang-bidang karya nyata yang
bernilai sosial-kemanusiaan. Dan "manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang" (the
greatest good for the greatest number of people) kiranya tetap bisa dijadikan
tolok-ukur dasar dalam menilai peringkat prestasi yang bersangkutan.

      Bahwa kepedulian serta tindak kesetiakawanan sosial masih tetap ada di
masyarakat tak perlu kita ragukan. Namun sekali lagi, amat disayangkan
pengejawantahannya terlalu berorientasi ke upaya-upaya korektif-rehabilitatif; bukan 
inovatif-konstruktif seperti yang dimaksud usulan ini.
Rangkaian upaya tersebut pertama adalah misalnya: menolong para Korban Bencana,
membela si Teraniaya, menyembuhkan si Sakit, menormalkan si Cacat, menyantuni si
Miskin, menyekolahkan si Bodoh, menghancurkan Musuh, dan semacamnya. Serangkaian
tindakan sangat terpuji yang jelas berbeda fungsi serta dampaknya dibanding upaya
konstruktif-inovatif yang dimaksud di sini, yakni:
menghadiahi mereka yang berjasa di masyarakat -- tanpa bermaksud mengurangi nilai
kemuliaan rangkaian tindak kedermawanan tersebut sebelumnya. Menolong mereka yang
tidak atau kurang beruntung adalah upaya GENTING yang sangat diperlukan, namun
menghargai serta melestarikan aneka prestasi sosial adalah hal PENTING yang tak boleh
dilupakan oleh setiap masyarakat.
Tanpa mengingkari kemungkinan adanya pihak-pihak yang justru menghendaki merebaknya
konflik sosial serta terpecah-belahnya Republik Indonesia demi kepentingan
masing-masing (baik di dalam bahkan juga di luar negeri), penyusun percaya bahwa
masih cukup banyak pihak di masyarakat yang peduli dan rela berkorban mempertahankan
keutuhan integritas dan kedaulatan negara kita tercinta. Kepada merekalah
pertama-tama usul "Aneka Lomba Rp 1 Milyar" ini penyusun persembahkan. Dan mengingat,
menyaksikan dan merasakan masih rawannya aneka "konflik nasional" di negeri kita
sampai sekarang, penyusun sangat berharap usulan ini bisa segera sampai ke tangan,
pikiran dan hati pihak-pihak yang memiliki kemauan dan kemampuan untuk bersama-sama
membantu perwujudannya. Ya, kalau hukuman terberat (sampai "tewas dibakar
hidup-hidup"!) sudah tega kita terapkan kepada para pelaku (bahkan kerapkali baru
tersangka!) kejahatan di masyarakat, mengapa hadiah bernilai besar bagi
pahlawan-pahlawan sosial belum kunjung kita relakan?

     "Marilah kita kerahkan seluruh kemampuan berpikir untuk berbuat kebajikan,
    sebagaimana kaum penjahat memakainya dalam tindak kriminal mereka!"
       -  Cotton Mather dalam "Essay to Do Good" 
___________
* Penjabaran dari satu di antara beberapa gagasan proyek sosial-kemanusiaan yang
diusulkan dalam buku "TERAMPIL BERPIKIR" (Griya Gagasan & Milenia Populer, 2001).
Untuk keteranganlebih lanjut, silakan menghubungi:  <ideas@cianjur.wasantara.net.id>.

Terimakasih.