[Nasional-m] Sanksi Sosial

Ambon nasional-m@polarhome.com
Mon Sep 23 23:00:57 2002


SUARA PEMBARUAN DAILY

Sanksi Sosial
Oleh Adhie M Massardi

Kalau saja kita hidup di negeri Cina, dan Ir H Akbar Tandjung ketua
parlemennya, niscaya hakim-hakim di pengadilan akan mengirim dirinya ke
hadapan regu tembak untuk dieksekusi mati. Tapi kenapa pemerintah RRCina
mentradisikan hukuman maksimal, yaitu hukuman mati bagi pejabat publik yang
korup?
Seorang diplomat Cina mengatakan pada penulis, korupsi dipandang pemerintah
RRCina sebagai kejahatan terorganisasi paling laknat. Setara kejahatan
narkoba karena korbannya masyarakat banyak. Ia memberi contoh pejabat Cina
yang mengorup dana pembangunan jembatan yang kemudian ambruk karena memang
rapuh sebab komposisi materialnya berkualitas rendah. Akibat rubuhnya
jembatan yang merupakan salah satu infrastruktur perekonomian itu, tak
terhitung kerugian yang kemudian diderita masyarakat.
Kalau kita memakai logika berpikir model Cina itu, dengan mudah kita bisa
menakar secara matematis kejahatan manipulasi Rp 40 miliar dana nonneraca
Badan Urusan Logistik yang dilakukan Akbar Tandjung dkk. Uang sejumlah itu
menurut rencana akan dibelikan sembako untuk menolong rakyat yang
termiskinkan akibat krisis moneter. Kalau setiap kepala keluarga (KK)
memperoleh sembako senilai Rp 50 ribu, dipotong biaya distribusi Rp 5
milyar, tak kurang dari 700.000 KK akan menerima jatah sembako itu.
Tetapi semua itu fiksi belaka. Sebab uang yang Rp 40 miliar itu dibawa
melanglang buana entah ke mana. Maka, sekali lagi, dengan logika berpikir
gaya Cina itu, kejahatan korupsi yang dilakukan Akbar Tandjung dkk setara
dengan (maaf) perampokan terhadap 700.000 KK dalam sekali gebrak. Nah, bila
setiap sekali merampok diganjar hukuman satu bulan, vonis bagi Akbar
Tandjung dkk bisa lebih dari 50 ribu tahun penjara! Dengan demikian, vonis
hukuman mati lebih ringan dan manusiawi....
Bersyukurlah Akbar Tandjung dkk hidup di negeri Pancasila dan bukan di Cina
yang komunis. Sebab hakim pengadilan di sini hanya memidana tiga tahun
penjara untuk kejahatan terhadap sekurang-kurangnya 700.000 kepala keluarga
itu. Ia juga tidak perlu langsung masuk bui. Malah masih bisa jalan-jalan ke
luar negeri seraya tetap memimpin salah satu lembaga tinggi negara dengan
santai. Sudah begitu masih bisa ditawar dengan banding. Kalau itu pun belum
memuaskan masih tersedia mekanisme kasasi, dan seterusnya sampai vonis itu
dianggap telah berkekuatan hukum tetap.
Memang Ajaib
Mekanisme hukum di negeri ini memang ajaib! Keputusan-keputusan dari ruang
pengadilan nyaris tak ada yang sungguh-sungguh mencerminkan rasa keadilan
masyarakat. Sudah jadi pengetahuan publik bila hukum kita, tak pernah mampu
menjangkau kejahatan para pembesar. Kalau toh ada "rakyat besar" yang
akhirnya terjerat hukum dan masuk bui, perlakuannya berbeda dengan
narapidana lain. Ia diperlakukan sebagai "tamu VIP" hotel prodeo. Dan tak
jarang ia jadi "atasan langsung" kepala lembaga pemasyarakatan (kalapas).
Meskipun keadaan itu telah membuat masyarakat pencari keadilan frustrasi
sehingga mereka kemudian lebih memilih mekanisme "keadilan jalanan"
(menghajar lalu membakar siapa saja yang dianggap melakukan tindak
kejahatan) dan telah menelan begitu banyak korban, termasuk beberapa anggota
polisi, toh tak seorang penegak hukum pun terketuk hatinya untuk mengubah
kondisi semacam itu. Hukum sampai hari ini masih tetap menjadi (dijadikan)
alat permainan para petinggi negeri.
Tetapi salahkah mereka yang telah mempermainkan hukum di negeri ini? Menurut
hemat saya, kegagalan penegakan hukum dan keadilan di negeri ini bukan
sepenuhnya kesalahan mereka. Kita pun punya andil cukup besar terjadinya
kekosongan atau kenihilan nilai-nilai hukum di Tanah Air. Sebab sesungguhnya
