[Nasional-m] [Nasional] Menyikapi Isu Terorisme di Indonesia

nasional-m@polarhome.com nasional-m@polarhome.com
Thu Sep 26 01:00:12 2002


-----------------------------------------------------------------------
Mailing List "NASIONAL"
Diskusi bebas untuk semua orang yang mempunyai perhatian terhadap
eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
-----------------------------------------------------------------------
BERSATU KITA TEGUH, BERCERAI KITA RUNTUH
-----------------------------------------------------------------------
Sinar Harapan
25/9/2002

Menyikapi Isu Terorisme di Indonesia
Oleh Victor Silaen

Dalam beberapa hari terakhir ini, isu terorisme menjadi topik menarik yang
banyak disoroti oleh media massa di Indonesia. Isu tersebut dibawa masuk
oleh laporan Central Intelligence Agency (CIA) yang telah dimuat oleh
mingguan Time dan telah beredar ke mana-mana.
Laporan itu menyebutkan, Omar Al-Farouq yang tertangkap di Indonesia
beberapa bulan silam telah diserahkan kepada Amerika Serikat (AS). Dalam
pemeriksaan yang dilakukan oleh aparat keamanan dan intelijen AS, Al-Farouq
mengatakan bahwa dirinya adalah anggota terkemuka jaringan teroris Al-Qaeda.
Laporan Time yang belum lama beredar di Indonesia itu kemudian disusul
dengan berita tentang ditangkapnya seorang warga negara Jerman keturunan
Arab bernama Seyam Reda oleh aparat kepolisian Indonesia. Ketika diperiksa,
Reda mengaku sebagai wartawan televisi kabel Al-Jazeera—stasiun televisi
yang selama ini diketahui telah beberapa kali menyiarkan pidato Osama bin
Laden, pe-mimpin tertinggi Al-Qaeda.
Perihal apakah dia juga terkait, baik langsung maupun tidak langsung, dengan
Al-Qaeda, hingga kini masih harus ditunggu hasil pemeriksaan aparat keamanan
dan intelijen Indonesia.
Menurut laporan Time, Al-Farouq mengaku berencana akan membunuh Megawati
Soekarnoputri sebelum menjadi presiden. Ia bahkan mengaku pernah melakukan
aksi pengeboman di beberapa tempat di Indonesia, antara lain di pusat
belanja Atrium Senen, Jakarta, pada Agustus 2001.
Dalam peristiwa itu seorang bernama Dani alias Dodi, yang bernama asli
Taufik Abdul Halim, telah dijatuhi hukuman oleh pengadilan Indonesia.
Dani sendiri adalah seorang warga negara Malaysia, anggota Kelompok
Mujahidin Malaysia, yang setelah masuk ke Indonesia secara ilegal bersama 10
warga Malaysia lainnya kemudian bergabung dengan Laskar Jihad Mujahidin di
Maluku.
Pemuda yang diduga anggota teroris internasional ini pernah tinggal di
Pakistan selama tiga tahun dan mengaku benci kepada kaum Nasrani (lihat
Tempo edisi 20-26 Agustus 2001). Dalam keterangannya yang lain, ia juga
mengaku bahwa peledakan bom di Gereja Santa Anna, Jakarta Timur, sepekan
sebelumnya, merupakan hasil kerja kelompoknya.
Itu baru sedikit contoh saja, belum lagi peristiwa-peristiwa lainnya. Tapi
jelas, ancaman terorisme itu sungguh mengerikan kita semua. Apalagi jika
pengakuan Al-Farouq benar, bahwa dia pernah berencana akan membu-nuh
Megawati Soekarnoputri.
Akan tetapi, apa reaksi gian masyarakat Indonesia? Alih-alih merasa takut
atau panik, yang lalu berpikir serius untuk mengantisipasi pelbagai hal yang
berkait dengan kemungkinan terorisme di sini, mereka malah menuduh AS cuma
ingin mengintervensi kebijakan politik dalam negeri Indonesia, dan ada juga
yang mengatakan AS ingin menjadikan Indonesia sebagai kaki-tangannya dalam
memerangi terorisme internasional.
Hal itu sungguh sebuah paradoks! Dan sayangnya, tak sedikit di antara
orang-orang yang berkomentar sumbang terhadap AS itu berlatar pendidikan
tinggi. Paradoksnya apa dan bagaimana?
Tak lama setelah serangan terorisme terhadap AS terjadi (yang kemudian
disebut "Peristiwa 911"), Pemerintah AS secara resmi mengumumkan hasil
investigasinya bahwa Al-Qaeda yang dipimpin oleh Osama bin Laden adalah
