[Nasional-m] Dampak Kemarau Panjang

Ambon nasional-m@polarhome.com
Thu Sep 26 22:24:06 2002


Sinar Harapan
26/9/2002


Dampak Kemarau Panjang
Warga Kesulitan Air, Lada pun Mati

Kemarau panjang yang melanda Lampung sejak Mei lalu banyak memakan korban.
Tidak saja tanaman, dan kabut asap, tapi warga pun mulai kesulitan
mendapatkan air bersih.
Di Kotabumi, ibukota Lampung Utara, misalnya, debit air PDAM setempat turun
25% dari normal 50 liter/detik menjadi 38 liter/detik. Menurut Direktur
Utama PDAM Way Bumi, Chairil RH, akibat penurunan debit tersebut distribusi
air ke rumah-rumah pelanggan jadi tersendat.
Untuk mengatasi keluhan pelanggan yang kekurangan air, PDAM berusaha
meminimalisasi kebocoran yang sebelumnya 42% menjadi 29%. Kendati begitu,
Chairil mengakui, masih belum mampu mengatasi kekurangan air yang ada.
Demikian pula di Kota Pringsewu, Kabupaten Tanggamus. Akibat PDAM setempat
macet, warga terpaksa mencari air bersih ke sumur-sumur yang berada di
persawahan. Gatot, warga Pekon Rejosari, Pringsewu mengatakan, sejak PDAM
setempat sering macet mereka kesulitan air bersih.
”Memang saat ini musim kemarau panjang, tapi seharusnya PDAM Way Agung harus
mengatasinya, jangan diam saja air macet begini,” keluhnya, baru-baru ini.
Setiap pagi dan sore para kaum wanita dan anak-anak dari daerah ini terlihat
antre mengambil air di sejumlah sumur yang rata-rata berada dekat
persawahan. Sebagian warga, terpaksa harus bangun pukul 04.00 subuh supaya
tidak kehabisan air. ”Kalau kesiangan, bisa-bisa sumur sudah kering diambil
warga lainnya,” ungkap Ny. Beti, warga Pringsewu.
Kesulitan air bersih juga dialami warga di Kecamatan Margatiga, Kabupaten
Lampung Timur. Untuk mendapatkan air bersih warga harus berjalan dua hingga
km ke sumur umum yang berada dekat rawa.
Di sini, secara bergotong-royong warga menggali sumur sekitar delapan meter.
Bagi warga yang memiliki gerobak sapi, bisa mengangkut air lebih banyak. Air
itu sebagian dijual kepada warga lainnya dengan harga Rp 500/jirigen isi 20
liter.
Menurut Irawan, warga Desa Sukadana Baru, mereka membuat sumur di rawa-rawa
karena biayanya lebih murah ketimbang sumur di dekat perumahan. ”Pada musim
hujan saja dibutuhkan dana Rp 6 juta sampai Rp 8 juta untuk membuat sumur
bor di samping rumah. Sementara untuk membuat sumur gali bisa lebih mahal
lagi. Makanya kami secara bersama-sama menggali sumur di rawa saja, tidak
perlu biaya, meskipun harus berjalan jauh untuk sampai ke sana,” ujar Irawan
memberi alasan.
Tidak terkecuali, di Kabupaten Way Kanan, warga juga menjerit kesulitan air.
Untuk mendapatkan satu jirigen air bersih warga di kabupaten paling utara di
Lampung itu harus merogoh kocek Rp1.000. ”Karena mahal air itu hanya untuk
minum dan masak. Sementara untuk mandi, dan cuci kami terpaksa ke sungai
yang jaraknya empat km dari rumah,” aku Junariah, warga Desa Bakti Negara,
Kecamatan Baradatu, baru-baru ini.

