[Nasional-m] Korupsi Tak Pernah Mati

Ambon nasional-m@polarhome.com
Thu Sep 26 01:12:01 2002


Sinar Harapan
25/9/2002

Korupsi Tak Pernah Mati

Judul buku : Korupsi
Pengarang : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit : Hasta Mitra, Jakarta 2002
Tebal buku : v + 159 halaman
(Harga Rp 21.500,00)

Oleh Anton Kurnia

Korupsi sudah ada sejak berabad-abad silam dan menyerang hampir semua
negara, entah itu negara demokratis, negara totaliter, negara maju ataupun
negara miskin. Sejak tahun 1990-an, liberalisasi ekonomi, gerakan reformasi
untuk menegakkan demokrasi dan integrasi dunia yang terus berlangsung telah
menyingkapkan borok-borok penyakit korupsi dan mencetuskan gerakan-gerakan
anti-korupsi yang makin meluas di berbagai penjuru dunia. Telah begitu
banyak cara diciptakan orang untuk mengatasinya. Namun, semua itu ternyata
sia-sia belaka karena kini korupsi makin menjadi-jadi.
Di dalam negeri, merajalelanya korupsi, kolusi dan nepotisme ditengarai
menjadi salah satu penyebab hancurnya sendi-sendi perekonomian nasional yang
berpuncak pada krisis ekonomi dan moneter berkepanjangan sejak lima tahun
silam.
Terdongkelnya Soeharto dari puncak kekuasaan dan penyeretan sebagian
kroni-kroninya ke meja hijau ternyata tidak banyak berarti bagi pemulihan
ekonomi nasional. Sistem peradilan kita justru tak luput dari penyakit
korupsi itu sendiri. Sementara itu, banyak koruptor kelas kakap dan para
obligor yang mengemplang uang rakyat hingga triliunan rupiah masih bebas
berkeliaran.
Sebagai sastrawan yang terlibat langsung dengan kehidupan masyarakatnya,
gejala sosial ini tak luput dari perhatian Pramoedya Ananta Toer. Di tahun
1953, saat tinggal selama enam bulan di Belanda, ia merampungkan sebuah
novel berjudul Korupsi. Novel itu terbit pertama kali tahun 1957. Kini,
novel tersebut diterbitkan kembali oleh Hasta Mitra, yang memang dikenal
sebagai penerbit buku-buku Pramoedya selepas ia bebas dari penjara rezim
Orde Baru.
Dalam karyanya ini Pramoedya menggambarkan dengan jeli dalam gaya satir yang
memikat bagaimana penyakit korupsi bisa mewabah secara luas menjadi
kebiasaan sosial melalui sosok Bakir, seorang pegawai negeri setengah baya
yang semula jujur dan sederhana. Pada awalnya korupsi terpaksa dilakukan
Bakir gara-gara tekanan kebutuhan ekonomi: gaji yang kecil sudah tak mampu
lagi membiayai hidup sebuah keluarga secara layak dengan empat anak. Jalan
pintas yang telah lama dilakukan oleh rekan-rekan sejawatnya itu ternyata
begitu nyaman dan bikin ketagihan.
Tanpa banyak susah payah, berkat secuil kekuasaan yang dimilikinya selaku
seorang pejabat kecil dalam sebuah departemen, dia meraih sukses sebagai
seorang koruptor yang menikmati segala kemewahan hidup di kota besar. la
bahkan tak segan-segan mencampakkan istrinya yang jujur dan anak-anaknya
yang masih kecil demi kepuasan pribadinya. Korupsi telah membuat seorang
suami setia dan ayah yang penyayang menjadi seorang lelaki tak tahu diri
yang haus kemewahan.
Malang bagi Bakir, istri barunya yang muda-jelita tetapi buruk perangai
ternyata justru menjadi pintu kehancuran baginya. Kelimpahan harta benda dan
gaya hidup jetset dengan segala konsekuensinya ternyata tak membuat hidupnya
bahagia.
Istri mata duitan yang suka main gila, pergaulan tingkat atas yang penuh
kepalsuan dan kemewahan tanpa makna membuat jiwanya hampa. Pada akhirnya,
segala kejahatannya terbongkar dan ia pun terpuruk dalam penjara.
Dalam bui, ia menyadari segala kekeliruannya. Tapi, tentu saja, semuanya
sudah terlambat. la hanya bisa menyesali masa lalunya: ”Kesunyian ini
membuat aku teringat... pada isteriku yang menangisi keruntuhanku dan juga
menangisi kebenaran yang akhirnya kuperoleh juga. Anakku yang empat orang
itu akan mendapatkan ayahnya kembali, setelah nama ayahnya disiarkan di
berbagai surat kabar bukan sebagai panglima berjasa, tetapi sebagai tikus
negara, sebagai koruptor. Bukan salah mereka. Juga bukan salah ibunya yang
selalu berusaha menghalangi kehancuran yang bakal menimpa budiku.” (hal.
150).
Yang menarik, setelah nyaris setengah abad, ternyata novel ini masih sangat
relevan dengan problema sosial-politik kita dewasa ini. Pramoedya menulis
cerita ini di tahun 1953 — hanya delapan tahun setelah kemerdekaan republik
ini diproklamasikan — dan kini, di awal abad kedua puluh satu, kita masih
saja menghadapi persoalan serupa: para pejabat korup yang menggerogoti uang
negara dan membuat rakyat banyak mesti menanggung akibatnya. Seakan-akan,
korupsi tak pernah mati. Seperti yang tertulis dalam pengantar buku ini, ”
...masalahnya tetap sama, cuma skala angkanya yang berbeda jauh, ratusan dan
ribuan menjadi miliaran dan triliunan rupiah, berbareng dengan rasa malu
yang sudah mandul dan juga ikut ludes sama sekali.” (hal. v).
Novel ini menarik dibaca sebagai sebuah karya sastra bermutu, sekaligus
sebagai tepukan di pundak untuk menyadarkan mereka yang gemar
menyalahgunakan kekuasaan demi keuntungan pribadi. Satu lagi yang menarik,
seraut wajah yang sedang tersenyum lebar dalam sampul buku ini mengingatkan
kita pada anak kesayangan seorang mantan presiden yang ramai diberitakan
berbagai media massa akhir-akhir ini karena kasus korupsi dan tuduhan
pembunuhan. Sebuah gagasan kreatif yang rada nakal, tapi cukup menyentil.

Peresensi adalah cerpenis dan pecinta buku, tinggal di Bandung.



Copyright © Sinar Harapan 2002