pihak yang diduga kuat sebagai pelaku utama tindakan biadab itu.
Lalu, apa reaksi sebagian orang Indonesia? Alih-alih menyatakan simpati,
mereka malah menilai AS telah sembarang menuduh. Jika benar AS bersikap
demikian, tentu sangatlah baik jika orang-orang Indonesia yang menuduh AS
seperti itu berupaya keras mencari kebenaran yang sesungguhnya.
Tapi, alih-alih melakukan hal itu, sebagian di antara mereka malah
mengelu-elukan Osama bin Laden bak seorang pahlawan. Apa dan siapa Osama bin
Laden itu padahal mungkin mereka tak tahu sama sekali. Aneh bukan? Yang
lebih aneh lagi, di Lampung bahkan muncul sebuah forum "kagetan" bernama
Front Osama, yang diketahui ikut terlibat dalam aksi-aksi demo terhadap AS.
Selanjutnya, mereka melakukan aksi sweeping di sejumlah tempat yang dianggap
ada kaitannya dengan AS (termasuk terhadap sejumlah warga negara AS yang
tengah berada di Indonesia).
Tindakan mereka jelas merugikan secara ekonomi, termasuk citra Indonesia di
mata orang asing. Puncaknya, mereka lalu merencanakan jihad untuk membela
Afghanistan yang tengah dibombardir AS dan sekutunya. Bersamaan dengan itu,
mereka lalu meminta Pemerintah RI untuk memutuskan hubungan diplomatik
dengan AS.
Secara rasional, jihad yang bertujuan mulia itu padahal akan lebih bermakna
jika ditujukan untuk memerangi para penjahat sosial-politik-ekonomi di dalam
negeri sendiri. Bukankah di negeri ini banyak koruptor, banyak pengedar
narkoba, banyak pelanggar hak asasi manusia, dan yang sejenisnya? Jadi,
mengapa harus repot-repot berjihad ke negeri orang? Cara berpikir seperti
apa, sebenarnya, yang mereka gunakan?
Singkatnya, gerakan protes sebagian orang Indonesia terhadap AS pun berakhir
juga. Lalu, bencana alam (atau musibah yang diundang?) pun datang: banjir di
berbagai pelosok Indonesia, termasuk di Jakarta. Mereka yang sebelumnya giat
berdemo memprotes AS, entah di mana rimbanya waktu itu.
Yang jelas, AS termasuk di antara para dermawan yang berbelas kasihan
menyaksikan korban-korban bencana alam itu. Tanpa memandang bulu, mereka
bertindak konkret: memberi bantuan. Adakah aksi protes dari orang Indonesia
terhadap perbuatan AS yang terpuji itu? Tidak.
Tapi, itu tentu mudah dipahami. Bantuan, masakan diprotes? Tapi, di dalam
hal itulah sesungguhnya paradoks sebagian orang Indonesia tadi terlihat
jelas. Jika apa yang dilakukan AS memberi keuntungan bagi kita secara
materil, bahkan juga non-materil, kita berdiam diri saja (termasuk dalam
kategori itu adalah sikap yang terkadang tak tahu berterima kasih).
Sebutlah, misalnya, bantuan-bantuan kemanusiaan dan pendidikan yang selama
ini telah banyak diberikan AS. Bahkan yang tak jelas-jelas memberi
keuntungan pun, asalkan citradiri kita ikut terangkat karena AS, dijamin tak
akan ada aksi protes yang akan kita lakukan terhadap mereka. Sebutlah,
misalnya, kesukaan menyantap junkfood ala AS. Oh, betapa bangganya.
Mengenakan pakaian atau benda-benda lain produksi AS, nah itu baru trendy.
Sesungguhnya masih banyak contoh yang dapat dikemukakan untuk menggambar-kan
betapa paradoksnya sebagian orang Indonesia dalam bersikap terhadap AS.
Tuduhan mereka terhadap Osama bin Laden dan Al-Qaeda sebagai pelaku utama
"Peristiwa 911" itu, misalnya, sebenarnya apa yang merugikan kita sehingga
kita layak memprotes AS?
Aksi militer yang dilakukan AS terhadap Afghanistan, contoh lain, sebenarnya
apa kaitannya dengan kita sehingga kita lalu tergerak untuk berjihad membela
Afghanistan? Kalaulah alasannya ada-lah rasa kemanusiaan, boleh jadi ini
sikap yang terpuji—meski harus dicermati secara rasional bahwa aksi militer
AS terhadap Afghanistan itu sendiri sebenarnya dilandasi rasa kemanusiaan:
untuk membebaskan rakyat Afghanistan dari penindasan rezim Taliban.
