[Nasional-m] Bahasa Jawa, Masihkah Dikeramatkan?

Ambon nasional-m@polarhome.com
Wed Sep 25 01:12:02 2002


Suara Karya

Bahasa Jawa, Masihkah Dikeramatkan?
Oleh Pudyo Saptono

Rabu, 25 September 2002
Seorang ibu keturunan ningrat di Solo mengeluh, tentang kondisi bertutur
bahasa Jawa anak-anaknya yang mulai kacau. Jangankan bertutur dengan bahasa
halus (krama inggil), sekadar bercakap-cakap memakai bahasa Jawa kasar saja,
anak-anak rasanya sudah mulai enggan. Mereka kini cenderung mendalami dan
menghayati bahasa gaulnya Debi Sahertian, bahasa prokem serta bahasa Inggris
parikena (sekenanya). Kondisi begini, dikhawatirkan ibu bangsawan tadi,
bakal memutus mata rantai budaya Jawa dengan generasi mudanya.
"Jika anak-anak tak lagi mau bertutur dengan bahasa Jawa, tak lagi mau
melantunkan tembang-tembang Jawa kuno, dan tak lagi mau menulis dengan
aksara Jawa, maka budaya Jawa bakal tercerabut dari akarnya," kata dia
dengan perasaan yang masygul.
Bahasa Jawa, yang pada masa lampau menjadi simbol bahasa resmi pada lingkup
pemerintahan kerajaan di Jawa, sekarang memang tengah mengalami degradasi
makna serta bergeser menjadi bahasa keluarga alias bahasa kedua. Kenyataan
ini tentunya sangat mengecewakan kalangan masyarakat penutur bahasa Jawa.
Sebab, dalam kedudukannya sebagai bahasa kedua, bahasa Jawa sekadar
berfungsi sebagai bahasa pengantar dalam proses interaksi sosial antar
individu yang bersifat tak resmi.
Berlangsungnya pergeseran tersebut sudah barang pasti bakal menimbulkan
berbagai dampak, khususnya tentang penggunaan bahasa Jawa baik lisan maupun
tulisan. Namun demikian, biarpun sudah tidak menjadi bahasa resmi, bahasa
Jawa masih menempati posisi terhormat sebagai salah satu bahasa yang harus
dihormati dan dipelihara oleh negara, sebagaimana termaktub dalam
Undang-undang Dasar 1945.
Kendati harus mengalami degradasi sebagai bahasa kedua, bahasa Jawa,
diyakini atau tidak, sampai sekarang masih sangat bernilai, bukan saja
karena para pemerhati, pecinta, pengguna dan pendukungnya yang berjumlah
amat besar. Akan tetapi sosok bahasa Jawa sendiri sudah terlanjur merupakan
lambang kebanggaan jati diri bagi daerah dan etnis Jawa. Juga, menjadi
wahana efektif sarana komunikasi antarkeluarga dan masyarakat, juga alat
pergaulan, sarana pengungkap dan pengembang budaya daerah, serta pendukung
pembangunan lokal maupun nasional.
Hanya saja, di balik kebanggaan itu, muncul juga kekhawatiran, bahwa
ternyata dewasa ini semakin banyak masyarakat Jawa yang kadar pengertian dan
penguasaannya terhadap bahasa Jawa sudah semakin menipis. Bahkan, fakta di
lapangan menunjukkan, banyak generasi muda Jawa kini tak lagi mahir
melafalkan bahasa yang cukup dikeramatkan itu. Kalau kemampuan melafalkan
bahasa saja sudah ambruk, bagaimana pula kemampuan mereka membaca dan
menulis dengan aksara Jawa?
Jika mengacu pada UUD 1945, bahwa pemeliharaan bahasa-bahasa daerah
(termasuk di dalamnya bahasa Jawa) adalah merupakan amanat yang wajib
dilaksanakan pemerintah. Oleh karena itu, berbagai usaha serta kebijakan
untuk melestarikan bahasa daerah tadi tentu harus segera dilaksanakan dengan
menggunakan terobosan yang benar-benar cerdas. Apa yang dilakukan Pemprov
Jawa Tengah selaku pemangku kuasa bahasa Jawa yang menetapkan pelajaran
Bahasa Jawa sebagai kurikulum muatan lokal wajib untuk SD dan SLTP, adalah
contoh ide cerdas yang wajib dicontoh Pemprov lain yang juga memiliki bahasa
daerah yang adiluhung dan keramat.
Untuk Pemprov Jateng sendiri, sebenarya usaha memelihara bahasa Jawa sebagai
salah satu bahasa daerah yang ada di Indonesia sudah banyak dilaksanakan,
antara lain melalui pertemuan-pertemuan, sarasehan-sarasehan, melalui Diklat
dan sebagainya. Di samping itu, peran masyarakat sendiri tak boleh dibilang
kecil.
Dalam setiap melangsungkan upacara pernikahan misalnya, masyarakat
senantiasa masih melaksanakan dengan tata cara dan adat Jawa. Bahasa
pengantar yang dipakai, juga bahasa Jawa. Sedang terobosan terkini yang
dilakukakan Pemprov Jateng adalah menetapkan bahasa Jawa sebagai muatan
lokal wajib di tingkat SD dan SLTP. Dengan penetapan ini, diharapkan para
generasi muda kelak masih bisa mempelajari serta mengembangkan bahasa Jawa.
Sebenarnya kalau mau jujur, muatan lokal (mulok) seperti ini sudah berjalan
sejak 10 tahun lalu. Namun karena keterpurukan bahasa Jawa waktu itu belum
kentara, isu muatan lokal seperti membentur angin saja.
Sekarang, ketika kondisi bahasa Jawa mengalami degradasi sebagai bahasa