Tanaman Lada Mati
Sementara di Desa Banjarwangi, Kecamatan Kotabumi Utara, SH menemukan,
berhektare-hektare tanaman lada mulai layu. Sebagian di antaranya sudah
mati.
Menurut Kepala Desa Kusnadi, di desanya sekitar 40% dari 300 ha kebun lada
sudah mat. ”Akibatnya banyak warga yang kini menjadi buruh pada perkebunan
nanas dan singkong untuk menyambung hidup karena gagal panen lada,” aku
Kades kepada SH, baru-baru ini.
Selain lada, padi dan palawija juga terlihat layu. Warnadjaja, petani
setempat mengaku ia tak bisa menyiram tanamannya karena sumber air sulit. ”
Untuk kebutuhan sehari-hari saja air tidak cukup, apalagi untuk menyiram
tanaman,” keluhnya.
Kini warga desa ini terpaksa menggali sumur hingga 12 meter untuk
mendapatkan air untuk minum. Sementara untuk MCK, warga terpaksa harus ke
sungai yang jaraknya dari perumahan sekitar dua km.
Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan Lampung Ir Masdulhaq yang dihubungi di
kantornya kemarin sore mengakui, kemarau panjang berdampak luas terhadap
kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Selain kesulitan air bersih, banyak
tanaman warga yang mati.
Untuk mengurangi dampak kemarau itu Pemda lampung sudah menganggarkan
pembuatan 150 sumur pantek dan 200 pompa air yang akan disebar ke semua
daerah yang dilanda kekeringan. ”Namun saat ini pembuatan sumur dan
pengadaan pompa masih dalam proses tender,” tutur Masdulhaq.
Khusus menyangkut luas areal tanaman padi dan palawija yang gagal panen
akibat kemarau, Kepala Dinas mengaku, pihaknya belum mendapat laporan. Tapi
ia mengkhawatirkan setidaknya 1.528 ha tanaman padi yang tidak terairi oleh
irigasi yang ada gagal panen. ”Tapi hingga berakhirnya musim panen gadu
sekarang belum ada laporan soal itu,” tambahnya.

Kebakaran Hutan
Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, kemarau panjang tahun ini dimanfaatkan
warga untuk membakar lahan yang akan dibuka menjadi kebun. Sejak dari
perbatasan Bengkulu Selatan dengan Lampung Barat hingga Kecamatan
Bukitkemuning, Lampung Utara terdapat puluhan areal perkebunan rakyat yang
sudah dibakar.
Sebagian di antaranya masih berapi. Akibatnya kawasan itu diliputi kabut
asap, namun tidak begitu parah. Sejak dari Krui hingga Sumberjaya, jalan
lintas barat Sumatera, kabut asap terlihat di sepanjang perjalanan. Kalau
sore kabut agak mengganggu pemandangan pengemudi.
Ketua Tim Informasi Cuaca Iklim dan Geofisika Lampung Abdul Qohir mengakui,
dari 14 titik api yang ada di Sumatera hanya satu di Lampung. Berdasarkan
data dari satelit NOAA (national ocean atmosporic administration) kordinat
titik api tersebut teletak pada 4 derajat 53 menit dan 39 detik garis
lintang selatan, 105 derajat 49 menit 48 detik bujur timur. Lokasinya
kira-kira di Way Kambas, Lampung Timur.
Qohir mengingatkan agar petani menghentikan pembakaran hutan karena tindakan
tersebut merusak lingku-ngan dan memusnahkan flora dan fauna yang dilindungi
terutama di kawasan hutan lindung. ”Saya minta semua pihak terkait
mengoiptimalkan penyuluhan ke desa-desa supaya kebakaran bisa dihindarkan,”
harapnya dalam sebuah kesempatan.
Imbauan tersebut langsung ditindaklanjuti oleh Kepala Subdinas Konservasi
Perlindungan Pencegahan Hutan (KPPH) Lampung Slamet Darminto. Untuk
mengantisipasi kebakaran, pihaknya melalui cabang-cabang Dinas Kehutanan di
masing-masing daerah telah mensosialisasikan bahaya kebakaran ke desa-desa.
Dalam surat edarannya, warga dan aparat kehutanan setempat harus makin
waspada terhadap ancaman kebakaran.
Tapi tampaknya edaran saja belum cukup mengingat masih banyaknya petani yang
membakar hutan untuk membuka kebun. Bahkan sejumlah hutan kota di kedua sisi
Jl Sukarno-Hatta, Bandar Lampung pun, pekan lalu terbakar, tanpa tindakan
pemadaman dari Pemda setempat. Haruskan dunia internasional menegur kita
dulu, seperti-seperti sebelumnya, baru terpanggil untuk lebih waspada?
(SH/syafnijal datuk sinaro)