Itu jelas bukan alasan di balik aksi jihad sebagian orang Indonesia tadi.
Karena sesungguhnya, yang menjadi alasan adalah kesamaan agama semata. Hal
ini pun sesungguhnya harus dicermati secara rasional: agama sebagai pedoman
hidup atau agama sebagai identitas belaka?
Kalaulah agama sebagai pedoman hidup yang menjadi alasan, sesungguhnya kita
justru harus prihatin terhadap nasib jutaan rakyat di bawah pemerintahan
rezim Taliban itu. Sebagian besar mereka hidup di dalam ketidakbebasan dan
kesengsaraan.
Bukankah itu justru merupakan hal-hal yang harus diperangi oleh agama—agama
manapun? Sedangkan jika agama sebagai identitas yang dijadikan alasan, maka
di dalam hal inilah kita perlu belajar secara kritis untuk memilah-milah
identitas mana yang boleh dikedepankan dan di dalam konteks apa.
Mengapa dua orang Ambon yang beragama Kristen dan Islam mudah berkonflik di
Maluku, sedangkan jika mereka sedang studi di AS justru berteman akrab?
Karena di Maluku mereka mengedepankan agama sebagai identitas, sementara di
AS justru identitas kebangsaanlah yang diaktifkan.
Itulah yang dimaksud dengan kritis memilah identitas mana yang boleh
dikedepankan dan di dalam konteks apa. Di tengah kehidupan yang kian modern
dan majemuk ini, harus disadari bahwa agama sebagai identitas seyogianya
lebih sering dan lebih banyak dikebelakangkan atau dinonaktifkan saja.
Alasannya, karena ia selalu siap memicu konflik di tengah proses-proses
interaksi antarindividu maupun kelompok yang beraneka ragam. Dan jika
konflik berdasar perbedaan agama itu sudah terjadi, ia merupakan sejenis
konflik yang terbesar, terpanjang, dan tersulit untuk diselesaikan di
sepanjang sejarah dunia ini.
Kembali pada isu terorisme yang diekspor AS ke Indonesia selama beberapa
hari terakhir ini, lalu bagaimana sepatutnya kita bersikap? Pertama,
jaringan terorisme internasional dewasa ini, apakah ia direpresentasikan
oleh Al-Qaeda yang dipimpin oleh Osama bin Laden atau oleh organisasi apa
saja dengan pimpinan siapa saja, sesungguhnya ia harus membuat kita waspada.
Dengan sikap seperti itu, aka selanjutnya kita bertindak proaktif dan
antisipatif. Bahwa dugaan AS tentang adanya sel-sel jaringan terorisme itu
di Indonesia tidak benar, walahuallam. Tapi, berdasarkan fakta bahwa bom
demi bom sudah berulang kali meledak di negeri ini, tidakkah kita lebih baik
bagi kita untuk mempersiapkan segala sesuatu yang berorientasi preventif?
Kedua, secara jujur harus diakui bahwa selama ini kita telah menerima banyak
keuntungan dan mengambil manfaat dari upaya menjalin hubungan yang baik
dengan AS.
Karena itu, dengan tidak mengurangi sikap kritis, mengapa kita tidak
bersikap kooperatif terhadap AS dalam upayanya memerangi terorisme global
itu?
Ingatlah, AS sudah pernah melontarkan pertanyaan besar bagi negara-negara di
dunia:"You are either with us or againts us?" Beberapa negara, seperti
Pakistan, Filipina, Malaysia, dan Singapura, telah menjawabnya.
Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Bisakah kita sekarang menjawabnya secara
tegas, dan lalu menin-dak-lanjutinya secara konkret? Ataukah memang
Indonesia sejenis bangsa ambigu, yang di dalam banyak hal tak pernah jelas
pendiriannya?

Penulis adalah Dosen Fisipol UKI dan kandidat Doktor Ilmu Politik UI.



-------------------------------------------------------------
Info & Arsip Milis Nasional: http://www.munindo.brd.de/milis/
Nasional Subscribers: http://mail2.factsoft.de/mailman/roster/national
Netetiket: http://www.munindo.brd.de/milis/netetiket.html
Nasional-m: http://www.polarhome.com/pipermail/nasional-m/
Nasional-a: http://www.polarhome.com/pipermail/nasional-a/
Nasional-f:http://www.polarhome.com/mailman/listinfo/nasional-f
------------------Mailing List Nasional----------------------