kita masih memegang "palu keadilan" yang lain, tapi tak pernah kita gunakan.
Padahal kalau digunakan dengan baik, tak kalah ampuhnya dengan palu hakim di
ruang-ruang pengadilan. Itulah "palu sanksi sosial" yang kesaktiannya pernah
kita buktikan pada orang-orang yang "dikirikan" (di-PKI-kan) rezim Orde
Baru, terutama pada dua dasawarsa pertama kekuasaan dzolim yang
ditulangpunggungi kekuatan Golkar itu.
"Bersih Lingkungan"
Masih ingat idiom "bersih lingkungan"? Itulah istilah untuk mengatakan
apakah seseorang itu punya kaitan keluarga atau tidak dengan seseorang yang
diduga anggota komunis (PKI) atau yang terlibat G30S/PKI atau yang oleh
rezim Orde Baru dicap "kiri".
Bila kakek, ayah, ibu, ipar, mertua, paman, bibi atau saudara kita telah
dicap "kiri", maka kita mendapat predikat "tidak bersih lingkungan".
Dan itu artinya kita jadi lebih nista dari kaum paria. Masyarakat enggan
bergaul dengan kita. Nama kita akan dilewatkan begitu saja bila tetangga
kita hajatan khitanan, kawinan, dan lain-lain. Lebih sial dari itu, kita
akan kesulitan mencari kerja. Para pengusaha tak mau ambil risiko dituduh
melindungi atau menghidupi orang-orang yang "tidak bersih lingkungan".
Pendek kata, seorang yang dicap "tak bersih lingkungan" berarti mengalami
"kematian secara perdata".
Begitu dahsyatnya sanksi sosial yang dijatuhkan masyarakat ketika itu kepada
siapa saja yang dituduh "kiri". Sampai mengimbas pada istri, suami, anak,
menantu bahkan cucu. Itulah sebabnya hingga detik ini sebagian besar
masyarakat kita, terutama yang kini berusia di atas 25 tahun - apalagi yang
pernah merasakan sanksi sosial itu - niscaya masih mengalami trauma luar
biasa terhadap kata "komunis".
Paling Berbahaya
Sekarang kita tahu bahwa korupsi merupakan musuh paling berbahaya karena
telah mengakibatkan negara-bangsa menderita berkepanjangan dan terhina di
dunia internasional. Oleh sebab itu, ketika hukum tak sanggup lagi menyentuh
para koruptor karena para penegak keadilan juga dijangkiti wabah korupsi,
maka sudah saatnya kita gunakan vonis moral dan sanksi sosial seperti pernah
kita jatuhkan pada orang yang dituduh "kiri".
Sebab itu, orang-orang yang kita yakini koruptor - indikator seseorang itu
korupsi atau tidak kan sangat gamblang - juga anak dan istrinya, kalau perlu
saudara-saudaranya, dijauhkan dari lingkungan sosial kita. Ia (atau mereka)
jangan diundang pada acara khitanan, kawinan, atau perayaan-perayaan lain di
lingkungan kita. Tak kalah penting, media massa tidak mengutip - apalagi
minta pendapat resmi mengenai masalah yang berhubungan dengan soal moral -
pada para petinggi atau pejabat publik yang korup itu. Mereka harus
diisolasi, kalau perlu, misalnya anak-anaknya, diolok-olok di sekolah
sebagai keturunan koruptor!
Memang cara itu kurang manusiawi. Sebab belum tentu anak- istri/suami, juga
saudara sang koruptor, tahu bahwa anggota keluarganya melakukan kejahatan
korupsi. Tapi bukankah mereka telah turut menikmati hasil kejahatannya?
Bila kita bisa menjatuhkan sanksi sosial itu pada para koruptor, mungkin
saja bisa menumbuhkan "sensor diri" dalam kehidupan keluarga kita, saling
mengingatkan agar tidak melakukan korupsi supaya anak-istri-suami dan
keluarga lainnya terhindar dari sanksi sosial yang lebih kejam dibandingkan
sanksi hukum, bahkan bila hukum berjalan normal.
Sebab kenyataan sekarang ini terbalik. Kita hormat secara berlebihan pada
orang berduit dan berjabatan, sekalipun kita tahu uang dan jabatan itu
diperoleh dari permainan kotor. Jadi, kalau kita tidak sanggup memvonis dan
menjatuhkan sanksi sosial pada para koruptor, jangan hanya menyalahkan
penegak hukum bila kejahatan korupsi di negeri ini tetap marak.
Penulis adalah budayawan.


Last modified: 23/9/2002