kedua, orang tiba-tiba ramai tunjuk hidung. Muatan lokal Bahasa Jawa yang
diwajibkan untuk SD dan SLTP sejak 10 tahun lalu, dituduh sebagai proyek
hampa karena tidak memberi hasil sebagaimana diharapkan. Ujung-ujungnya
Dinas P dan K Jateng sebagai dinas yang mendapat tugas serta bertanggung
jawab dalam masalah ini, divonis sebagai biang kerok.
Sebelum melempar tudingan, masyarakat seharusnya memahami berbagai
kekurangan dalam usaha menanamkan pengertian pelajaran Bahasa Jawa ini.
Persoalannya bukan saja bertumpu pada kekurangtepatan para penyusun
kurikulum mulok Bahasa Jawa. Misalnya ada komposisi substansi dengan alokasi
waktu yang tidak sesuai, kejelasan dan kedalaman materi, buku ajar dan
sebagainya. Di samping itu, justru guru-guru yang menyampaikan pelajaran
Bahasa Jawa juga masih banyak yang belum memahami. Perlu diperhatikan, bahwa
untuk tingkat SD saat ini, yang mengajar adalah guru kelas, bukan guru
bidang studi. Jadi bisa digambarkan bagaimana kemampuan seorang guru yang
mengajar semua mata pelajaran itu. Sementara untuk SLTP, guru Bahasa Jawa
juga masih terbatas, padahal jumlah SLTP-nya cukup banyak.
Kalau persoalannya terletak pada upaya meningkatkan kemampuan, sebenarnya
Dinas P dan K Jateng telah melaksanakannya setiap tahun untuk semua guru.
Hanya khusus guru mata pelajaran Bahasa Jawa, memang terlihat masih sangat
minim. Sebagai gambaran, selama satu dasa warsa (mulai 1992-2001) jumlah
guru SD yang mendapat jatah mengikuti penataran/pelatihan pembelajaran
Bahasa Jawa hanya berkisar 320 orang. Sementara untuk tingkat SLTP,
penataran guru Bahasa Jawa baru dilaksanakan tahun 2001 dan diikuti 60
orang.
Dari gambaran di atas terlihat, bahwa masih sedikit sekali jumlah guru yang
memperoleh kesempatan mengikuti pelatihan maupun penataran. Padahal jumlah
guru SD maupun SLTP di Jateng sangat besar. Di samping itu, dalam usaha
meningkatkan kemampuan guru SD, pemerintah sudah memancang program
penyetaraan D2. Namun peningkatan yang dikhususkan bagi pelajaran Bahasa
Jawa belum pernah ada.
Sebenarnya ada satu cara lain untuk meningkatkan kemampuan guru dalam
mengembangkan pelajaran Bahasa Jawa yang cerdas. Yaitu dengan menyediakan
bahan bacaan dalam jumlah banyak. Namun ketika hal itu terlontar, Dinas P
dan K Jateng kembali tak berkutik. Dana yang terbatas, menjadi penyebab
tidak tersedianya buku-buku pelajaran Bahasa Jawa dalam jumlah ideal.
Selain keterbatasan dana, kebetulan buku-buku yang berkaitan dengan itupun
masih sangat terbatas. Sebagai gambaran, antara tahun 1994-2001, hanya
muncul 7 judul buku pelajaran Bahasa Jawa untuk siswa yang dicetak para
penerbit. Dari 7 judul buku itu, 6 judul di antaranya memuat bahan ajar yang
kurang sesuai dengan GBPP 1994, karena lebih menekankan pada pendekatan
gramatikal dan bukan pada pendekatan komunikatif sebagaimana diisyaratkan
dalam kurikulum. Dalam posisi seperti ini, penekanan pembelajaran Bahasa
Jawa tidak lagi sebagai sarana komunikasi, akan tetapi lebih mengarah kepada
Ilmu Bahasa. Juga ada yang isinya memunculkan pengetahuan kebahasaan secara
parsial, yang lebih menekankan pada aspek hafalan. Misalnya hafalan nama
bunga, anak hewan dan sebagainya. Dari ke tujuh judul buku tersebut, yang
memiliki nilai layak untuk dipakai sebagai bahan belajar siswa hanya ada 3
judul. Sementara, kemampuan pemerintah sangat terbatas sekali untuk
menyediakan buku-buku pelajaran Bahasa Jawa bagi siswa. Karena kemampuan
yang terbatas, pemerintah baru mampu menyediakan salah satu judul sebanyak 1
set (jilid 1 s/d 6) khusus untuk SD Inti.
Apakah di tengah-tengah dana yang serba terbatas serta menipisnya minat
generasi muda, Bahasa Jawa masih bisa dibilang keramat? Semua akan berpulang
ke masyarakat sendiri. Kalau di tengah-tengah masyarakat bisa dimunculkan
sebuah gerakan memelihara serta nguri-uri kelestarian Bahasa Jawa, seperti
melalui kursus Pranatacara dan Pamedhar Sabda, kekhawatiran bakal musnahnya
bahasa keramat tadi pantas dikesampingkan.
Selain itu yang paling penting, para guru dalam melaksanakan tugas
mengajarnya dapat lebih berorientasi pada pendekatan komunikatif. Dalam
pendekatan ini, penekannya pada fungsi bahasa sebagai salah satu sarana
komunikasi. Bukan lagi mempelajari ilmu bahasa/teknik gramatikalnya. Para
guru hendaknya juga berwawasan lingkungan, mengingat keberadaan Bahasa Jawa
yang beraneka ragam dialeknya. Untuk itu strategi pengajaran Bahasa Jawa
yang paling tepat adalah melalui dialek setempat. ***
(Pudyo Saptono, Koresponden Suara Karya Di Semarang dan pemerhati Bahasa
Jawa).